JAKARTA. Awan cerah menaungi bisnis kelapa sawit indonesia. Upaya menggenjot produk hilir atau turunan minyak kelapa sawit atau crude plam oil (CPO) ke pasar ekspor mulai tampak.
Berdasarkan data ekspor CPO dari Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa sawit tahun 2016 lalu, ekspor CPO mentah hanya sekitar 5 juta ton atau hanya 17,69% dari total ekspor 28,26 juta ton. Jumlah ini jauh lebih kecil ketimbang ekspor CPO mentah tahun 2015 yang mencapai 7,21 juta ton atau 27,32% dari total ekspor yang mencapai 26,39 juta ton.
Tren ini diprediksi bakal terus berlanjut ke tahun 2017 ini. Hal ini terlihat dengan ekspor CPO mentah per Januari 2017 hanya 670.000 ton atau 20,55% dari total ekspor yang sebesar 3,26 juta ton.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan bahwa ada peningkatan permintaan permintaan ekspor CPO olahan di tahun ini. Ia menyebut, target pertumbuhan produk CPO olahan tahun ini mencapai 10% dibanding tahun lalu.
Olahan CPO yang banyak pemintanya di pasar ekspor, yaitu minyak sawit olahan yang telah dimurnikan atau RBD Plam Oil. Produk ini merupakan bahan baku untuk membuat minyak goreng. “selain itu, minyak sawit olahan cair juga banyak diminati untuk bahan baku kimia atau oleochemical,” ujarnya Kepada KONTAN, Selasa (14/3).
Menurut Sahat, sebagai besar produk CPO olahan masih diperuntukan bahan baku makanan, dan sisanya untuk industri kosmetik dan plastik.
Menurut Sahat, pasar tujuan ekspor produk CPO olahan ini adalah Asia Tengah seperti India dan Pakistan serta negara Timur Tengah. Lebih jauh, Sahat menyebut produk CPO olahan juga banyak diminati pasar Uni Eropa, namun sulit untuk digarap karena harga yang ditawarkan terlalu rendah sehingga banyak eksportir yang melirik pasar lainnya.
Sahat menyatakan, besarnya ekspor CPO olahan menandakan sektor hiliriasi kelapa sawit semakin bergairah di Tanah Air. Makanya, ia memprediksi ke depan porsi ekspor CPO mentah bakal terus menurun secara alamiah.
Sulit ekspor biodiesel
Hanya saja, di tengah geliat hilirisasi produk kelapa sawit, ternyata ada satu produk olahan CPO yang tak terlalu terpengaruh penjualannya di pasar ekspor, yakni biodiesel.
Meskipun di dalam negeri tahun lalu konsumsi biodiesel mencapai 5,5 juta kiloliter (KL), tetapi di pasar ekspor belum terlalu ada peningkatan yang signifikan.
Terakhir kali eskpor biodiesel dalam jumlah besar terjadi pada tahun 2014
Paulus Tjakrawan, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) mengatakan, terakhir kali produsen biodisel mengekspor keluar negri dalam jumlah besar adalah tahun 2014 yakni 1,8 juta KL ke Uni Eropa. Namun, penerapan bea masuk anti dumping (BMAD) di uni Eropa untuk produk biodiesel membuat bahan bakar ramah lingkungan ini tak lagi bisa bersaing di pasar dan akhirnya ekspor terhenti.
Paulus bilang, biodiesel sulit untuk masuk ke pasar ekspor dalam jumlah besar karena saat ini harga minyak dunia masih rendah sehingga bahan bakar fosil jauh lebih ekonomis ketimbang biodiesel.
Meski begitu, Paulus bilang, ekspor biodiesel masih tetap berjalan tiap tahun ke berbagai negara, seperti India, China, Pakistan, dan Australia dengan volume ratusan KL.
Ia bilang meski berasal dari CPO, tapi regulasi ekspor biodiesel lebih rumit ketimbang produk CPO olahan lainnya. Menurutnya, apabila produk CPO olahan lain berurusan dengan otoritas pertanian di negara tujuan ekspor, biodiesel juga harus berurusan dengan otoritas energi dari negara setempat.
Sumber : Harian Kontan, Rabu 15 Maret 2017
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Artikel

Tinggalkan komentar