Kian Terpangkas oleh Mesin Perkakas Tiongkok

Meski masih ada waktu enam bulan lagi, PT Wahana Kemalaniaga Makmur (Wakeni) terus mematangkan persiapan penyelenggaraan Indonesia Hardware Show (IHS) tahun ini. Jika tak ada aral melintang, IHS 2016 akan dihelat di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta pada 28-30 September 2016 mendatang.

Pameran ini digadang-gadang sebagai ajang untuk meningkatkan inovasi para pelaku industry perkakas nasional plus menggairahkan pasar produk dalam negeri yang masih kalah pamor dari barang impor.

General Manager Wakeni Sofianto Widjaja mengatakan, IHS 2016 menjadi temapt untuk bertukar informasi dan menjalin relasi bisnis dengan mitra bisnis yang tepat. Apalagi, kondisi industry perkakas nasional bisa dibilang sulit berkembang dan semakin terpukul akibat pelemahan ekonomi.

Sejatinya, berbagai regulais sudah dikeluarkan pemerintah untuk mendongkrak produksi dan penggunaan produk-produk dalam negeri untu menekan banjir barang impor. Terbaru, pemerintah siap mengeluarkan kebijakan terkait pemberian fasilitas penangguhan bea masuk dan pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) atas impor barang modal tertentu. Aturan ini terdapat dala skema Inland Free Trade Arrangement (Inland FTA) atau pengaturan pelaksanaan perdagangan bebas di dalam negeri. Kini, beleid ini dalam proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Secara sederhana, Inland FTA merupakan hak istimewa yang diberikan kepada perusahaan di kawasan ekonomi khusus dan kawasan industry tertentu di luar kawasan yang mengolah barang impor dan barang dalam negeri menjadi produk ekspor maupun diperdagangkan di dalam negeri.

Kebijakan ini sesuai Instruksi Presiden No. 13/2015 tentang Kebijakan Fasilitas Perdagangan Bebas di Dalam Negeri. Rencananya, beberapa sector industry akan menikmati insentif tersebut asalkan produknya memenuhi ketentuan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) sebesar 40%.

Hasil kajian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, ada 10 sektor industry yang menjadi prioritas penerima fasilitas Inland FTA, di antaranya industry tekstil, industry mesin perkakas, industry mesin dan turbin, industry alat pemotong dan alat pertukangan.

Dalam Paket Kebijakan Ekonmi Jilid IX yang diluncurkan 27 Januari lalu, pemerintah juga menjanjikan pemberian preferensi harga kepada penyedia barang jasa  dengan tingkat  kanduangan local tinggi. Dengan demikian, produk local yang harganya lebih mahal 25% dari produk impor bisa menang tender proyek pemerintah.

Jauh sebelum itu, tujuh tahun yang lalu, Susilo Bambang Yudhoyono, presiden kala itu, mengeluarkan Instruksi Presiden No.2/2009, yang memerintahkan penggunaan produk dalam negeri pada pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Perbedaan tariff

Nyatanya,  jurus-jurus pemerintah tersebut belum bisa menangkis serangan produk impor yang semakin massif menguasai pasar domestic. Salah satunya menimpa industry mesin perkakas. Menurut data Asosiasi Industri Mesin Perkakas Indonesia (Asimpi), produk industry dalam negeri baru bisa memenuhi 10% dari total kebutuhan nasional yang nilainya mencapai Rp 4triliun.

Rendahnya penyerapan karena harga produk dalam negeri lebih mahal ketimbang produk impor, seperti dari China dan Taiwan. Sebab, Negara lain mampu memproduksi dengan volume tinggi karena kapabiltas teknologinya sudah lebih maju. Perkembangan industry perkakas local juga lamban akibat impor material dasar utama, yakni baja dari  Negara non free trade agreement (FTA) atau kategori most favourable nations, sehingga dikenakan bea masuk tinggi. Padahal impor produk jadi dari Negara yang menjalin FTA tidak dikenakan bea masuk. Tak ayal, perbedaan tariff ini menyebabkan harga produk dengan TKDN tertentu yang mendapatkan preferensi harga lebih tinggi tetap tidak mampu bersaing dengan produk impor.

Parahnya lagi, struktur ongkos produksi pada industry perkakas nasional sekitar 40%60% hanya untuk bahan baku. Gambaran saja, tariff bea masuk baja MFN sesuai Peraturan Menteri Keuangan No. 97/2015 paling rendah 10% dan paling tinggi 20%. Sebab itu, industry mesin perkakas local sulit berkembang karena kalah bersaing dengan produk asing.

Itu sebabnya, impor mesin perkakas selalu naik saban tahun. Pada 2010, impor mesin perkakas hanya senilai US$ 652 juta. Tapi pada 2014 telah mencapai US$ 1,33 miliar. Adapun impor pada tahun lalu per Agustus telah mencapai US$656 juta. “Tahun ini diperkirakan akan melonjak menjadi US$1,5 miliar,” sebut Ketua Asimpi Rudy Andriyana.

Tren kenaikan impor mesin perkakas dipengaruhi beberapa factor. Pertama,jumlah proyek infrastruktur dalam beberapa tahun ke depan semakin meningkat tapi proyek infrastruktur itu memakai banyak mesin kategori completely build up (CBU) hasil build-up (rakitan) manufaktur orisinal di luar negeri. Alasanya, produk di dalam negeri tidak memadai. Kekurangan ini yang diisi impor.

Kedua, kapasitas produksi produsen mesin perkakas local hanya 1.000 mesin per tahun,sedangkan satu perusahaan mesin perkakas di luar negeri bisa menghasilkan 20.000 mesin per tahun. Sementara kebutuhan mesin perkakas nasional diperkirakan mencapai 15.000-20.000 per tahun.\

Saat ini, industry mesin perkakas Indonesia hanya memiliki 30 perusahaan terdaftar dengan jumlah tenaga kerja kurang dari 1.500 orang. Padahal keberadaan industry mesin perkakas merupakan induk dari industry manufaktur. Maksudnya, industry ini yang memproduksi mesin-mesin yang akan digunakan pada industry manufaktur. Dengan demikian, industry manufaktur Indonesia akan kuat jika industry mesin perkakasnya maju dan tidak tergantung produk impor.

Ketiga, dampak kebijakan hilirisasi yang membuka lebar-lebar keran impor barang modal, tidak dibarengi dengan pengembangan industry penunjang. Akibatnya, produsen barang modal dalam negeri sulit berkembang akibat pasar yang telah dikuasai produk impor.

Keempat, pengadaan barang dan jasa di pemerintah masih banyak menggunakan produk impor. Ambil contoh, di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) telah mengalokasikan anggaran untuk pembelian mesin perkakas untuk kebutuhan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) senilai Rp 200 miliar-Rp 300 miliar per tahun. “Tapi pengadaan mesin perkakas banyak dari China, padahal kualitasnya tidak lebih baik dari buatan local,” keluh Rudi, yang juga co-founder PT Daun Biru Engineering.

Celakanya, hingga kini, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) juga belum memasukkan kategori mesin perkakas dalam daftar e-catalog. Hal ini mengakibatkan spesifikasi pengadaan barang mesin perkakas pun bisa beragam spesifikasinya.

Yayan Supriyanto, pemilik CV Tunas Karya, produsen mesin perkakas dan mesin multiguna, mengaku, selama ini perusahaanya sulit mengikuti proses lelang pengadaan barang di pemerintah meski kandungan local produknya sudah mencapai 80%. “Kami kalah bersaing dalam harga dengan produk impor dari China,” keluhnya.

Menurut Yayan, harga produk impor lebih murah 20% dari produk local. Produk permesinan local lebih mahal karena sebagian komponennya masih harus diimpor, seperti mesin-mesin penggerak. Tapi, dari sisi inovasi teknologi dan kualitas, produk local jauh lebih baik daripada barang impor.

Selain itu, kapasitas produksi pabril local masih terbatas, berbeda dengan perusahaan di China yang mampu memproduksi secara massal. Namun demikian, CV Tunas Karya bukan berarti tidak bisa memproduksi secara massal. Menurutnya, lebih karena persaingan harga di pasar yang tidak adil. “Produksi kami baru 500 mesin per tahun dengan jumlah karyawan 40 orang,” papar Yayan.

Agar produk local bisa Berjaya di negeri sendiri, menurut Yayan, pemerintah harus memperhatikan kebutuhan industry mesin perkakas, seperti bahan baku dan perluasan pasar ekspor. “Kami berharap ada penurunan bea masuk impor bahan baku, sehingga bisa memangkas biaya produksi,” pintanya.

Purnadi, penanggung jawab produksi CV Karya Multi Guna Bekasi,  mengamini, bahan baku baja impor cukup mahal. Alhasil, untuk kebutuhan produksi tools dan suku cadang pesanan, pabrik terpaksa menggunakan baja kualitas rendah. “Sebenarnya bahan baku baja tersedia. Tapi yang kualitasnya bagus, harganya mahal,” ungkapnya.

Produsen mesin perkakas dalam negeri juga berharap pemerintah konsisten dengan kebijakan yang telah dibuat. Menurut Yayan, pemerintah banyak mengekspos soal kemudahan perizinan, pemberian insentif, dan fasilitas untuk industry. Cuma, hingga detik ini, CV Tunas Karya sama sekali belum merasakan manfaatnya.

Meski demikian, pemerintah sekarang ini mulai memperlihatkan keberpihakannya kepada industry dalam negeri. Karena itu, ke depan,ia berharap, industry perkakas dalam negeri bisa tumbuh lebih cepat seiring program-program yang dijalankan pemerintah. Di antaranya, proyek infrastruktur yang tengah digenjot pemerintah bisa menggairahkan industry permesinan nasional. Catatannya, harus lebih banyak lagi produsen local yang terlibat dalam proyek infrastuktrur. “Saya mengapresiasi paket kebijakan ekonom pemerintah yang akan memberikan preferensi harga untuk produk local dalam lelang serta komitmen pemerintah mendorong UKM bisa ekspor,” ujar Yayan.

Semoga industry mesin perkakas bisa lebih perkakas.

Sumber: Tabloid Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , ,

Tinggalkan komentar