Salah satu tujuan kebijakan berbasis tanah adalah membatasi gerak spekulan tanah. Caranya ? Pemerintah berniat mengenakan tiga macam pajak atas tanah.
Pertama, pajak dengan tarif progresif atas kepemilikan tanah yang lebih luas. Kedua, pajak berbentuk capital gain tax untuk transaksi jual beli tanah. Ketiga, unutilized asset tax untuk tanah menganggur tanpa ada perencanaan.
Untuk mengetahui seperti apa dampak dari rencana pengenaan pajak tersebut terhadap pemilik tanah, Wartawan Tabloid KONTAN Muhammad Fahmi Alby mewawancarai Eddy Ganefo, Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apresi). Berikut nukliannya :
KONTAN : Bagaimana pandangan anda terhadap tiga pajak tanah, terkait Ekonomi Berkeadilan yang kini disiapkan pemerintah ?
EDDY : UUD Pasal 33 ayat 3 menyebutkan bahwa bumi air dan udara pada tingkat paling tinggi dikuasai negara dan dimanfaatkan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat. Nah, ini diatur oleh negara kepemilikanya. Jika dimiliki perorangan atau badan usaha, namun tidak dimanfatkan untuk kemakmuran rakyat, seperti tanah terlantar, seharusnya diambil alih oleh negara. Ini diatur juga dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 tahun 2010. Dalam PP itu, setelah si pemilik tanah mendapatkan hak milik atau hak guna bangunan (HGB) atau hak pakai, tanah itu tidak dimanfaatkan sesuai peruntukannya sesuai izin selama tiga tahun, itu bisa dikategorikan sebagai tanah terlantar. PP ini sekarang tidak berjalan. Sekarang muncul wacana pengenaan pajak progresif. Tentu, kami melihat ini bagus sekali. Adanya tanah yag terlantar meyebabkan harga tanah menjadi semakin tinggi. Karena semakin sedikit luas tanah yang bisa dibeli. Ini akibat kepemilikan tanah dalam jumlah luasan yang besar dan tidak dikerjkan di tangan segelintir orang. Padahal kami, pengembang menengah dan kecil sangat membutuhkn tanah dengan harga murah. Tanah itu juga dibutuhkan untuk menyukseskan program sejuta rumah. Jadi, kami sangat mendukung sekali adanya pajak progresif ini.
KONTAN : Memang, praktik jual beli tanah sekarang itu seperti apa ?
EDDY : Kita membeli lahan sesuai dengan kebutuhan yang akan kita gunakan untuk pembangunan perumahan di daerah tersebut. Artinya, kita membeli sesuai dengan kebutuhan. Beradasarkan perkiraan kita, berapa banyak sih kebutuhan konsumen. Dari situ akan didapat luas tanah yang dibutuhkan. Dan pembelian tertentu hasu mendapatkan izin dari pemerintah daerah seperti izin lokasi, pemnfaatan lahan dan ruang. Baru bisa kita beli tanah tersebut baik yang sudah disertifikasi atau belum.
Setelah kita bangun perumaan, kita jual kembali kepada konsumen. Pada saat beli tanah kita kena BPHTB, setelah jual kita kena PPN. Kalau rumahnya tergolong mewah bisa kena PPnBM. Setelah berada di tangan pembeli, rumah itu akan kena Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Dan seterusnya.
KONTAN : Apakah pengembang tidak merasa terbebani dengan rencana pengenaan pajak tambahan atas tanah ?
EDDY : Pajak tambahan atau progresif yang di rencanakan itu hanya untuk tanah terlantar. Kalau tanah yang tidak terlantar dan artinya dibangun setelah dibeli ya tidak kena pajak tambahan. Yang saya tangkap seperti itu. Tapi jika tanah tersebut ditelantarkan maka atas tanah tersebut akan dikenakan pajak tambahan. Menurut saya, tanah semacam ini wajar dikenakan pajak tambahan.
KONTAN : Mengapa ?
EDDY : Agar ada motivasi dari pemilik tanah untuk segera memberdayakan tanah tersebut. Ini penting untuk mendongkrak pertambahan tenaga kerja dan aspek ekonomi. Jika ada pembangunan atas tanah, akan ada warung, pemasok dan usaha lain. Perekonomian pasti bergerak. Kalau tanah tidak dimanfaatkan, tidak akan terjadi kegiatan usaha. Amanat UUD Pasal 33 ayat 3 pun tidak akan berjalan. Sebenarnya, itu bisa dikatakan sebagai pelanggaran terhadapan Undang-Undang (UU) Nomor 11 tahun 2010 tentang pemberdayaan tanah terlantar dan UUD 45 pasal 33 ayat 3.
Jadi menurut, pengenaan pajak itu sangat wajar. Seharusnya tanah yang telah ditelantarkan tersebut diambil alih negara. Masih mending hanya dikenakan pajak. Makanya saya bilang pajaknya harus tinggi untuk jenis pajak progresif bagi tanah terlantar. Tapi bagi mereka yang tanah terlantar. Tapi bagi mereka yang tanahnya tidak terlantar, mereka tidak dikenakan pajak. Mereka tidak ada masalah. Memang sebagian kecil pengembang besar atau pemilik tanah luas yang tidak menggunakan tanahnya, pada menolak dengan berbagai macam alasan. Padahal, mereka yang tidak mendukung pembangunan. Mereka berontak hanya untuk kepentingan diri sendiri. Tidak untuk kemakmuran rakyat. Kami sangat mendukung memberlakukan pajak progresif ini. Karena dengan demikian, mereka tidak akan lagi beli tanah dalam jumlah besar yang kemudian ditelantarkan. Apabila ini terjadi maka harga tanah akan stabil dan tidak naik secara drastis. Sebenernya saya mengharapkan konsep landbank, bukan landbank pemerintah, maka pemerintah bisa mengatur harga hingga harga tanah lebih stabil. Ini bisa dimanfaatkan untuk melaksanakan pembangunan rumah subsidi bagi masyarakat rendah ke bawah. Jumlah mereka yang belum punya rumah itu 15 juta. Padahal, rumah adalah hak asasi manusia.
Menurut saya pemerintah harus bertindak tegas dalam menjalankan PP No 11 tahun 2010. Kalau ada pajak progresif, segera saja dibuat tinggi-tinggi.
KONTAN : Apakah laragan individu untuk memiliki tanah dengan luas lebih dari 6.000 meter persegi, seperti yang termuat di PP Nomor 60 belum efektif ?
EDDY : Kenyataannya memang begitu. Saat peraturan tersebut keluar, yang punya tanah di Maja pada teriak semua. Maja itu dari zaman Menteri Muda Perumahan Rakyat dipegang Akbar Tanjung, sudah ada rencananya. Tanah di sanapun langsung dikuasai segelintir orang dengan lulusan yang sangat besar. Saat Djan Farid menjadi Menteri perumahan saya sempat bilang, “Bapak jangan bikin kota baru seperti ini. Mengapa ? Seharusnya ada komitmen dulu dari pemilik tanah. Berapa luasan tanah yang harus dibangun untuk rumah murah.” Dan itu dijadikan bank tanah dulu oleh pemerintah. Saran saya tidak digubris. Akhirnya, yang terjadi sekarang mana ada rumah murah di Maja ? Akhirnya, rumah disana akan menjadi rumah komersial semua. Kalaupun nanti ada rumah murah, paling cuma 10%. Yang menjeritkan masyarakat rendah, hak mereka di mana. Pasal 28 H nya mana. Dan dalam pajak ini, mereka juga mulai bermain. Jadi jangan mudah terpancing dengan alasan pengembang besar. Itu hanya untuk kepentingan mereka saja. Seperti Maja, lihat saja sudah enak sekali. Sudah dikasih fasilitas jalan, dan lainnya. Cuma masalahnya landbank dari pemerintah untuk masyarakat rendahnya mana? Seharusnya mereka menyiapkan. Itu kan ada pembagian berimbang 123. Nah tiga bagian itu harusnya disisihkan untuk rumah murah. Itu harus disisihkan. Dan diserahkan kepada pemerintah supaya harga tanahnya tidak naik. Yang satu dan dua silakan untuk komersial. Tapi ini terbalik.
KONTAN : Ada kekhawatiran pemberlakuan pajak progresif akan mengerek harga rumah?
EDDY : Nggak, kan yang dikenakan pajak hanya tanah terlantar. Untuk menghadapi spekulan besar, pemerintah tak boleh masuk angin. Pemerintah harus jeli melihat hal ini. Harus peka melihat itu. Aturan harus dilaksanakan. Jangan sampai terpengaruh mereka yang ingin memperkaya diri sendiri.
KONTAN : Apa tidak ada sanksi bagi yang melanggar PP Nomor 11 tahun 2010?
EDDY : Ya cabut hak milik. Jadi setelah tiga tahun setelah hak dikeluarkan, lalu diperiksa apakah ini tergolong sebagai tanah terlantar. Apabila benar, haknya akan dicabut.
KONTAN : Pasar perumahan sendiri sekarang seperti apa?
EDDY : Sekarang kondisi memang menurun karena terpengaruh situasi makro. Para spekulan rumah juga masih wait and see. Tapi untuk rumah murah dan subsidi, kondisi penjualan tetap, bahkan, semakin bagus. Yang menjadi masalah kami sekarang adalah kekurangan lahan. Kami memang kesulitan untuk mencari tanah yang harganya murah dan wajar untuk dibangun perumahan. Ini salah satu penyebabnya adalah adanya tanah-tanah yang diterlantarkan tadi. Coba Anda pergi ke Cikarang, atau Karawang. Lihat berapa luas tanah yang dimiliki segelintir orang dan kini tidak dipakai. Di Subang tren itu juga sudah dimulai, karena ada rencana pembangunan kawasan industri di sana. Di daerah-daerah pun sama. Media juga harus jeli melihat ini dari kacamata rakyat. Anda lihat pengusaha yang membangun rumah murah memang pengusaha kecil, karena tidak mampu beli tanah secara luas. Dan tidak ada pengembang besar yang membangun rumah murah, karena untungnya tipis.
KONTAN : Apakah pengembang rumah murahsaat ini dikenakan pajak?
EDDY : Untuk rumah murah, ada subsidi pajak. PPN sudah dibebaskan, tariff Pajak Penghasilan (PPh) hanya 1%. Untuk rumah komersial, tarif PPh sudah turun dari 5% menjadi 2,5%. Tapi tidak semua notaries menjalankan 2,5%/ karena itu perlu sosialisasi bahwa tarif 2,5% itu sudah berlaku. Jangan sampai pengembang masih dikenakan tarif sebanyak 5%. Menurut saya tarif lannya juga kena pada saat membeli dan menjual tanah, seperti PPh dan BPHTB. Dan itu dibebankan di harga rumah. Kita berharap karena PPh sudah turun, maka BPHTB juga bisa turun. Saat ini, BPHTB kan 5%. Walau sudah ada wacana penurunan, tapi pelaksanaannya kan bergantung pada pemerintah daerah yang punya kewenangan. Kami berharap ada keseragaman tarif, missal dari 5% menjadi 1%.
KONTAN : Sebagai pengembang rumah murah, menurut Anda definisi tanah menganggur yang ideal itu seperti apa?
EDDY : Kriteria tanah menganggur itu tanah yang haknya sudah diminta pemiliknya untuk tujuan tertentu. Tapi setelah mendapatkan haknya, si pemilik tidak melakukan apa yang dimintanya. Sejak ada wacana pajak progresif, banyak tanah yang tadinya lahan menganggur, mulai digali dan dibersihkan. Lalu didiamkan lagi, seolah-olah sudah dikerjakan. Contohnya yang terjadi di Purwakarta, yang akhirnya membuat banjir Jakarta. Mereka hanya ingin membuat seolah-olah tanah itu tidak terlantar. Seharusnya, tanah yang sudah dimiliki ya dibangun sesuai dengan peruntukannya yang ada di izin lokasi. Kalau untuk perumahan, ya bangun perumahan. Kalau untuk kebun ya, bangunlah untuk kebun. Apalagi PP No 11 Tahun 2010 juga sudah menetapkan aturan tentang waktu pemanfaatan tanah yang harus dipenuhi pemilik.
Sumber: Tabloid Kontan, 13-19 Febuari 2017
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar