Pembahasan UU Pilkada & UU Tax Amnesty Bermasalah

10INILAHCOM, Jakarta – Dua Undang-undang (UU) yang telah disahkan DPR dan Pemerintah yakni UU Pilkada dan UU Pengampunan Pajak dinilai bermasalah secara prosedural. Padahal, UU Pengampunan Pajak saat ini tengah digalakkan sosialisasinya oleh pemerintah. Selain bermasalah secara prosedur, capaian kerja DPR juga tak sesuai target.

Direktur Eksekutif Indonesian Parliamentary Center (IPC) Ahmad Hanafi yang mewakili Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU MPR, DPR, DPD dan DPRD mengatakan dua RUU dari tiga RUU yang disahkan dalam masa sidang V DPR ini yakni UU Tax Amnesty, UU Pilkada dan UU Paten tidak memenuhi prosedur yakni pembahasan dilakukan secara tertutup dan tidak representatif.

“Dua dari tiga UU tersebut (UU Tax Amnesty dan UU Pilkada) dinilai bermasalah secara prosedur: tertutup dan tidak representatif,” ujar Hanafi dalam siaran pers di Jakarta, Senin (1/8/2016).

Lebih lanjut Hanafi mengatakan selama masa sidang V DPR, IPC melakukan pemantauan terhadap pembahasan empat RUU yang sedang dibahas DPR yakni RUU Migas, RUU Minerba, RUU Pilkada dan RUU Tax Amnesty. “Dari temuan kami, rapat dilakukan tertutup dan jauh dari jangkauan publik,” tegas Hanafi.

Dia menuturkan dalam pembahasan empat RUU tersebut dilakukan 48 sidang yang 31 di antaranya dilaksanakan secara tertutup serta 27 sidang dilaksanakan di luar gedung DPR. “50 persen lebih rapat tertutup menunjukkan bahwa DPR berkecenderungan membelakangi publik dalam membahas urusan-urusan publik,” sebut Hanafi.

Dia mencontohkan pembahasan RUU Tax Amnesty dari 33 sidang yang dilakukan hanya 10 sidang yang dilakukan secara terbuka untuk penjaringan aspirasi publik. “23 sidang sisanya diselenggarakan secara tertutup dan dilaksanakan di luar gedung DPR,” urai alumnus Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Hal yang sama terjadi dalam pembahasan UU Pilkada, Hanafi menyebutkan dari 7 kali rapat pembahasan, 5 di antaranya tertutup dan 2 kali diselenggarakan di luar Gedung DPR. “Yang ironi, RUU Migas dan RUU Minerba, seluruh rapatnya bersifat tertutup,” sesal Hanafi.

Secara hukum, IPC menilai Pimpinan Komisi II, Komisi VII dan Komisi XI tidak patuh terhadap ketentuan pasal 229 UU MD3 yang menyebutkan bahwa prinsip dasar rapat DPR adalah terbuka kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup. “Istilah tertentu bukan berarti ditafsirkan secara bebas oleh pimpinan sidang. Seharusnya ada rujukan hukum untuk memberi kepastian bagi publik, misalnya Pasal 14 UU KIP tentang pengecualian informasi,” tegas Hanafi.

Penafsiran sepihak anggota DPR tersebut, menurut Hanafi, mengakibatkan ruang partisipasi publik tertutup dan berpotensi menimbulkan ketidakpuasan publik. “Terlebih,UU Pilkada dan UU Pengampunan Pajak berpotensi menimbulkan perhatian yang kuat dari publik karena banyak kepentingan di dalamnya,” ucap Hanafi.

Di samping rapat dilakukan tertutup, secara linier rapat-rapat tersebut juga sedikit mengundang aspirasi masyarakat khususnya dalam pembahasan RUU. “Sedikitnya ruang partisipasi masyarakat diindikasikan dengan dua hal yakni pertama rapat yang tertutup, kedua forum konsultasi publik yang tidak massif yang hanya mengandalkan RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) semata,” tambah Hanafi.

Dia mengungkapkan rapat yang digelar Komisi XI saat membahas RUU Tax Amnesty hanya mengundang satu komunitas masyarakat sipil yang masuk dalam kelompok kepentingan. Selebihnya, dalam catatan IPC, yang diundang oleh Komisi XI merupakan akademisi dan stakeholder pelaksana UU. Hal yang sama terjadi dalam pembahasan RUU Pilkada. Pihak yang diundang oleh DPR mereka yang terlibat sebagai pelaksana UU Pilkada.

“Proses singkat dalam pembahasan UU Pilkada dan UU Pengampunan Pajak berbanding terbalik dengan proses Penyusunan RUU Migas dan Minerba. Dari berbagai informasi yang dihimpun IPC proses penyusunan terkesan lambat, hal ini disebabkan karena ada faktor selubung kepentingan yang sengaja memperkuat status quo,” tuding Hanafi.

IPC menilai pembahasan sejumlah RUU di DPR tidak mewakili kepentingan publik. Hal tersebut dibuktikan dengan sejumlah gugataan uji materi yang dilayangkan oleh sejumlah kelompok kepentingan terhadap UU Pilkada dan UU Tax Amnesty di Mahkamah Konstitusi (MK). “Tak heran begitu UU disahkan, sejumlah kelompok kepentingan, bahkan stakeholder pelaksana UU mengajukan Gugatan Judicial Review(JR) ke MK,” sebut Hanafi.

Seperti diketahui, saat pembukaan masa sidang V pada pertengahan Mei lalu, pidato Ketua DPR Ade Komarudin saat membuka masa sidang Ke V yang dibacakan Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan pada masa sidang V DPR RI menargetkan mengesahkan sembilan RUU. “DPR akan menyelesaikan penyusunan sembilan RUU dan melanjutkan pembahasan 16 RUU yang akan menjadi prioritas bersama dengan pemerintah,” ujar Fadli membacakan pidato Ketua DPR Ade Komarudin saat pidato pembukaan masa sidang V DPR, 17 Mei 2016 lalu.

Namun dalam kenyataannya, saat masa penutupan masa sidang V pada Kamis (28/7/2016) pekan lalu, DPR hanya mampu mengesahkan tiga UU yakni UU Pilkada, UU Tax Amnesty dan UU Paten. Dari dua UU tersebut, sejumlah masyarakat sipil menilai terdapat prosedur yang dilanggar yakni saat pembahasan UU Pilkada dan UU Tax Amnesty.

 

Sumber: http://www.pengampunanpajak.com

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Pengampunan pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar