Penulis: Eko Listiyanto
Pemerintah menetapkan target pajak yang cukup optimistis pada APBN 2016 yang sebesar Rp 1.360,1 triliun. Dengan melihat perkembangan realisasi pajak yang ‘cukup seret’ tahun ini, upaya pencapaian target pajak 2016 tersebut membutuhkan kerja keras dan kreativitas. Terlebih lagi ekonomi Indonesia dalam asumsi makro APBN 2016 diperkirakan hanya mampu tumbuh sedikit lebih baik dari tahun ini, yaitu sebesar 5,3%.
Selain strategi ekstentifikasi pajak yang terus menerus diupayakan oleh pemerintah, aspek penegakan aturan juga perlu ditingkatkan. Sebab, tax ratio Indonesia yang masuk stagnan di kisaran 11% – 12% dan tidak sterilnya regulasi dari upaya-upaya penghindaran pajak.
Salah satu isu yang belum banyak mendapat perhatian terkait dengan penegakan hukum di bidang pajak adalah praktik nominee. Lantaran praktik nominee atau ‘perjokian investasi’ melanggar aturan investasi di Indonesia, pemerintah perlu mempertimbangkan dampak kerugian ekonomi akibat praktik ini, seperti penerimaan negara yang berkurang maupun kesempatan berusaha bagi pelaku domestik yang menjadi semakin terpinggirkan.
Di Indonesia, beberapa regulasi telah secara jelas dan tegas melarang praktik nominee dalam investasi. Melalui UU No 25 / 2007 tentang Penanaman Modal Pasal 33, pemerintah melarang adanya praktik nominee dalam investasi asing. Tujuannya untuk menghindari terjadinya perseroan yang secara normatif dimiliki seseorang tetapi secara materi atau substansi pemilik perseroan tersebut adalah orang lain. Aturan ini selaras dengan UU No 40 / 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 53 Ayat 4 yang juga menegaskan tentang larangan struktur nominee dalam sistem hukum di Indonesia.
Dalam tataran yang lebih detail, larangan praktik nominee diperkuat dengan aturan Daftar Negatif Indonesia (DNI), yang sekaligus menunjukkan komitmen pemerintah untuk melindungi pelaku ekonomi domestik. Regulasi DNI tertuang dalam Peraturan Presiden No 39 / 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Salah satu sektor yang dilindungi dalam DNI adalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Sayangnya, upaya proteksi perekonomian Indonesia dari praktik nominee ini belum banyak mengalami kemajuan. Praktik ini masuk berlangsung seiring minimnya koordinasi dan sanksi tegas dari instansi yang berwenang. Apalagi, praktik ini sering terjadi di sektor yang menjadi tumpuan sebagian besar masyarakat, seperti sektor UMKM, ritel, dan properti.
Kendaraan Investasi
Di tengah intensitas hubungan ekonomi antarnegara di dunia yang makin meningkat, sejumlah perusahaan investasi lintas negara memilih menggunakan sejumlah instrumen yang menjadi “kendaraan” dalam melakukan investasi. Salah satunya adalah konsep trust. Perjanjian nominee sendiri memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan konsep trust. Trust mengatur pemisahan kepemilikan antara kepemilikan legal (legal ownership) dengan beneficial ownership. Pemilik legal akan bertindak sebagai trustee yang mengatur dan mengelola properti yang dimiliki oleh beneficial owner. Namun demikian, pemilik legal hanya bertindak sesuai keinginan dari beneficial owner dan segala keuntungan menjadi milik dari beneficial owner.
Organization for Economi Co-operation and Development (OECD) sejak 2001 telah memberikan perhatian khusus pada bentuk-bentuk investasi yang dapat merugikan kepentingan negara. Salah satu aspek yang menjadi perhatian adalah informasi mengenai pemilik dari kendaraan investasi. Salah satu bentuk perusahaan yang sering digunakan untuk oleh para investor dalam menyembunyikan pemilik perusahaan (beneficial owner) adalah nominee shareholders. Tanpa informasi yang jelas mengenai beneficial owner perusahaan tersebut, otoritas kesulitan memaksa para beneficial owner untuk memenuhi segala peraturan dan regulasi investasi yang sudah disyaratkan oleh setiap negara.
Lebih dari itu, OECD juga menekankan pentingnya keterbukaan informasi karena sebuah entitas bisnis yang tidak memiliki informasi mengenai beneficial owner sangat berpeluang untuk disalahgunakan untuk tujuan-tujuan yang melanggar hukum (illicit purpose), seperti pencucian uang, korupsi, penyembunyian aset dari kreditor, penghindaran pajak, dan bentuk aktivitas lainnya yang bertujuan untuk melanggar hukum.
Sama halnya dengan Indonesia, praktik perjanjian nominee juga dilarang di Thailand. Walaupun memiliki pandangan hukum yang sama terhadap praktik nominee, namun Indonesia dan Thailand memiliki ketentuan sanksi yang berbeda. Dalam konteks Indonesia, pada UU Penanaman Modal tahun 2007 pasal 33 ayat (2) disebutkan bahwa segala perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain dinyatakan batal demi hukum. Sedangkan regulasi di Thailand, pihak yang menjalankan praktik nominee dapat dikenakan sanksi pidana berupa denda sebesar 100.000 baht hingga 1.000.000 baht atau kurungan maksimal 3 tahun.
Otoritas Thailand mengeluarkan sejumlah peraturan dan inisiatif untuk mencegah prakrik nominee di masa yang akan datang. Salah satunya adalah dengan melakukan investigasi secara acak terhadap perusahaan-perusahaan domestik, terutama yang bergerak pada sektor-sektor yang dibatasi oleh pemerintah. Lebih dari itu, mengingat hasil investigasi sebelumnya ditemukan bahwa praktik nominee banyak melibatkan para akuntan dan para pengacara, otoritas Thailand menginvestigasi secara mendalam terhadap perusahaan domestik yang menempatkan akuntan dan pengacara sebagai bagian dalam dewan direksi maupun sebagai pemilik saham (shareholders).
Penegakan regulasi investasi diharapkan dapat menjadi salah satu agenda perbaikan perekonomian Indonesia ke depan, terutama agar target pajak tidak lagi meleset dari sasaran. Selain penindakan terhadap entitas bisnis yang melanggar aturan investasi, penyadaran kepada publik bahwa praktik nominee memiliki resiko hukum juga perlu dilakukan.
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar