JAKARTA, Ruang penghindaran pajak akan terus dipersempit. Salah satu caranya adalah Ditjen Pajak akan membuat perjanjian kerjasama dengan Organisation for Economic Co-operation ad Development (OECD) terkait tukar menukar informasi pajak.
Melalui kerjasama ini, nantinya Ditjen Pajak bisa membandingkan dokumen harga transfer atau transfer pricing document (TP Doc), dengan negara lain . Salah satu dokumen yang akan dipertukarkan adalah laporan perusahaan multinasional terafiliasi dari berbagai negara atau Country by Country Reporting (CbCR).
Perjanjian yang diberi nama Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA) ini akan ditandatangani pada 26 Januari 2017 di Paris, Prancis. Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak John Hutagaol mengatakan langkah ini diambil supaya Ditjen Pajak bisa menelusuri risiko yang ada atas manipulasi transfer pricing.
Seperti diketahui, sebelumnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 213/2017, terkait kewajiban perusahaan terafiliasi membuat TP Doc,. Keberadaan aturan ini sebenarnya merupakan implementasi dari rekomendasi EOCD, Action 13 of the Basic Erotions and Profit Shifting (BEPS) Action Plan.
Menurut John, kerjasama yang aan ditandatangani bagian dari apresiasi OECD kepada Indonesia. “Indonesia termasuk negara yang paling siap melakukan CbCR,” katanya, Sabtu (21/1).
Asal tahu saja, CbCR menggambarkan operasi perusahaan di setiap negara. Nah, nantiya CbCR ini bsa jadi solusi agar pelaporan perusahaan lebih transparan terutama tentang berapa pajak yang dibayar di tiap negara.
Bertukar data CbCR dari negara lain, Indonesia akan memiliki data pebanding, sehingga bisa diketahui, apakah CBCR atau TP Doc yang diberian wajib pajak sudah benar atau tidak.
Direktur Eksekutif Center for Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan selama ini kerugian negara atas transaksi afiliasi belum diketahui prsis . Sehingga, ketika ada sengketa pajak kerap ada keterbatasasn data pembanding. Padahal, penghindaran pajak internasional, termasuk transfer pricing, memiliki potensi pendapatan besar. “Jumlah perusahaannya bisa ribuan,” katanya.
Menurut Yustinus, peraturan yang ada belum cukup mencegah atau menangkal penghindaran pajak. PMK No.213/2017 memang sudah lebih detail dan mencantumkan syarat yang cukup jelas, tapi perlu diperkuat lagi.
Karena itu, langkah pemerintah memperkecil resiko manipulasi pajak oleh perusahaan dengan kerja sama ini diharapkan bisa megerek potensi penerimaan pajak negara.”Saya rasa bisa ada potensi Rp. 20 triliun sampai Rp. 25 triliun,” ucapnya.
Sumber: Harian Kontan, Senin, 23 Januari 2017
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar