
JAKARTA. Pro Kontra wacana pengenaan pajak progresif untuk kepemilikan tanah yang luas, capital gain tax untuk transaksi tanah, dan unutilized asset taxi untuk tanah menganggur terus berkembang. Tidak hanya para tuan tanah dan pengusaha yang terganggu dengan rencana ini, Ditjen Pajak juga yakin dengan wacana ini.
Ketua Asosiasi Real Estat Broker Indonesia (AREBI), Ronny Wuisan bilang, kebijakan-kebijakan itu memiliki tantangan yang besar dari sisi implementasi. Sebab, tidak semua lahan memiliki nilai yang sama. “jika ingin berjalan baik, harus ada kerjasama dengan pemerintah daerah,” katanya, Rabu (8/2).
Menurutnya, salah sasaran apabila pemerintah hanya menyasar pengembang property. Sebab banyak pengembang tidak punya landbank banyak. Oleh karena itu, pemerintah harus menyasar ke pemiliki tanah individual di daerah. “contohnya penguasaha daerah,” katanya.
Ronny juga melihat, aturan ini akan memberatkan pemilik tanah sengketa dan tanah warisan. Sebab banyak diantara mereka yang memiliki tanah, namun bukan untuk rumah atau usaha. Dengan kebijakan itu, mereka akan terdorong cepat-cepat menjual tanahnya. “Daripada tiap tahun kena pajak,” katanya.
Ditjen Pajak hati-hati
Namun pelaku usaha kawasan industri paling ketar-ketir karena tanahnya bisa mencapai ratusan hektare.
“Kalau membangun tidak mungkin hanya karena menghadiri pajak progresif. Kalau jual, harga berapa? Mereka pusing disitu,” ujar Ronny.
Sementara, Ditjen Pajak melihat mekanisme pajak progresif, capital gain tax, dan unutilized asset tax, harus dikaji lebih lanjut. Ditjen Pajak tidak ingin jika akhirnya kebijakan ini salah arah.
Direktur Penyuluhan, pelayanan dan hubungan Masyarakat Hestu Yoga Saksama bilang, pelaksanaan capital gain tax memerlukan undang-undang yang harus dibahas dengan Dewan Perwakilan Rakyat. “Belum ada arah itu di DPR,” katanya.
Menurutnya, ada kemungkinan mekanisme yang diusulkan melalui instrument PPh pasal 4 ayat 3, yang hampir sama dengan capital gain tax . perbedaannya, jika capital gain tax dikenakan atas selisih harga, PPh pasal 4 ayat 3 berupa PPh final dari harga jual. “tarifnya 2,5% sekarang, atau nanti jika tarif progresif, ada yang 5% dan berapa lagi bisa seperti itu,” jelasnya.
Hestu mengaku sangat hati-hati memutuskan pajak atas idle ini. Pasalnya, Ditjen Pajak melihat implementasinya tidka akan mudah karena tanah menganggur harus memiliki definisis, batasan, dan target yang jelas. Karena itu, dia menghimbau agar masyarakat tidak khawatir. “ini untuk hindari tanah menganggur dan aksi spekulan,” ucapnya.
Anggota DPR RI Komisi XI Misbakhun juga bilang, DPR belum ada pembahasan kea rah pengenaan pajak tersebut. Menurutnya, bila berbicara soal pajak, maka harus ada undang-undang yang perlu dibicarakan di tingkat DPR. “setiap pajak yang dipungut harus melalui UU. Itu amanat konstitusi,” katanya.
Sumber: Kontan, Kamis, 9 Februari 2017
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar