DPR dan pemerintah sepakart untuk menghapus pasal pembakaran hutan oleh masyarakat adat dalam UU No. 32 / 2009
JAKARTA. Kontroversi pasa 69 ayat 2 Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terus bergulir. Poin penjelasan dalam beleid ini memperbolehkan masyarakat adat membakar lahan dengan luas maksimal dua hektare (ha) per kepala keluarga dianggap sebagai kambing hitam yang memicu kebakaran hutan dalam beberapa tahun terakhir.
Terkait kontoversi ini, Komisi IV DPR-RI mengaku tengah mengkaji point tersebut untuk direvisi. Herman Khaeron, Wakil Ketua Komisi IV DPR menyatakan tengah mendalami keberadaan pasal tersebut. Namun, dia bilang, revisi beleid ini tak akan bisa dilakukan dalam waktu dekat karena belu ada program legislatif nasional (Prolegnas).
“Kami mendorong agar pasal yang membolehkan masyarakat membakar hutan dihapus, sehingga tidak menjadi polemik bila terjadi kebakaran di kemudian hari,” ujar Herman kepada KONTAN, Kamis (8/10).
Menurut Herman, UU No. 32 / 2009 ini harus diselaraskan kembali dengan kondisi saat ini, yakni bahwa setiap tahun Indonesia masih bermasalah dengan kebakaran lahan dan hutan.
Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup mengatakan, penghapusan pasal membakar hutan ini akan memupuskan peluang masyarakat untuk bisa membakar hutan, meski hanya seluas dua hekatre di kemudian hari.
Siti bialgn, revisi aturan yang dianggap keliaru ini menjadi langkah awal untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Apalagi pada kenyataannya, pembakaran kerap tak terkontrol sementara kewajiban membuat sekat bakar tak dilakukan yang akhirnya membuat api merembet ke mana-mana.
Selama ini, membakar lahan diperbolehkan bagi warga adat lantaran dianggap lebih mudah dan murah untuk membuka lahan ketimbang menggunakan peralatan mekanis yang membutuhkan dana yang mencapai Rp 5 juta per hektare.
Selama ini, masyarakat adat memang menggunakan hak untuk membakar hutan ini untuk membuka lahan guna menanam tanaman padi untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Tony Wenas, Managing Director PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) mengatakan, pemerintah perlu merevisi sejumlah peraturan seperti UU No, 32 / 2009 untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan lagi. “Bayangkan jika seorang cukong membiayai 1.000 kepala keluarga untuk membakar, maka ada 2.000 hektare lahan yang terbakar. Ini sangat tragis karena selalu perusahaan yang disalahkan,” imbuhnya.
Aturan bersifat lokal
Meski perlu direvisi, tapi aturan ini sudah terlanjut diturunkan oleh sejumlah daerah melalui Peraturan Daerah (Perda) yang memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk membakar lahan.
Herry Purnomo, Peneliti dari Centre for International Forestry Research (CIFOR) mengatakan bahwa pemerintah pelu merevisi aturan ini, tapi bukan menghapus keberadaan pasal ini.
Dia bilang, pemerintah dan HDR bisa mengubah beleid ini dengan menyebut langsung daerah yang diperkenankan melakukan pembakaran dan mengamanatkan kepada daerha yang disebut untuk melakukan pengawasan. “Tak ada yang salah dengan aturan ini karena sejak dahulu masyarakat adat memang melakukan pembakaran hutan untuk pembersihan lahan,” ujarnya.
Herry mengusulkan penerapan aturan tentang membakar hutan ini hanya bersifat lokal pada daerah tertentu. Sebab, dia khawatir jia pasal dalam beleid ini dihapus, masalah kebakaran tidak akan selesai. Sebaliknya warga adat merasa dikrriminalisasi.
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar