
JAKARTA. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tanggungjawab Sosial atau yang lebih dikenal dengan corporation social responsibility (CSR). Lewat calon beleid ini, DPR ingin mengatur kegiatan CSR.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR dari Fraksi PKS Ledia Hanifa mengungkapkan, inisiasi RUU Tanggungjawab Sosial ini muncul lantaran selama ini DPR melihat kewajiban CSR belum berjalan secara optimal. Pemicunya: belum ada payung hukum yang kuat tentang target yang harus dicapai dari CSR, bentuknya, dan apa yang harus dilakukan. Ini yang kami coba gali dari RUU Tanggungjawab Sosial ini,” katanya kemarin.
Sejatinya pemerintah telah mewajibkan program CSR lewat beberapa aturan. Antara lain di pasal 74 UU nomor 40 tahun 2007 tentang Perseran Terbatas. Dalam pasal 74 ayat 2 beleid itu menyebutkan, perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggungjawab social di lingkungan.
Tingkatkan transparansi
Dalam penjelasan pasal ini menyebutkan yang dimaksud perseroan yang menjalanan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam.
Sedang yang dimaksud dengan perseroan yang menjalankan kegiatan usaha yang berkaitan dengan sumber daya alam adalah perseroan yang tak mengelola dan tak memanfaatkan sumber daya alam, tapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.
Bila merujuk penjelasan itu, artinya seluruh perusahaan baik yang mengelola sumber daya alam maupun perusahaan yang kegiatan usahanya berdampak pada fungsi alam wajib memiliki program CSR.
Wakil Ketua Komisi VIII dari Fraksi PKB Abdul Malik Haramain menambahkan, lewat calon beleid baru ini, DPR ingin membuat program CSR lebih tertib dan transparan. Selama ini, pelaksanaan program CSR tak transparan.
Selain mewajibkan CSR, DPR juga berencana menetapkan besaran anggaran untuk program ini. Dari usulan yang masuk, besaran dana CSR yang akan diwajibkan sekitar 2%, 2,5% atau 3% dari keuntungan perusahaan.
Jalal, pengama CSR dan juga pendiri perusahaan social Wisesa menyebut, selama ini di Indonesia belum ada regulasi yang memayungi seluruh kegiatan CSR. Kegiatan CSR juga masih jauh dari tataran semestinya.
Namun, ia menyarankan agar tak ada batasan besaran anggaran untuk kegiatan ini. CSR harus dipandang sebagai investasi, sehingga tak perlu ada pembatasan anggran. “Bila ada pembatasan anggaran justru berpotensi sebagai sumber retribusi dan semangat untuk mencapai misi perusahaan berkelanjutan tidak tercapai,” ujar dia
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar