Dalam ilmu finance, ada dua sumber pendanaan yang bisa dimanfaatkan perusahaan. Masing-masing adalah utang dan modal. Dalam praktiknya, pebisnis akan menggunakan kombinasi dari utang dan modal sekaligus.
Ilmu keuangan modern pun membahas tentang bagaimana merumuskan komposisi pendanaan yang paling ideal bagi sebuah perusahaan. Seberapa persen seharusnya keburuhan dana sebuah perusahaan dipenuhi oleh modal sendiri. Dan, berapa sisanya yang bisa ditutup dengan utang.
Pertimbangan yang digunakan untuk menghitung komposisi yang pas itu di antaranya imbal hasil yang diinginkan kreditur dan pemegang saham. Ukuran lain dalam menentukan source of fund adalah pajak penghasilan.
Dalam mazhab keuangan modern, salah satu daya tarik utang sebagai sumber pendanaan adalah biaya utang yang bisa diperlakukan sebagai biaya yang mengurangi pajak penghasilan. Aturan semacam ini yang membuat utang semakin populer sebagai instrumen pendanaan. Fenomena thin capitalization pun merebak.
Istilah thin capitalization merujuk ke suatu kondisi di mana sebagian besar kebutuhan pendanaan perusahaan dipenuhi oleh utang, bukan dengan modal sendiri. Di Indonesia, fenomena perusahaan bermodal cekak ini sejatinya sudah merebak sejak dekade 80-an.
Keberadaan thin capitalization itu terlihat dengan ketentutan tentang Pajak Penghasilan (PPh) di tahun 1980-an. Pada awal Oktober tahun 1984, pemerintah Indonesia di masa itu membatasi jumlah utang yang bunganya bisa dibiayakan oleh wajib pajak paling banyak tiga kali lipat dari total jumlah asetnya. Ketentuan tersebut termuat dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 1002/KMK.04/1984.
Namun, aturan ini ternyata berumur pendek. Pemerintah menunda penerapan KMK Nomor 1002 tersebut, seperti yang dinyatakan dalam pasal 1 KMK Nomor 254/KMK.01/1985.
Baru 30 tahun setelah itu, aturan pajak tentang thin capitalization muncul kembali. Pada September silam, pemerintah menerbitkan PMK Nomor 169/PMK.010/2015. Pasal 2 beleid tersebut menyatakan bahwa rata-rata utang yang bunganya dapat dibiayakan oleh wajib pajak adalah sebesar paling tinggi empat kali lipat dari nilai rata-rata modal yang dimilikinya.
Pengecualian dari aturan tersebut diberikan ke wajib pajak yang bergerak di sektor perbankan, lembaga pembiayaan, asuransi, infrastruktur. Kelompok lain yang terbebas dari ketentuan debt to equity ratio (DER) itu adalah wajib pajak yang terkena rezim PPh final, dan wajib pajak di sektor pertambangan yang kontraknya mencamtumkan ketentuan mengenai perbandingan antara utang dan modal.
Khusus untuk debitur dan kreditur yang mempunyai hubungan istimewa, maka selain perbandingan di atas, harus pula memperhatikan ketentuan mengenai kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length).
Kasus Jepang
Jika kreditur berada di luar negeri, maka harus pula diperhatikan Perjanjian Penghindaran Pajak berganda (P3B) yang merupakan perangkat hukum yang berlaku khusus (lex specialist). Ambil contoh aturan antara Indonesia dengan Jepang (P3B Jepang).
Dalam P3B Jepang, thin capitalization terkait erat dengan ketentuan mengenai bunga alias interest (Pasal 11). Aturan ini menyatakan dinyatakan bahwa bunga bisa dikenakan pajak di negara asal debitur dengan tarif paling tinggi 10% (Pasal 11 ayat 2). Namun demikian, jika I antara kreditur dan debitur terdapat hubungan istimewa, maka pembayaran bunga diakui kalau bunganya sesuai dengan prinsip arm’s length. Ini dipertegas dalam commentary article P2B Jepang.
Jika bunga tidak mencerminkan transaksi yang wajar, Organisasi Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) menyatakan bahwa penyesuaian akan dilakukan terhadap besaran bunga yang dikenakan atau “at which interest is charged”. Dengan kata lain, OECD menyatakan batasan dalam P3B adalah persentase suku bunganya, apakah mencerminkan arm’s length atau tidak.
Itu berarti kita harus mempertimbangkan risiko, credit rating dan lain sebagainya. Karena itu, article 11 ini terkait erat dengan article 9 P3B Jepang. Pasal 9 ini pada dasarnya menyatakan bahwa baik Indonesia atau Jepang berhak untuk memberikan penyesuaian atas penghasilan wajib pajak, sehingga bisa diperoleh penghasilan yang mencerminkan pasar yang riil alias arm’s length.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pasal 24. Ayat 1 pasal tersebut pada dasarnya memberikan amanat supaya perlakuan atas bunga yang dibayarkan ke kreditur tidak membedakan asal kreditur.
Jadi, thin capitalization bisa diberlakukan aturannya sepanjang hasilnya adalah arm’s length. Namun, kalau penerapan aturannya ternyata tidak arm’s length, maka hal ini melanggar Pasal 24 ayat 3 hingga ketentuan thin capitalization tidak berlaku. Padahal, pasal 2 PMK Nomor 169/PMK.010/2015 menyatakan bahwa pendekatan thin capitalization adalah fixed ratio dan bukan berdasarkan arm’s length.
Sekarang kita misalkan ada wajib pajak yang bunga pinjamannya ke krediturnya di Jepang sudah ditetapkan bersifat arm’s length¸namun jumlahnya besar sehingga menyebabkan ratio DER sebesar 4:1 terlampaui. Akibatnya, kelebihan pembayaran bunga yang sebenarnya wajar (arm’s length), tidak bisa dibiayakan sebagai pengurang dari penghasilan kena pajak.
Padahal, kalau berpegang pada article 11 ayat 8 P3B Jepang, pembayaran itu sepenuhnya bisa dibiayakan. Memang, unsur kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length) tetap dipertimbangkan, namun contoh yang disampaikan dalam lampiran menunjukkan bahwa penerapannya justru setelah penyesuaian DER dilakukan.
Padahal, semangat article 11 ayat 3 P3B Jepang adalah mengutaman arm’s length, bukan sebaliknya. Kalau sudah seperti ini, maka aturan DER jelas tidak bisa diterapkan karena tidak konsisten. Bahkan, bertentangan dengan isi P3B Jepang.
Untuk mengatasi hal ini, ada baiknya pemerintah mempertimbangkan kelonggaran dalam penerapan fixed ratio. Pada lapisan pertama, tentunya adalah melihat apakah DER sebesar 4:1 terlampaui atau tidak. Jika dilampaui, sebaiknya wajib pajak diberikan peluang untuk membuktikan apakah tindakannya itu wajar dan lazim, atau tidak. Jadi, wajib pajak tetap memiliki kemungkinan untuk bisa membiayakan bunga utangnya, meskipun rasio DER sudah melampaui 4:1.
Sepanjang wajib pajak itu bisa membuktikan bahwa transaksi itu lazim dan wajar. Jadi, penerapan aturan thin capitalization menjadi konsisten dengan P3B dan yang lebih penting, lagi adalah fleksibel.
Bagaimana, setuju?
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar