
Terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016 (PMK Transfer Pricing Documentation/TP Doc) menandai era baru dokumentasi transfer pricing di Indonesia. Meskipun dokumentasi transfer pricing di Indonesia. Meskipun dokumentasi transfer pricing telah dikenal jauh sebelum beleid ini terbit, namun PMK TP Doc ini membawa beberapa perubahan subtansial dan signifikan.
Secara umum, isi PMK TP Doc mengadopsi BEPS Action Plan 13 meskipun terdapat perbedaan pada beberapa hal. PMK TP Doc mengadopsi konsep three-tiered structure dengan memperkenalkan tiga jenis dokumentasi transfer pricing, yaitu master file (MF), local file (LF) dan country-by-country reporting (CbCR). Hal signifikan lainnya dalam PMK TP Doc yang diadopsi dari BEPS Action Plan 13 antara lain threshold CbCR, konsep ex-ante, detil isi dari masing-masing MF, LF dan CbCR serta timing pelaporan.
Sementara itu, ada beberapa subtansi lain dalam PMK TP Doc yang dalam BEPS Action Plan 13 tidak diatur eksplisit atau diserahkan ke masing-masing yurisdiksi antara lain mengenai nilai threshold MF dan LF serta kertas kerja CbCR.
Sampai dengan tulisan ini di buat tercatat baru 21 negara di dunia yang mengadopsi konsep three-tiered structure secara keseluruhan dan Indonesia termasuk di dalamnya. Bahkan di Asia, hanya ada lima negara yang telah menerbitkan aturan tentang MF,LF dan CbCR yaitu China, Indonesia, Jepang, Pakistan dan Korea Selatan. Sementara di antara negara ASEAN lainnya, tercatat hanya Singapura dan Malaysia yang baru mengeluarkan legislasi mengenai CbCR tanpa MF dan LF.
Sebagian besar negara yang mengadopsi three-tiered structure mengikuti saran dari BEPS Action Plan 13 terkait threshold untuk mendokumentasi CbCR dengan jumlah pendapatan konsolidasi yang setara dengan €750 juta dalam dominasi mata uang maisng-masing negara. Pengecualian tampaknya berlaku untuk negara Peru dan Pakistan yang sampai saat ini tidak menetapkan threshold yang spesifik.
Berbeda dengan threshold CbCR yang cenderung homogen, penetapan kriteria untuk dokumentasi MF dan LF sangat beragam (kecuali untuk Pakistan yang sejauh ini tidak menetapkan threshold untuk MF dan LF). Negara seperti Australia dan Jepang menetapkan threshold CbCR. Beberapa negara Uni Eropa seperti Belgia, Denmark, Finlandia, dan Swedia menggunakan kategori jumlah pegawai dan peredaran usaha atau neraca sebagai kriteria penetapan dokumentasi MF dan LF yang apabila dirunut sebenarnya berasal dari ketentuan small and medium enterprises (SME) Uni Eropa. Ada juga negara seperti Meksiko yang selain menggunakan kriteria kuantitatif juga menggunakan kriteria kualitatif berupa status sebagai perusahaan terbuka dan status sebagai permanent establishment dari wajib pajak luar negeri.
Threshold dokumentasi MF dan LF di PMK TP Doc tampaknya juga mengadopsi threshold untuk SME. Threshold peredaran bruto sebesar Rp 50 miliar tampaknya berasal dari kriteria usaha menengah sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-undang Nomor 20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Sementara itu, kriteria terkait transaksi afiliasi lainnya juga digunakan oleh otoritas pajak China dalam penentuan wajib LF meskipun dengan nilai threshold yang berbeda. Selain hal tersebut, dalam catatan penulis, sepertinya hanya Indonesia yang kemudian memasukkan lokasi afiliasi sebagai salah satu kriteria wajib dokumentasiMF dan LF sepanjang tarif pajak penghasilan yurisdiksi lawan transaksi lebih rendah dari 25%.
Tantangan ke depan
Dengan kriteria dokumentasi transfer pricing sebagaimana diatur dalam PMK TP Doc serta fakta bahwa kriteria tersebut juga berlaku untuk transaksi afisiliasi domestik maka tampaknya cakupan wajib pajak yang menjadi wajib dokumentasi transfer pricing menjadi cukup luas meskipun sebenarnya PMK TP Doc ini sudah berusaha mengeluarkan mereka yang tergolong UMKM. Dengan demikian, menurut penulis, salah satu tantangan yang akan dihadapi ke depan adalah compliance cost untuk memenuhi ketentuan dalam PMK TP Doc ini.
BEPS Action Plan 13 sendiri sebenarnya sudah menjelaskan mengenai compliance cost tersebut. BEPS Action Plan 13 menjelaskan bahwa detil isi dari dokumentasi transfer pricing hendaknya mencerminkan keseimbangan antara kebutuhan informasi otoritas pajak, pencegahan atas ketidaktepatan penggunaan informasi serta biaya kepatuhan dan beban yang nantinya akan dipikul oleh pelaku bisnis. bahkan, dalam kondisi tertentu, wajib pajak hendaknya tidak dibebankan untuk menanggung biaya pencarian data dalam hal wajib pajak dapat menunjukkan bahwa data pembanding cukup besar.
Spanyol adalah salah satu negara yang berusaha melakukan mitigasi atas risiko compliance cost tersebut. Perusahaan di Spanyol yang tergabung dalam satu grup dengan peredaran lebih kecil dari €45 juta (sekitar Rp 643 miliar) dapat menggunakan apa yang disebut dengan simplified transfer pricing documentation. Perusahaan yang masuk kategori ini tidak perlu membuat MF serta dapat membuat LF dengan lebih sederhana. Bahkan untuk perusahaan dengan peredaran lebih kecil dari €10 juta (sekitar 142 miliar) tidak disyaratkan mencantumkan pembanding dalam dokumentasinya.
Terbitnya PMK TP Doc patut disambut sebagai sebuah era baru keterbukaan penetepan harga antara wajib pajak dan otoritas pajak. Semangat transparansi ini diharapkan dapat berujung pada terwujudnya keseimbangan antara kepentingan negara untuk mengamankan basis pajak dengan kepentingan wajib pajak dalam menjalankan kegiatan usahanya. Bahwa terdapat tantangan dalam implementasi PMK TP Doc adalah keniscayaan yang tidak dapat dihindari dan adalah tugas semua stakeholder untuk duduk bersama dalam menyempurnakan pelaksanaannya di masa datang.
Sumber: Harian Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar