Penerimaan negara dari wajib pajak orang pribadi nonkaryawan nyaris stagnan dari waktu ke waktu. Jelas, ada permasalahan dari sisi kepatuhan. Jika dilihat lebih dalam, ada problem besar terkait dengan fungsi pajak yang tidak berjalan.
Masih hangat di ingatan kita, dalam berbagai kesempatan, Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro yang kala itu masih menjabat sebagai Menteri Keuangan, selalu memaparkan rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak nonkaryawan di Indonesia.
Tahun lalu saja, penerimaan pajak penghasilan (PPh) dari wajib pajak orang pribadi (WP OP) nonkaryawan – dalam pos PPh pasal 25/29 OP – senilai Rp8,3 triliun atau hanya sekitar 0,8% dari realisasi penerimaan pajak nonmigas Rp1.011,2 triliun.
Padahal, penerimaan pajak dari WP OP karyawan – dalam pos PPh pasal 21 – terus mengalami kenaikan. Tahun lalu, penerimaan dari pos ini senilai Rp114,5 triliun atau sekitar 11,3% dari total pendapatan negara yang menjadi tanggung jawab Ditjen Pajak (DJP).
Sah-sah saja jika diklaim WP OP karyawan lebih patuh karena secara statistik memang penerimaan pajaknya lebih besar. Performa ini wajar karena dengan sistem withholding tax, ada pihak ketiga yang langsung memungut pajak dengan memotong gaji tiap bulannya. Bisa jadi akan berbeda kondisinya jika pembayaran itu diserahkan ke masing-masing WP OP.
Otoritas fiskal menyatakan masih rendahnya penerimaan negara dari WP OP nonkaryawan dikarenakan keterbatasan database dan akses data pihak ketiga, terutama data perbankan. Secara simultan, kondisi ini menjadi salah satu latar belakang pemerintah untuk menjalankan kebijakan amnesti pajak.
Nyatanya, jumlah WP OP nonkaryawan yang mengikuti amnesti pajak hingga periode pertama sebanyak 170.215 orang. Dengan data jumlah WP yang menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) sebanyak 2,13 juta, keikutsertaan tersebut baru mencapai 7,98%. Nilai uang tebusan Rp32,84 triliun.
Dari sisi kinerja pemungutan pajak rutin, penerimaan PPh pasal 25/29 OP hingga 18 Oktober 2016 senilai Rp4,79 triliun, lebih rendah 2,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp4,93 triliun. Target tahun ini Rp28,8 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui memang partisipasi WP OP nonkaryawan – yang memiliki pekerjan bebas – masih cukup rendah dalam kebijakan tersebut. Namun, pihaknya berujar akan melakukan pendekatan khusus untuk WP kelompok ini.
“ itu dibutuhkan suatu pendekatan yang berbeda. Inilah yang sedang kita giatkan sekarang ini untuk menjaring mereka secara baik, apakah lawyer, dokter, notaris, akuntan, ekonom, insinyur. Saya rasa itu kemudian menjadi entrepreneur biasanya membuat pekerjaan sendiri,” jelasnya, Rabu (19/10).
Dari data Kemenkeu, keikutsertaan dokter misalnya, jika dibandingkan dengan data berdasarkan nomor pokok wajib pajak (NPWP) baru sekitar 9,32%. Begitupun dengan pengacara dan arsitek yang masing-masing hanya 5,34% dan 5,24%. (lihat tabel)
Khusus untuk entrepreneur dan usaha kecil menengah, pemerintah juga memberikan fasilitas seperti kredit usaha rakyat dan bimbingan agar ada pembukuan yang baik. “Namun pada saat yang sama, suatu tradisi kepatuhan pembayaran pajak juga perlu dibangun,” imbuh Sri.
TERSEGMENTASI
Hestu Yoga Saksama, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP berujar sosialisasi akan terus dilakukan tapi lebih tersegmentasi terutama organisasi-organisasi profesi. Sosialisasi ini akan dijalankan masing-masing kantor wilayah maupun kantor pelayanan pajak.
“Di samping itu juga dilakukan analisa data aset dari masing-masing WP profesi tersebut sehingga mendorong mereka untuk mengikuti tax amnesty mengingat masih banyak harta WP profesi tersebut yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan,” jelasnya.
Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menilai profesi sebagai kelompok pekerja bebas memang potensial menjadi target tax amnestykarena selama ini menjalankan sendiri kewajiban perpajakannya. WP yang menggunakannonwithholding tax, sambungnya, biasanya memang kurang bahkan tidak patuh.
“Menarget mereka berarti masuk ke ‘information game’. Kira-kira jaring atau sistem seperti apa yang akan diterapkan ke depannya sehingga ada insentif mereka ikut tax amnesty,” katanya.
Dia mengusulkan agar ada pendekatan withholding atas konsumsi ke depannya sehingga fungsi redistribusi pendapatan itu dijalankan dengan baik. Dengan demikian, pemerintah seharusnya memperbanyak objek pemungutan PPh atas konsumsi barang-barang mahal atau mewah.
Jika yang dilakukan tetap menggunakan pendekatan penghasilan, menurutnya, pemerintah akan kesulitan melakukan pengawasan. Hal ini tetap berisiko terlebih jika kerahasiaan perbankan masih dipertahankan.
“Sebagian sudah ada, tapi perlu diperluas dan cara atau sistemnya diperbaiki. Pungut pajak dengan tarif rendah, cakupan luas supaya volumenya besar, lalu bisa dikreditkan. Menurut saya perlu dibuat benchmarking,” imbuhnya.
Ya, sekali lagi, pajak bukan hanya menjalankan fungsi budgeter atau penerimaan, tapi juga fungsi redistribusi pendapatan dari masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi yang lebih tinggi ke masyarakat dengan kemampuan lebih rendah.
Formulasi kebijakan yang mampu mengakselerasi kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan secara benar tidak bisa ditawar agar fungsi redistribusi pendapatan itu nyata. Sehingga, bukan hanya pusing memikirkan upaya menutup shortfall, tapi juga ada penyempitan kesenjangan ekonomi dan sosial.
Penulis: Kurniawan A. Wicaksono
Sumber: Bisnis.com
http://www.pengampunanpajak.com
Kategori:Pengampunan pajak
Tinggalkan komentar