Industri Komponen Lokal Berguguran

Industri komponen di Indonesia setiap tahun terus mengalami pertumbuhan positif. Saat ini, jumlahnya sudah mencapai lebih dari 1.500 unit perusahaan yang memproduksi berbagai jenis komponen kendaraan bermotor dan elektronik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor.

Tapi sebagian besar industri komponen berasal dari luar negeri yang berinvestasi di Indonesia . Sementara  perusahaan pembuat komponen asli lokal menjadi minoritas. Pasifnya ekspansi perusahaan multinasional diindustri komponen ini ibarat buah simalakama.

Disatu sisi, pemerintah membentangkan karpet merah bagi penanam asing ( PMA ) supaya membangun pabrik di dalam negeri, sehingga ada banyak penyerapan tenaga kerja dan menambah pemasukan pajak bagi negara. Alhasil, roda ekonomi nasional pun berputar lebih kencang. Itu sebabnya, Badan Koordinasi Penanaman Modal ( BKPM ) getol berpromosi dan melobi penanam modal asing datang ke Indonesia demi mengejar target investasi tinggi. Hasilnya, memang dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan multinasional , terutama asal Jepang, Korea dan China berbondong-bondong mendirikan pabrik komponen otomotif dan elektronik di negara kita.

Disisi lain, industri komponen lokal menjadi minoritas dan posisinya kian terjepit. Pangsa pasar mereka semakin tergerus akibat produk kalah bersaing. Bahkan beberapa diantaranya sudah gulung tikar, sedangkan yang lainnya sekuat tenaga bertahan hidup dengan kondisi memprihatinkan.

Ironi nasib industri komponen lokal bukan isapan jempol belaka. “ Ada beberapa anggota asosiasi yang sudah mulai mengurangi produksi, bahkan ada yang sudah tak beroperasi lagi,”beber Hamdani Dzulkarnaen, Ketua Gabungan Industri Alat Mobil Motor ( GIAMM ), kepada tabloid KONTAN, senin (11/7).

Sayang Hamdani tidak menyebut berapa jumlah perusahaan komponen otomotif yang berhenti berproduksi. Maklum, rata-rata perusahaan tersebut menutup-nutupi keadaan yang sesungguhnya. “ kebanyakan yang tutup itu second layer. Tapi memang saya belum bisa share karena kondisinya belum pasti,”kilahnya.

Hamdani pun tidak menapik adanya kekhawatiran dari anggota asosiasi karena pasar lokal yang semakin tergerus akibat masuknya investasi asing kesektor industri komponen. “ perusahaan komponen lokal yang kolaps sudah 11 perusahaan,” imbuh Rosalina Faried Ketua Umum Perkumpulan Industri Kecil dan Menengah Komponen Otomotif ( PIKKO ).

Sebab itu, GIAMM sempat berdiskusi dengan BKPM dan Kementerian Perindustrian agar selektif dalam memberikan izin investasi baru di industri komponen yang pemain lokalnya sudah ada sejak lama. “Tapi sulit juga karena mereka dikejar target. Jadi susah untuk selektif,” keluhnya.

Ada beberapa penyebab yang membuat perusahaan komponen lokal berguguran. Pertama, Bahan baku produksi yang mahal. Hamdani bilang, bahan baku impor komponen mencapai 50% – 70% . Baja, Karet, biji plastik, dan aluminium , hampir semuanya impor. “Natural rubber memang dari Indonesia, tapi kebanyakan yang dipakai rubber impor,” ujar Hamdani.

Kedua, Upah buruh yang semakin tinggi. Pasalnya upah minimun regional ( UMR ) naik setiap tahun. Tak pelak kondisi keuangan perusahaan produsen komponen kian berat. Padahal, ongkos produksi lainnya juga selalu naik. Akibatnya perusahaan produsen komponen lokal menjual produk mereka dengan harga yang lebih mahal ketimbang perusahaan PMA.

Ketiga, penguasaan teknologi . Umumnya, teknologi yang dipakai oleh perusahaan komponen lokal skala kecil dan menengah masih jadul. Sedangkan perusahaan PMA menerapkan teknologi terkini yang canggih, “PMA teknologinya sudah canggih sehingga bisa menjual produk lebih murah,” terang Hamdani.

Sejatinya , industri komponen otomotif dan elektronik ini memang berbasis teknologi sehingga dituntut inovasi baru. Alhasil, ketinggalan dalam penguasaan teknologi akan berujung pada produk yang tidak kompetitif dipasaran.

Keempat, modal perusahaan komponen lokal sangat terbatas. Bereda dengan perusahaan multinasional yang berinvestasi dalam jumlah besar. Dengan dukungan modal yang sangat kuat, mereka leluasa penetrasi pasar. Selain itu, secara manajerial, PMA lebih unggul ketimbang perusahaan lokal.

Faktor Relasi

Efek masuknya perusahaan asing diindustri komponen juga dirasakan PT Aristo Satria Mandiri Indonesia, sebuah produsen lokal yang memproduksi alat-alat cetakan untuk komponen otomotif. Selama ini, Aristo Satria memasok alat cetakan ke perusahaan Denso yang juga memproduksi komponen otomotif.  “ Jadi yang kami bikin adalah alat bantu industri komponen mesin produksi, bukan komponen yang  langsung dipasang di mobil,” tutur Dadi Siswaya, Pemilik Aristo Satria.

Aristo yang telah beroperasi 16tahun itu merupakan perusahaan skala UKM kategori tier 3 yang memasok komponen ke  orginal equipment manufactured (OEM)  alias produsen mobil. Dikategori ini, harga produk lebih murah sehingga persaingan antarprodusen sangat ketat.

Masalahnya muncul ketika pemerintah tidak selektif dalam memilih investor yang berdampak langsung ke perusahaan lokal. Dadi memaparkanm banyak perusahaan komponen baru yang masuk dari Jepang, Korea dan China tersebut sebenarnya berskala UKM dengan investasi terbatas. Mereka hanya bermodal kantor di ruko alias tidak punya pabrik sendiri. Berhubung di negara asalnya punya hubungan kerjasama dengan perusahaan besar disana, otomatis ketika datang ke Indonesia bisa dengan mudah mendapatkan order. Mereka memanfaatkan faktor kedekatan. Padahal sudah ada perusahaan lokal yang sebelumnya memasok ke pabrik otomotif itu.

Parahnya lagi , pesanan yang didapat perusahaan UKM asing ini ujung-ujungnya dikerjakan oleh perusahaan lokal. Sebab, pada dasarnya mereka tidak punya mesin dan sumberdaya manusia di Indonesia. “ kondisi ini yang otomatif mengganggu bisnis kami,” protes Dadi.

Bahkan, banyak perusahaan lokal yang harus kehilangan pesanan setelah masuknya investor asing, juga gara-gara faktor relasi bisnis si PMA di negara asal. Dadi bercerita, ada perusahaan komponen di Thailand yangs sudah punya kerjasama sebelumnya dengan OEM dinegara itu. Perusahaan otomotif ini juga ada di Indonesia. Nah, ketika perusahaan komponen itu melakukan ekspansi ke Indonesia, otomatis bekerjasama juga dengan OEM di Indonesia. Padahal, selama ini kebutuhan komponen otomotif produsen mobil ini dipasok dari perusahaan lokal. “ Misalnya, Ikada dengan Denso , ya, otomatis mereka jadi lebih gampang dapat order,” keluh dia.

Aristo pun mengalami hal yang sama. Sebelumnya , Aristo mendapat pesanan pembuatan mesin. Tapi sudah dua tahun ini pesanan tidak ada lagi. Meski menawarkan harga lebih murah, tetap saja produsen mobil mengambil produk dari perusahaan yang mempunyai kaitan relasi bisnis dinegara asal. “ Saya tawarkan mesin Rp 400juta saja. Sedangkan mereka tawarkan harga Rp 600juta pun tetap diambil,” ujar Dadi.

Lantaran persaingan tambah berat, Aristo memutuskan untuk membuat kongsi atau join venture dengan PMA. Pertimbangannya, pasar semakin menciut karena diambil PMA. Kami kan, subkontrak dengan mereka walau dengan harga murah. Volume pekerjaan pun menurun karena harus mengerjakan order mereka,” ujar Dadi.

Di mata Direktur Utama Pindad Silmy Karim, kehadiran PMA di industri komponen memang menjadi ancaman serius sekaligus menantang bagi perusahaan lokal agar berbenah diri dan meningkatkan daya saing “ PMA menjadi ancaman kalau negara tidak memiliki keberpihakan terhadap industri komponen lokal yang harus terus didorong untuk menuju kemandirian bangsa,” tegasnya.

Keberpihakan Pemerintah ini akan sangat menentukan industri komponen lokal bisa bersaing dengan PMA , yang memiliki kekuatan modal, teknologi tinggi, kemajuan manajemen , dan jaringan yang kuat. Silmy, mengutarakan , Pemerintah harus memberikan insentif atau fasilitas kepada produsen komponen lokal sebagai bentuk keberpihakan tersebut.

Pertama, dana pendamping riset. Kebijakan ini sudah diterapkan Jepang, Korea Selatan dan Israel. Misalnya , pemerintah memberikan subsidi dana riset sebesar 50% dan sisanya dari industri. Dana yang dikeluarkan pemerintah itu bisa kembali dalam bentuk pajak saat industrinya sudah menghasilkan produk dan diserap pasar.

Kedua, penurunan suku bunga pinjamanan menekan ongkos produksi . “ selama ini, bunga yang tinggi sangat memberatkan pelaku usaha, sehingga produk yang dihasilkan berbiaya tinggi dan tidak kompetitif, “ aku Silmy.

Ketiga , menggunakan semua instrumen yang ada untuk menahan barang impor atau membatasi ruang gerak barang impor supaya tidak membanjiri pasar lokal. Sebagai contoh , mengenakan bea masuk tinggi untuk komponen-komponen otomotif dan elektronik yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri.

Menyadari lingkungan yang kian kompetitif, Pindad, misalnya, terus berbenah. Selain memproduksi alat pertahanan, Pindad memproduksi sejumlah komponen dan mesin non-alutsista unggulan, antara lain pengait atau clip rel keretaapi, motor traksu, crane, berbagai deck machinery  untuk kapal komersial dan kapal perang serta generator listrik. Bahkan Pindad ekspansi usaha dengan memproduksi ekskavator. “ Pindad harus siap menghadapi persaingan dengan meningkatkan penguasaan teknologi. Jadi industri lokal juga jangan cengeng,” ujar Silmy.

Sumber: Tabloid Kontan, 18 Juli -24 Juli 2016

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , ,

Tinggalkan komentar