TIDAK terasa sudah hampir satu semester Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) berjalan. Selama itu pula Indonesia dan Sembilan Negara anggota ASEAN lainnya berbenah untuk bisa memanfaatkan kerjasama antara Negara di Asia Tenggara itu sebaik-baiknya. Bahkan bagi banyak Negara, persiapan sudah dilakukan jauh-jauh hari.
Tidak hanya soal makin terbukanya pasar tenaga kerja, berlakunya MEA juga membuat pasar investasi di ASEAN makin kompetitif. Itulah sebabnya Indonesia berbenah dengan memperbaiki proses perizinan investasi supaya lebih cepat. Tidak hanya itu, rencananya pemerintah melalui revisi Undang-Undang (UU) Pajak Penghasilan (PPh) juga akan menurunkan tarif PPh Badan dari 25% menjadi 18%.
Sejumlah insentif juga disebar untuk menarik investasi, seperti perluasan aturan tax holiday dan tax allowance. Lalu sebenarnya bagaimanakah gambaran umum perpajakan di ASEAN? Apakah di sisi pajak, Indonesia cukup menarik bagi investor?
Pengamat Pajak Universal Indonesia Darussalam menjelaskan, saat ini tarif terendah PPh badan di enam Negara besar ASEAN masih dipegang oleh Singapura sebesar 17%, lalu Thailand 20%, Vietnam 22%, Indonesia 25%, Malaysia 25%, dan Filipina 30%. Namun diperkirakan susunan itu akan berubah karena pada tahun 2016 ini Malaysia berencana memangkas tariff PPh Badan menjadi 24%. Begitu juga yang akan dilakukan oleh Vietnam dari 22% menjadi 20% pada tahun ini.
Namun menurut catatan Darussalam, tariff PPh itu lebih rendah dibandingkan tariff efektif yang harus ditanggung pengusaha. Tarif efektif pengusaha atau disebut juga Corporate Shareholder Taxation adalah beban tariff keseluruhan ketika orang pribadi menjalankan kegiatan usaha melalui suatu perusahaan.
Pada tahun 2013 tarifnya di Indonesia mencapai 32,5%, sedangkan Malaysia 25%, Filipina 37%, Singapura 17%, dan Thailand 29%. “Oleh karena itu saat ini ada kecenderungan di dunia untuk menurunkan tariff PPh badan,” katanya, kepada KONTAN, Selasa (19/4).
Penurunan tariff PPh bertujuan mencegah profit shifting dan meningkatkan investasi ke dalam negeri. Namun pencegahan profit shifting hanya efektif jika di kawasan tidak terdapat Negara yang diklasifikasikan prefential tax regime. “Masalahnya di ASEAN terdapat Negara kategori preferential tax regime yaitu Singapura. Oleh karena itu Indonesia jangan terjebak perang tariff,” katanya.
Preferential tax regime adalah Negara yang banyak memberikan fasilitas pajak ke wajib pajak sehingga basis pajaknya kecil. Singapura misalnya, disamping tariff PPh rendah 17%, basisnya juga rendah sehingga otomatis pajaknya kecil. Darussalam memandang Indonesia tidak mungkin berkompetisi dengan Singapura soal tariff pajak.
Indonesia juga harus berhati-hati memainkan tariff pajak, karena factor insentif pajak hanyalah nomor 11 dari 12 faktor yang bisa menarik investasi. Indonesia harus memastikan lebih dulu, ada peningkatan basis pajak melalui intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan. Dengan begitu maka penurunan tariff pajak akan terkompensasi dari peningkatan basis pajak.
Menurut Darussalam, 10 faktor lain selain insentif pajak adalah stabilitas ekonomi, stabilitas politik, stabilitas bahan baku, pasar domestic, transparansi hukum, ketersediaan SDM terlatih, biaya buruh, kualitas hidup, ketersediaan pemasok local, dan adanya kerjasama dan perjanjian bilateral. “Saat ini dalam tataran fasilitas pajak yang diberikan, sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk mendorong investasi masuk ke Indonesia,” katanya.
Menurut Pengamat Pajak dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Bako, saat ini insentif pajak di Indonesia masih kalah dibanding Negara ASEAN lain, terutama Vietnam. Apalagi Negara itu membuka luas kesempatan investor asing memiliki saham di dalam negeri. “Indonesia banyak dibatasi oleh Daftar Negatif Investasi (DNI),” katanya. Selain itu tawaran pembebasan pajak atau tax holiday di Vietnam juga lebih panjang, bukan 10 tahun seperti di Indonesia.
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan Balasan