
Kebijakan impor gula industry selalu menjadi pro dan kontra antara importir dan petani tebu
JAKARTA. Langkah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membentuk Panitia Kerja (Panja) Gula semakin membuka mata public bahwa sengkarut tata kelola gula di Tanah Air belum juga usai.
Keterlibatan parlemen dalam pengaturan soal gula konsumsi ini disinyalir dapat mempengaruhi kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah terkait impor gula untuk industry. Sebab, salah satu kewenangan Panja Gula adalah member rekomendasi membuka atau membatasi impor kepada pemerintah.
Di sisi lain, produksi gula konsumsi nasional yang minim selalu menjadi dalih untuk membuka impor lantaran sektor industry makanan dan minuman butuh bahan baku gula yang jumlah melebihi kebutuhan konsumsi.
Namun, kehadiran Panja Gula ini belum mampu meredam pro dan kontra terkait kebijakan impor yang diterapkan pemerintah selama ini. Benny Wachjudi, Ketua Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) selaku importir gula mengatakan, mekanisme impor gula lazimnya tak perlu diperdebatkan karena sudah ada aturan main yang jelas, yakni Peraturan Menteri Perdagangan (Kemdag) Nomor 117/M-Dag/Per/2015.
Benny bilang, beleid ini dengan tegas menyebut jika impor gula dibatasi sesuai dengan kebutuhan dalam negeri. “Kami tunduk pada aturan yang dibuat oleh pemerintah tersebut,” ujar Benny kepada KONTAN, Kamis (11/2).
Benny enggan mengomentari kehadiran Panja Gula DPR yang berpotensi mengubah arah kebijakan impor gula selama ini. Menurutnya, sejauh ini, keputusan impor gula masih di tangan pemerintah dan ini yang harus diikuti.
Tapi, kebijakan impor gula selalu menuai kontra di kalangan petani. Soemitro Samadikoen, Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mengakui bahwa Indonesia masih butuh impor gula untuk memenuhi kebutuhan industry, namun selama ini jumlahnya tak transparan. “Pemerintah member izin kuota tanpa pernah melihat pertanggungjawaban soal realisasi izin impor dan pendistribusian gula impor tersebut,”ujarnya.
Makanya, Soemitro meminta pemerintah tak sembarang menetapkan kuota impor sesuai dengan perhitungan industry, melainkan harus lewat audit transaksi para importir ini sehingga ketahuan jumlah kebutuhan gula impor.
Bayar bea masuk
Namun, menurut Kamadjaja, Presiden Direktur PT Gendis Multi Manis (GMM), sengkarut soal impor gula sejatinya bisa diselesaikan dengan kebijakan sederhana. Dia meminta pemerintah tidak membatasi kuota impor gula karena berpotensi membuka peluang korupsi dan suap.
Kamadjaja bilang, membuka atau membatasi impor gula tetap saja membuat harga gula di tingkat petani jatuh. Untuk itu, dia menyarankan pemerintah menerapkan Bea Masuk (BM) impor gula yang tinggi, yakni antara Rp 2.000 – Rp 3.000 per kilogram (kg). “Nilai BM Tergantung disparitas harga gula lokal dan dunia,” ujarnya.
Kamadjaja mengambil contoh, jika harga gula dunia Rp 7.000 per kg dan harga gula petani Rp 10.000 per kg, maka pemerintah mengenakan BM Rp 2.500 per kg, sehingga keuntungan importir tidak terlalu besar. Kondisi ini sangat efektif untuk meredam masuknya gula impor ke tanah air, dan juga melindungi petani gula.
Tito Pranolo, Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI) menyebut, penerapan sistem tarif dalam impor gula sejatinya pernah direncanakan pemerintah, namun sampai saat ini hanya sebatas wacana. “Sistem tariff seperti pengenaan BM ini jauh lebih disukai oleh importir ketimbang sistem kuota yang rumit,”tuturnya.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar