Handayani tak pernah memiliki rencana membiakan duit di sebidang tanah. Investasi properti ibu dua anak ini terjadi secara tidak sengaja pada 2010 silam.
Saat itu, karyawan lepas di sebuah perusahaan swasta ini bercerita, seorang kenalan datang ke rumahnya. Dia bermaksud menjual sebidang tanahnya lantaran membutuhkan uang untuk biaya pernikahan anaknya. Kepada Handayani, pria yang bekerja sebagai penjual gorengan itu menawarkan tanah seluas 110 meter persegi (m2) seharga Rp 12 juta.
Artinya, Handayani bilang, harga tanah yang berlokasi di bojonggede, Kabupaten Bogor itu Cuma Rp 110.000 per m2. “Penjual Cuma minta disediakan Rp 5 juta dahulu. Sisanya bisa dibayar kemudian,” ujar perempuan berusia 36 tahun ini.
Bagi Handayani, tawaran penjual menarik. Apalagi legalitas tanah jelas. Ia pun mengambil tawaran tersebut. Selang tiga bulan, penjual kembali menawarkan sebidang tanah di lokasi yang sama. Harga penawaranpun juga sama Rp 12 juta untuk tanah berukuran 110 m2. Handayani lagi-lagi mengambil tawaran tersebut dan membayarnya kontan.
Total jendral, Handayani memiliki sebidang tanah seluas 220 m2. Sebagai modal, ia hanya menrogoh kocek Rp 24 juta ditambah Rp 5 juta lagi untuk biaya surat dan balik nama.
Enam tahun berselang, harga tanah di daerah Bojonggede terus naik. Makanya nilai investasi tanah di daerah Bojonggede terus nail. Makanya, nilai investasi tanah Handayanipun juga terus meningkat. “Terakhir, ada yang menawar tanah saya Rp 600.000 per m2,” ujar dia.
Itu artinya, dalam waktu enam tahun, nilai investasi tanah Handayani di tanah seluas 220 m2 itu sudah naik hingga 445%. Dihitung secara tahunan, harga tanah Handayani naik sekitar 74% per tahun.
Toh tawaran cuan besar itu tak berhasil membuat Handayani menyerahkan tanahnya. Ia memilih membiarkan tanahnya nganggur. Selama enam tahun ini, warga Bojonggede ini bilang warga di sekitar lokasi tanahnya memanfaatkan tanah tersebut untuk bercocok tanam. Saat panen mereka biasanya membagikan hasil panen kepada Handayani.
Tentu, Handayani bukan tidak tertarik keuntungan besar hingga membiarkan tanahnya menganggur. Beberapa kali ada juga seorang mengaku sebagai perwakilan perusahaan pengembang mengajukan niat membeli tanahnya. Maklum tanah milik Handayani berloksi di dekat lahan milik perusahaan pengembang.
Handayani bilang, sejak membeli tanah tersebut. Ia punya rencana untuk mengembangkan bisnis kontrakan di atas lahan tersebut. Alasannya, pendatang di wilayah Bojonggede makin meningkat tiap tahun. Permintaan terhadap hunian pun kian meningkat.
Itu sebabnya potensi bisnis sewa rumah cukup besar. Handayani bilang, tarif sewa rumah kontrakan di Bojonggede saat ini berkisar Rp 500.000 per bulan. Dengan tanah seluas 220 m2, ia bisa membangun rumah petak sebanyak enam unit. “Bisa punya pendapatan tetap tiap bulan,” kata Handayani.
Memang, pemilik gerai pulsa ini terpaksa harus menunda rencana tersebut, bukan apa-apa. Saat ini, ia bilang masih belum punya modal yang cukup umtuk membangun rumah kontrakan. Makanya ia memilih membiarkan tanahnya menganggur.
Begitu pula dengan Jerremy, pria yang berusia 56 tahun yang mulai berinvestasi tanah sejak 2009 lalu. Pensiunan pegawai di sebuah perusahaan BUMN ini mengatakan, properti menjadi pilihan untuk investasi jangka panjang. Selain itu, dengan membeli tanah, ia ingin memberikan warisan kepada anak-anaknya.
Pada 2009 lalu, pria yang kini tinggal di purwakarta ini membeli tanah seluas 1.000 m2 yang berlokasi di daerah Cikampek. Seorang tetangganyya menjual lantaran membutuhkan dana untuk berobat sang istri, Saat itu Jerremy membeli tanah tersebut seharga Rp 50.000 per m2.
Pada tahun 2011, Jerremy menjual lahan tersebut seharga Rp 220.000. Hanya dalam kurun waktu dua tahun, Jerremy memperoleh keuntungan alias capital gain sebesar 340%. “Saya berani mematok harga mahal karena disekitar tanah saya sedang dilakukan perluasan kawasan industri,” ujar Jerremy.
Toh ayah tiga anak ini masih memiliki sebidang lahan yang ia beli pada akhir 2009 lalu. Tanah berukuran 2.000 m2 itu berlokasi di purwakarta. Saat itu, Jerremy membelinya seharga Rp 50.000 per m2.
Jerremy memperoleh harga murah lantaaran lokasi lahannya berada di pelosok. Listrik maupun jalan raya juga belum ada. Hanya sawah tanpa ada rumah di sekitarnya. “Karena itu, Jerremy membiarkan tanahnya digunakan warga sekitar untuk bercocok tanam.
Pada tahun 2013, harga tanah di kawasasn tersebut naik menjadi Rp 130.000 per m2. Lonjakan tersebut lantaran ada sebuah restoran yang dibagun di daerah itu. Saat itu, Jerremy bilang, tanah miliknya juga ditawar seseorang. Namun ia tak mau melepasnya karena harganya terlalu rendah.
Kini harga tanah di sekitar lahan Jerremy malah sudah naik lagi menjadi Rp 300.000 per m2. Dalam periode delapan tahun, maklum pemerintah sudah membangun jalan di kawasan tersebut. Malah ada rencana pemerintah membikin jalan pintas menuju Bandung melewati Wanayasa, Purwakarta.
Seperti Handayani, Jerremy juga tak mau menjual tanahnya meski harga sudah naik tinggi. Selain sebagai investasi ia berencana memberikan tanah tersebut kepada tiga anaknya sebagai warisan. Karena itu ia membiarkan tanahnya menganggur dan digarap oleh warga sekitar.
Baik Jerremy maupun Handayani tentu tak bermaksud menjadi spekulan tanah, Meskipun keduanya membiarkan tanahnya kosong selama bertahun tahun. Toh saat harga naik tinggi, keduanya tetap tak rela melepas tanahnya lantaran punya rencana mengembangkan bisnis maupun menjadikan warisan untuk anak.
Investor seperti Jerremy tak terima jika lahannya dianggap tanah menganggur dan dikenai pajak lebih tinggi sebab selama ini ia sudah memberikan keleluasaan kepada masyarakat sekitar utuk memanfaatkan tanahnya bertani. Artinya tanah tersebut telah memberikan manfaat yang baik bagi warga sekitar. “Kok masih mau dikenai pajak yang lebih tinggi?” tanya Jerremy.
Memang hingga saat ini, belum aada kepastian mengenai definisi tanah menganggur yang akan dikenai pajak lebih tinggi. Yang jelas, pemerintah beralasan pengenaan pajak tinggi untuk tanah menganggur ditujukan untuk membatasi gerak spekulan tanah.
Memang praktik spekulasi lahan marak terjadi khususnya di lahan yang berdekan dengan rencana pembangunan proyek, akibatnya harga tanah naik menjadi gila-gilaan. Dampak selanjutnya ketimpangan kepemilikan tanah kian lebar.
Bukan Cuma itu, berdasarkan pengalaman Risza Bambang, ada satu praktik di industri properti dalam beberapa tahun terakhir yang membikin harga tanah melonjak tinggi. Perencana keuangan sekaligus Chairman dari PT Padma Radya Aktuaria ini menceritakan ada orang yang duitnya terbatas namun punya ilmu jual beli properti dan tanah.
Nah, mereka ini biasanya mendekati pemilik tanah lalu menawarkan harga beli tinggi sesuai permintaan pemilik. Cuma mereka biasanya harga membayar beberapa persen dari kesepakatan harga sebagai uang muka lalu sekadar tanda jadi. Lalu sisanya akan dibayar dalam jangka waktu tertentu.
Pemilik tanah tentu senang dengan penawaran harga tinggi . Ynag tidak dia sadari, pembeli tersebut sebetulnya tidak memiliki dana yang cukup untuk membeli tanahnya. Pembeli hanya bermaksud mencari untung dengan menjual lahan tersebut kepada pihak lain baik dijual sekaligus maupun dipecah dalam bentuk kavling.
Praktik semacam ini kemudian mempengaruhi spekulan lainnya. Akhirnya banyak spekulan membeli tanah tapi tidak memiliki rencana mengembangkan lahan tersebut. Yang terjadi selanjutnya juga harga tanah di daerah tersebut akan melonjak lantaaran masyarakat sekitar mengetahui berapa harga penjualan tanah si pemilik.
Sejatinya, praktik semacam itu juga dijalankan pengembang. Perbedaannya, pengembang benar-benar memiliki rencana untuk membangun properti di atas lahan mereka beli. Sedangkan spekulan tak memiliki rencana untuk mengembangkan lahannya.
Spekulan ini biasanya cuma menyimpan tanah dan menunggu harganya naik tinggi. Tak heran tanah yang mereka beli benar benar menganggur tak terawat. “Di beberapa tempat, tanah menganggur ini Cuma menjadi tempat membuang sampah,” ujar Rizsa yang berpengalaman sebagai investor properti.
Nilai Tambah
Bagi Erwin Karya, aksi spekulasi terhadap tanah sebetulnya enggak mudah. Sebab, mereka juga terkena pajak penghasilan saat melakukan transaksi jual beli. Setiap tahun pemilik lahan juga harus membayar pajak bumi dan bangunan (PBB). Jadi menurut Associate Director Ray White ini, mereka tetap punya resiko sehingga lebih tepat jika disebut investor.
Pada praktiknya tak semua orang lihai dalam berinvestasi properti. Bagi banyak orang, lokasi tersebut barangkali Cuma lahan yang menjadi tempat sampah. Investor yang jeli bisa melihatnya sebagai aset yang bakal bernilai tinggi beberapa tahun ke depan. ‘Beberapa kawasan pemukiman saat ini dulunya juga tempat jin buang anak,” ujar Risza.
Tentu jika tanah kosong dan sekedar jadi tempat sampah bbisa jadi harganya enggak akan melonjak tinggi. Kalaupun naik, keuntungannya sebetulnya tidak banyak.
Karena itu, dalam berinvestasi di bidang properti , Risza biasanya membeli lahan kosong, Setelah itu ia membangun properti di atas lahan tersebut. Setelah jadi, ia menyewakan properti tersebut dan baru akan menjualnya beberapa tahun kemudian. Menurut Risza perbedaan harga tanah kosong dengan tanah plus bangunan sangat jauh.
Jika menjual tanah saja, kenaikan harga hanya mengikuti harga pasar. Namun, jika menjual tanah dan bangunan, investor bisa memperoleh nilai tambah. Tengok saja perbedaan antara rumah baru dengan rumah bekas.
Di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, Risza mengatakan harga rumah baru dengan luas tanah 200 m2 dan luas bangunan 300 m2 bisa mencapai Rp 8 miliar. Sementara harga rumah bekas paling banter cuma menghitung luas tanah saja.
Karena itu, Risza menyarankan, investor properti harus punya rencana matang sebelum membeli lahan. Jangan sampai lahan hanya dibiarkan menganggur bertahun tahun. “Mendingan uang ditaruh di bank saja,” katanya.
Toh, bagi sebagian investor, mengembangkan bisnis properti bukan urusan mudah. Erwin bilang, cuan dari penjualan tanah kosong maupun menjual tanah dan bangunannya sebetulnya sama sama menarik. Memang investor akan meraup cuan lebih besar jika mau membangun properti dulu, misalnya rumah kontrakan atau rumah toko (ruko).
Masalahnya untuk membangun properti, investor harus punya modal besar. Selain masalah keterbatasan dana, Erwin bilang investor juga harus siap menghadapi resiko apabila propertinya tak laku terjual.
Hitungan Erwin, jika menjual tanah saja, investor bisa memperoleh capital gain rata rata sebesar 10-20% per tahun. Tentu, besaran cun bergantung kepada lokasi, permintaan dan faktor lainnya. Nah, jika membangun properti lalu menyewakannya, investor bisa mendapat return setidaknya 2,5% per tahun. Di kemudian hari, dia bisa menjual properti tersebut untuk mendapatkan capital gain.
Bagaimanapun, Erwin bilang investasi properti masih sangat prospektif. Dari dulu, orang Indonesia terbilang gila properti. Selain keuntungan lebih stabil, cuan properti juga lebih besar dibandingkan deposito.
Yang jelas, semua investor tentu akan memilih cuan yang lebih besar. Cuma, semua berharap pemerintah tidak pukul rata mematok pajak tinggi atas tanah mereka yang memang belum dikembangkan.
Simulasi Pajak Jual Beli Tanah
| Transaksi jual beli tanah seluas 200 m2 dengan kesepakatan harga Rp 1 juta per m2 | |
| Harga Tanah (200 m2 x Rp 1 juta) | Rp 200 juta |
| NPOPTKP | Rp 60 juta |
| BPHTB | 5% x (200 juta- Rp 60 juta) = 70 jt |
| PPh | 2,5% x 200 juta = Rp 5 juta |
Jenis Pajak Terkait Jual Beli dan Kepemilikan Tanah
| Jenis Pajak | Tarif | Penanggung | Keterangan | |
| Pada saat transaksi jual beli tanah | BPHTB | 5% dari perolehan properti setelah dikurangi nilai NPOPTKP | Pembeli | Besaran NPOPTKP bervariasi di setiap daerah |
| PPh Final | 2,5 dari jumlah bruto pengalihan hak tanah atau bangunan | Penjual | Dikecualikan untuk orang pribadi dengan penghasilan dibawah PTKP yang melakukan pengalihan dengan jumlah bruto kurang dari Rp 60 juta | |
| Selama kepemilikan atas tanah | PBB | 0,5% dari nilai jual kena pajak | Pemilik Tanah | NJKP = 20% atau 40% dari NJOPKOP |
Sumber : Kontan, Senin 6 Febuari 2017
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar