Alarm Perlambatan Ekonomi

Tampaknya, target pertumbuhan ekonomi tahun 2016 sebesar 5,2% akan sulit tercapai. Sepanjang tiga triwulan laporan, pertumbuhan tertinggi hanya 5,18% yakni di triwulan II. Itu pun ditopang oleh faktor musiman berupa Ramadan dan Idul Fitri serta pembayaran gaji ke-13. Selebihnya, komponen penyusun produk domestic bruto (PDB) bergerak apa adanya. Tidak ada stimulus atau kejutan-kejutan yang dapat memacu ekspetasi pelaku usaha.

Tentu, situasi ini tidak menggembirakan, bukan saja bagi pemerintah tapi juga sektor swasta. Bagi pemerintah, tanggung jawab untuk menyerap tambahan tenaga kerja setiap tahunnya, serasa lebih sulit, ketika pertumbuhan ekonomi rendah dan disertai kualitas yang menurun. Artinya, target-target dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) akan menguap begitu saja. Lebih jauh, janji-janji politik saat kampanye lalu juga sulit terlaksana. Jokowi-JK mematok rata-rata pertumbuhan hingga 7% sepanjang 2015-2019. Tingkat pengangguran terbuka dan kemiskinan ditekan hingga mencapai level 5-5,5% dan 6-8%.

Jika memperhatikan kondisi sejak 2015, sepertinya target itu tidak akan tercapai. Rata-rata pertumbuhan ekonomi sejak 2015 di bawah 5% dan disertai perlambatan sektor padat karya (tradable). INi menjadi sinyal buruk terhadap penyerapan tenaga kerja. Pertumbuhan sektor padat karya (pertanian, pertambangan, dan industry pengolahan) rata-rata di bawah pertumbuhan PDB. Hal itu menggambarkan sektor tradable bukan lagi menjadi penyumbang utama pertumbuhan ekonomi.

Pada triwulan III-2015, peranan sektor pertanian terhadap PDB masih 14,52% dan turun menjadi 14,42% pada triwulan III-2016. Kondisi yang sama juga terjadi pada sektor pertambangan, turun dari 7,26% menjadi 6,94%. Kontribusi industry pengolahan pada triwulan III-2016 dicatat mencapai 20,38% dan hanya 19,93% pada triwulan III-2016. Secara total, kontribusi sektor tradable menurun dari 42,16% pada triwulan III-2015 menjadi 41,26% pada triwulan III 2016.

Dunia usaha turut berkepentingan agar pertumbuhan ekonomi melesat tinggi, sehingga mereka dapat menghasilkan laba maksimal. Dengan demikian, kelompok bisnis mampu meningkatkan kapasitas produksi, ekspansi, dan pada akhirnya menyerap tenaga kerja lebih banyak. Saat ini dunia usaha cenderung berproduksi di bawah rata-rata kapasitas pabrik, untuk menghindari kelebihan produksi. Sikap wait and see dunia usaha memasung performa sektor keuangan.

Cukup beralasan, perlambatan pertumbuhan kredit bukan hanya disebabkan oleh peningkatkan kehatian-hatian bank, tapi juga karena penurunan permintaan dari dunia usaha (credit crunch). Padahal butuh pertumbuhan kredit minimal dua kali dari pertumbuhan ekonomi.

Tantangan ekonomi global

Lepas landas ekonomi 2016 yang kurang memuaskan (hard landing), sedikit banyak mempengaruhi ekspektasi public terhadap geliat ekonomi tahun depan. Apalagi perkembangan ekonomi dunia semakin rumit, sejak munculnya sejumlah peristiwa politik di negara-negara utama dunia. Sumber gejolak pertama muncul saat hasil referendum Inggris untuk keputusam keluar dari Uni Eropa (Brexit). Pengaruh Brexit dapat dikatakan relative minor bagi Indonesia, karena integrasi ekonomi antar keduanya relative rendah. Pangsa nilai ekspor dan penanaman modal asing (PMA) rata-rata dibawah 1%. Namun, dampaknya Brexit akan relative berbahaya jika mempengaruhi permintaan ekspor lewat Tiongkok dan Amerika Serikat (AS).

Saat gjolak Brexit belum berakhir, ekonomi global kembali dikejutkan oleh hasil pemilihan presiden di AS. Pasar bereaksi sangat tajam, karena kemenangan Donald Trump tidak terpikirkan sebelumnya. Analis diberbagai lembaga riset keuangan dan kebijakan public, cenderung mempersiapkan scenario kemenangan partai incumbent. Sehingga, kebijakan ekonomi dan politik akan melanjutkan presiden sebelumnya. Saat Trump terpilih, negara-negara di dunia terutama emerging market economy harus memutar otak untuk memperkuat fundamental ekonomi.

Lewat janji kampanye, presiden terpilih akan melancarkan kebijakan proteksi, dengan mengurangi keterbukaan ekonomi AS dengan negara lain, terutama dengan Tiongkok. Trump meyakini Tiongkok melakukan manipulasi nilai tukar Yuan, sehingga mendorong daya saing produk. Di sektor fiscal, Trump akan melakukan ekspansi buat meningkatkan belanja infrastruktur. Risiko yang muncul adalah lonjakan utang dan mungkin menukik inflasi. Realisasi kenaikan the fed fund rate akan mempengaruhi pergerakan pasar keuangan negara lain melalui capital outflow.

Sebelum kejutan Inggris dan AS muncul, ekonomi global sudah dihadapkan pada perlambatan ekonomi Tiongkok. Prospek pemulihan ekonomi dunia dan pergerakan harga komoditas dunia semakin buram. Tiongkok merupakan perekonomian terbesar kedua dunia dan telah menjadi pusat produksi dan konsumsi dunia. PDB Tiongkok berkontribusi 15% terhadap PDB dunia. Produksi industry manufaktur Tiongkok berperan penting dalam rantai pasokan dunia.

Sebagai negara berpenduduk lebih dari 1 miliar jiwa, Tiongkok menjadi konsumen penting. Ini semakin runyam jika Trump benar-benar melakukan proteksi terhadap barang-barang dari Tiongkok (tariff impor).

Saat ini, relative sulit mengharapkan peranan lebih dari ekonomi internasional. Ekspor diprediksi masih bergerak landai dan bahkan cenderung menurun. Fenomena proteksi Trump, diperkirakan melibas ekspor Indonesia.

Padahal, ekspor Indonesia ke AS, sebetulnya, mulai pulih. Data Badan Pusat Statistik (BPS) merinci, pangsa ekspor nasional ke AS mencapai 12% sepanjang Januari-Oktober 2016 dan masih tumbuh sekitar 1% di tengah-tengah pertumbuhan negative ke negera lain. Beberapa komoditas ekspor utama Indonesia ke AS berupa tekstil (28%), pengolahan karet (12%), dan kulit, barang kulit dan sepatu/alas kaki (9%).

Tahun depan, pemerintah menargetkan pertumbuhan 5,1%. Kontribusi ekonomi lintas negara diproyeksikan masih rendah. Dengan demikian, pertumbuhan masih bergantung pada belanja rumah tangga. Jika demikian, pemerintah harus memastikan tidak ada kebijakan yang menekan daya beli. Misalnya, rencana kenaikan tariff dasar listrik (TDL) perlu ditinjau ulang. Jangan lupa, inflasi barang-barang bergejolak (volatile food) masih liar, walaupun inflasi umum bergerak lebih rendah.

Penulis : Abdul Manap Pulungan

Sumber: Harian Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Ekonomi

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar