
JAKARTA. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) semakin terancam dengan serbuan barang impor. Impor ilegal yang terjadi di sepanjang tahun 2016 diperkirakan mencapai Rp 85,8 triliun atau sekitar 22.000 kontainer ukuran 40 inci yang setara dengan 1.834 kontainer per bulan.
Ada beberapa modus penyelundupan tekstil. Salah satunya, impor borongan yang sekitar 40%, dengan kerugian negara Rp 6,82 triliun. Modus impor borongan dilakukan dengan cara memasukkan satu kontainer yang berisi berbagai jenis barang.
Dengan cara ini, importir bisa mengurangi pembayaran pajak dan bea masuk serta bebas aturan tata niaga impor, sehingga penghematan bisa mencapai Rp 775 juta-Rp 825 juta per kontainer.
Sedangkan impor ilegal rembesan dari kawasan berikat sekitar 40% dengan kerugian Rp 4,57 triliun, dan bale press (pakaian bekas) 20% dengan kerugian Rp 2,34 triliun serta pemalsuan normor HS barang yang diimpor dengan kerugian Rp 812 miliar.
Untuk mengatasi impor ilegal, Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSyFI) mengusulkan agar kontainer yang berisi lebih dari satu jenis barang dilakukan pemeriksaan fisik atau dikenakan biaya maksimal Rp 975 juta. Sedangkan untuk mengatasi rembesan dari kawasan berikat, perlu dilakukan peningkatan pengawasan dan audit perusahaan kawasan berikat. Juga pelarangan tegas barang dari kawasan berikat ke wilayah pabean.
Prama Yudha Amdan, Executive Asisstant to Presiden Director PT Asia Pacific Fibers Tbk, mengungkapkan, melihat banyaknya impor ilegal itu, industri tekstil domestik membutuhkan obat tepat dari pemerintah agar bisa sehat. Tanpa dukungan pemerintah, utilisasi produksi industri TPT yang sekarang sekarat bisa segera tutup.
Sekarang saja utilisasi produksi anjlok menjadi 49%. Dengan jumlah perusahaan sekitar 700 pabrik. Kondisinya, 200 perusahaan sudah menyetop produksi dan utilisasi produksi 300 perusahaan mencapai 50%.
Bila dibiarkan berlarut, di akhir tahun 2017 penyerapan produksi tekstil akan semakin turun hingga 25%. Dengan tingkat penyerapan 25% di pasar dalam negeri, diperkirakan ada 13 pabrik serat, 198 pabrik benang, dan 574 pabrik kain yang berhenti. “Nantinya hanya sekitar 25% produk tekstil dalam negeri yang terserap pasar dan selebihnya, yakni 75% yang tidak terpakai, kalau tren ini dibiarkan terus,” kata Saurabh Mishra, Direktur PT Indorama Polychem Indonesia di kantor KONTAN, Rabu (16/11).
Agar mimpi buruk itu tidak menjadi kenyataan, sejumlah industri TPT meminta beberapa hal. Pertama, revisi aturan impor yang tertuang dalam Permendag 85. Industri tekstil meminta agar pemerintah mengembalikan lagi syarat rekomendasi impor harus dari Kementerian Perindustrian agar adanya pengawasan ketat.
Kedua, pemeriksaan barang impor atau preaudit di Indonesia maupun negara asal impor.
Pengecekan tidak dilakukan oleh pemerintah melainkan oleh lembaga sertifikasi independen seperti PT SGS Indonesia dan PT Sucofindo (Persero). “Supaya barang yang masuk pelabuhan bisa diperiksa satu per satu apakah barangnya dicampur atau tidak,” kata Mishra.
Tidak hanya itu, kebijakan lain juga diperlukan seperti dalam hal suku bunga perbankan bagi industri TPT. “Perbankan mengenakan bunga tinggi sekali. Itulah mengapa margin kami tipis hanya 0,5%-1,5%, padahal volume penjualan besar,” kata Yudha.
Ketiga, soal tarif listrik juga masih menjadi persoalan. Bila dibandingkan dengan Vietnam, harga listrik mereka lebih murah. Tak heran bila industri TPT negeri itu bisa tumbuh tiga kali lipat.
Sumber: Harian Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Pemeriksaan Pajak
Tinggalkan komentar