
Baru-baru ini, pemerintah menerbitkan paket kebijakan ekonomi jilid 14 dengan target menjadikan Indonesia sebagai negara digital ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Langkah kongkretnya adalah menciptakan 1000 technopreneurs dengan nilai e-commerce mencapai US$130 miliar. Pemerintah berkeinginan agar pelaku usaha domestik dapat bersaing dengan perusahaan multinasional dan menyiapkan lingkungan yang mendukung untuk melahirkan pengusaha domestic berskala besar.
Peta jalan e-commerce telah disiapkan dan diharapkan mampu mendorong kreasi, inovasi, dan invensi kegiatan ekonomi baru, terutama kalangan generasi muda. Target pemerintah dapat dipandang sebagai sebuah lompatan, mengingat sebagian besar pelaku domestic masih termasuk pengusaha kecil dan menengah.
Selain itu, terdapat tantangan lain karena sebagian besar pengusaha e-commerce termasuk sektor yang sulit dipajaki (hard to tax). Pengusaha domestik keberatan dengan perlakuan perpajakan yang diberlakukan di Indonesia. Mereka beralasan bahwa e-commerce masih merupakan infant industry yang masih perlu diberikan insentif oleh pemerintah dan pengenaan pajak akan menghambat perkembangannya.
Perlakuan & insentif pajak
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dianggap masih belum memberikan respon sebagaimana yang diharapkan oleh pengusaha e-commerce. Perlakuan perpajakan tetap sama bagi transaksi konvensional maupun e-commerce, karena perbedaan hanya terjadi pada cara transaksinya. Perlakuan sebagai subjek, objek maupun tarif pajaknya tetap sama dengan perdagangan konvensional, sehingga setiap transaksi akan muncul kewajiban pajak penghasilan dan pajak penjualan (dikenal dengan pajak pertambahan nilai).
Aktivitas e-commerce tidak dapat disamakan pendekatan dengan hukum konvensional mengingat kompleksitas dan perbedaan media transaksi. Salah satu tantangan terbesarnya adalah perlakuan perpajakan yang adil terhadap perusahaan multinasional yang bertindak sebagai penyedia jasa over the top (OTT) misalnya Google, Facebook, Twitter, Youtube dan Whatsapp.
Inovasi model bisnis yang berkembang pesat seiring akses internet yang tidak mengenal batas negara. Selain itu, pengolahan data pengguna internet menimbulkan kesulitan dalam penentuan jenis penghasilan, pendeteksian lalu lintas transaksi serta penerapan kepatuhan pajak.
Bentuk insentif pajak yang ditawarkan menyangkut tiga hal, yaitu pengurangan pajak bagi investor lokal yang berinvestasi di startup; penyederhanaan izin/produser perpajakan bagi startup e-commerce yang omzetnya di bawah Rp 4,8 miliar per tahun serta persamaan perlakuan pengusaha e-commerce, baik asing maupun domestik. Kebijakan ini akan ditunjukan untuk mengutamakan dan melindungi kepetingan nasional, khususnya terhadap UMKM serta pelaku usaha pemula.
Definisi startup merujuk pada perusahaan yang belum lama beroperasi. Perusahaan-perusahaan ini sebagian besar merupakan perusahaan yang baru didirikan dan berada dalam face pengembangan dan penelitian untuk menemukan pasar yang tepat.
Pengertian lebih luas dijelaskan oleh Steve Blank bahwa startup is an organization formed to search for a repeatable and scalable business model. Bisnis modelnya bersifat kontinyu melakukan penjualan secara signifikan untuk kelangsungan hidupnya serta adanya peluang untuk terus tumbuh.
Sebagian besar perusahaan startup adalah perusahaan teknologi yang secara krusial mencapai pertumbuhan dan skalabilitas tinggi dengan didukung investasi yang besar. Faktor terpenting e-commerce adalah kemampuan mengadopsi mentalitas startup, yakni mengandalkan bisnis model bukan business plan.
Alexander Ostewalder telah menggambarkan bisnis model dengan kerangka sederhana sebagaimana bisnis ini harus menghasilkan uang pada tingkat yang diinginkan. Salah satu ciri khas bisnis model ini adalah kecepatan untuk menghasilkan keputusan bisnis jika tingkat keuntungan tidak tercapai.
Pengusaha e-commerce masih menunggu keluarnya petunjuk pelaksanaan untuk mengakomodir paket kebijakan ekonomi tersebut. Hal ini merupakan tantangan yang harus segera dijawab oleh DJP. Pertama, memberikan kesempatan pengusaha e-commerce domestik untuk terus berkembang tetapi disatu sisi masih diberikan target penerimaan pajak.
Kedua, belum ada satu metode pasti atau suatu kesepakatan internasional yang dapat digunakan untuk memajaki perusahaan OTT. Ketiga, adalah kecepatan perubahan bentuk bisnis model yang harus diimbangi dengan kemampuan (dan kecepatan) DJP dlam memungut pajak.
Penulis : Benny Gunawan Ardiansyah
Sumber: Harian Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Pemeriksaan Pajak
Tinggalkan komentar