Cadangan Batubara Tak Cukup Penuhi 35.000 MW

Kontan, Selasa 8 Mar 2016_hal 14

Cadangan tambang batubara di Indonesia sudah turun minimal 29% dari hitungan awal.

JAKARTA. Pemerintah tampaknya harus menghitung ulang kebutuhan batubara untuk memasok pembangkit listrik yang akan dibangun dalam megaproyek 35.000 megawatt (MW). Sebab, hitungan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), cadangan batubara yang tersisa saat ini tak cukup untuk memenuhi kebutuhan batubara pembangkit tersebut.

Hitungan APBI ini bukan cuma kira-kira, sebab dilakukan bersama dengan konsultan PricewaterhouseCoopers (PwC). Kajian ini mengindikasikan , cadangan batubara saat ini bahkan tak mampu memenuhi kebutuhan pembangkit listrik tenaga uap yang direncanakan berkapasitas 20.000 MW.

Menurut Ketua Umum APBI, Pandu Sjahrir, data yang dirilis Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan bahwa Indonesia memiliki cadangan batubara terbukti sebanyak 32,2 miliar ton pada tahun 2014. Angka ini berbeda dengan hasil survey APBI dan PwC. PwC menyebutkan jumlah cadangan batubara hanya 7,3 miliar ton-8,3 miliar ton.

PwC dalam surveinya menemukan indikasi ada penurunan cadangan batubara sekitar 29%-40%. Dengan perhitungan ini, cadangan batubara Indonesia akan habis pada 2033-2036. Ini berarti umur sumberdaya batubara Indonesia kurang dari 20 tahun. Padahal usia PLTU yang dibangun dalam megaproyek 35.000 MW umumnya 25 tahun-30 tahun sejak beroperasi secara komersial.

Presiden Direktur Advisor PwC, Mirza Diran menambahkan, survey yang dilakukan untuk 25 tahun ke depan terlihat bahwa pemakaian batubara untuk PLTU tidak ekonomis lagi. “Bukan untuk saat ini, tapi lebih ke 25 tahun ke depan, itu karena harga tidak bagus. Kalau harga lagi bagus, lapisan satu, dua, tiga, bisa ditambang. Tapi pada saat harga batubara lagi turun, hanya lapisan satu doing yang ditambang. Akibatnya stripping ratio akan menjadi besar, karena lapisan pertama setelah ditambang ditutup lagi,” ungkapnya.

Meminta insentif

PwC merekomendasikan supaya pemerintah menerapkan mekanisme baru dalam penentuan harga batubara di dalam negeri. Mekanisme baru penghitungan harga ini bertujuan untuk memberikan stimulus terhadap kegiatan investasi dan eksplorasi batubara. Dengan cara ini, PwC menilai akan mampu menjamin ketersediaan batubara untuk memasok PLTU di proyek 35.000 MW.

Mirza mengatakan, skema harga batubara Indonesia hendaknya tidak lagi mengaitkan dengan indeks harga batubara dunia. Pasalnya formula Harga Batubara Acuan (HBA) yang ditetapkan Kementerian ESDM masih memasukan indeks harga batubara dunia. Kebijakan ini diharapkan juga mampu memproteksi harga listrik jika terjadi kenaikan harga batubara di pasar global dalam jangka panjang.

Selain mengubah mekanisme harga batubara dalam negeri, PwC merekomendasikan, perlu adanya insentif bagi pengembangan PLTU yang beroperasi tahun 2019. Insentif itu yakni pemerintah membayar semacam biaya asuransi (cost of insurance) sekitar 1% dari tariff dasar listrik Rp 1.400 per kWh.

Ia mengklaim bahwa hal itu mampu member stimulus investasi dan eksplorasi serta mendorong perencanaan tambang jangka panjang.

Pandu menambahkan, bahwa harga listrik dari pembangkit batubara lebih murah ketimbang bahan bakar lainnya. Yakni sebesar US$ 0,05 per kWh. Sedangkan industry yang menggunakan diesel membayar US$ 0,25 per kWh.

Sumber: Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar