Gula Impor Tak Mampu Tekan Harga

JAKARTA. Sejumlah kebijakan pemerintah untuk menetapkan harga gula kristal putih (GKP)  atau gula konsumsi sejauh ini bisa dikatakan gagal. Pasalnya, harga gula di pasar saat ini rata-rata masih mencapai Rp 14.000-Rp 15.000 per kilogram (kg). padahal, pemerintah menetapkan harga acuan gula mencapai Rp. 12.500 per kg.

Kebijakan yang paling menonjol dari pemerintah untuk menurunkan harga gula ini adalah dengan membuka keran impor gula mentah atau raw sugar kepada perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta.

Tak hanya impor, Kementerian Perdagangan (Kemdag) selaku regulator dalam tata niaga pergulaan juga telah mematok harga lelang petani sejak tahun lalu maksimal hanya Rp. 10.500 per kg padahal, tahun 2015 lalu, harga lelalng gula petani menembus angka Rp 11.900 per kg.

Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen mengatakan impor gula hanya menguntungkan importir gula karena mereka bisa menjual gula dengan harga tinggi. Sementara para petani tebu harus pasrah menerima harga gula yang rendah karena ditekan pemerintah. “padahal, menurut kami, sebenarnya impor gula konsumsi saat ini tidak perlu karena masih ada stok gula sebesar 500.000 ton lagi sisa dari tahun lalu,” ujarnya kepada KONTAN, senin (13/2)

Soemitro menjelaskan berdasarkan catatan APTRI, realisasi produksi gula tahun 2016 mencapai sekitar 2,1 juta ton. Kemudian pada tahun 2016, ada impor gula sebesar 1,2 juta ton lebih. Artinya ada 3,3 juta ton pasokan gula di tahun ini. Kemudian kebutuhan gula diprediksi sebesar 2,8 juta ton dengan asumsi rata-rata konsumsi gula per penduduk per tahun 11kg. denan demikian masih ada sisa 500.000 ton gula lagi.” Itu pun dihitungnya  sisa gula itu per bulan April 2017 nanti, sebab impor tahun lalu itu mulai bulan April,” terangnya.

Nah, mulai Februari dan Maret ini, sudah ada giling tebu di Sumatra, khususnya di Medan meskipun proyeksi produksinya masih kecil sekitar 20.000 ton. Kemudian nanti menyusul giling di Lampung yang volumenya diperkirakan cukup besar karena di Lampung ada banyak Pabrik Gula (PB) swasta. Selain itu, di bulan Mei-Juni, sudah masuk panen raya di Jawa.

Kemdag sendiri telah memberi izin impor kepada perusahaan gula sebanyak 400.000 ton gula mentah untuk diolah menjadi gula konsumsi dengan  harapan pasokan gula akan melimpah sehingga harga akan turun. Tapi, kenyataannya tak demikian.

Anggota Komisi VI DPR yang juga Wakil Ketua Panitia Kerja (Panja) Gula DPR Abdul Wachid menilai kebijakan impor gula tahun ini memasuki era liberalisasi.

Ia menyebut meskipun memberikan kuota impor dan menetapkan harga acuan, tapi Kemdag tidak mengawasi dengan baik pelaksanaanya sehingga tidak ada korelasi anatara dua kebijakan ini. Menurutnya, para importir meraih untung besar dari kebijakan pemerintah ini. Selain itu, selisih harga yang besar antara lelang gula petani dengan harga jual gula di pasar juga harus menjadi peringatan bahwa ada pihak lain yang mengambil untung besar.

Lebih jauh, Abdul menyebut kemelut soal gula ini berawal dari perbedaan perbedaan data yang sangat signifikan antara yang dimiliki Kemdag dan fakta di lapangan. Menurutnya, Kemdag menggunakan data yang keliru untuk menjadi dasar bahwa impor gula mendesak untuk dilakukan.

Menurut Abdul, sebelum impor 400.000 ton keluar, terjadi simpang siur soal data produksi gula tahun 2016 dan kebetulan gula tahun ini.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemdag Tjahja Widayanti memilih bungkam dan tak menjawab pertanyaan ketika dikonfirmasi KONTAN terkait permasalahan ini.

Sumber: Kontan, Selasa, 14 Februari 2017

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com

 



Kategori:Berita Ekonomi

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar