Amnesti pajak baru saja berakhir di penghujung bulan lalu. Program ini berhasil mengumpulkan uang tebusan sekitar 114 triliun dengan total dana repatriasi dan deklarasi harta kekayaan dari luar negeri mencapai Rp 1.179 triliun. Suksesnya program ini tdak berarti membuat pemerintah bisa berpuas diri. Angka repatriasi dan deklarasi harta dari luar negeri itu hanya sekitar sepersepuluh dari estimasi Kementerian Keuangan mengenai potensi harta kekayaan WNI di luar negeri yang mencapai lebih dari Rp 11.400 triliun. Artinya, masih banyak pihak-pihak yang enggan melaporkan kekayaannya di luar negeri yang umumnya bertujuan untuk menghindari pajak di dalam negeri atau yang biasa disebut dengan tax evasion.
Untuk dapat mengejar penerimaan pajak dari pihak-pihak tersebut tentu pemerintah perlu mendapatkan data-data simpanan mereka diluar negeri termasuk informasi mengenai pemilik rekening dan jumlah simpanannya. Agar bisa memperoleh informasi itu, pemerintah harus bekerjasama dengan otoritas Negara lain terutama dengan Negara-negara dimana pihak-pihak tersebut menyimpan hartanya atau biasa dikenal dengan Negara tax haven. Untungnya, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) sudah merancang dan menerapkan sistem yang memungkinkan pertukaran informasi perbankan antar Negara yang disebut Automatic Exchange of Information (AEoI).
AEoI merupakan sebuah program kolaborasi internasional yang memfasilitasi pertukaran data perbankan secara otomatis antar Negara yang Tergabung didalamnya dengan tujuan utama untuk transparansi keuangan dan peningkatan penerimaan pajak. Dengan AEoI ini, nantinya setiap Negara yang tergabung didalamnya bisa meminta data perbankan warga negaranya (termasuk nama pemilik rekening, alamat, dan jumlah simpanannya) yang mempunyai simpanan di Negara lain yang juga anggota dari AEoI.
Dalam studi yang dilakukan oleh Andres Knobel dan Markus Meinzer pada 2014, Negara-negara berkembang termasuk Indonesia merupakan kelompok yang paling banyak menerima manfaat dari program ini. Menurut mereka, triliunan dolarAmerika dana dari Negara berkembang disimpan di Negara-negara tax haven seperti Swiss, Singapura, Kepulauan Virgin Britania Raya, Panama, dan Negara tax haven lainnya.
Umumnya dana tersebut disimpan di luar negeri dengan niat yang tidak baik, seperti menyembunyikan harta guna menghindari pajak dan ‘mencuci uang’ hasil korupsi dan tindakan criminal seperti perdagangan narkoba. Padahal, dana-dana itu sejatinya bisa menjadi bahan bakar pembangunan ekonomi Negara jika disimpan di dalam negeri, apalagi disaat gencarnya pemerintah menggenjot infrastruktur seperti sekarang.
Negara-negara tax haven seperti yang telah disebutkan sebelumnya sudah menyatakan komitmennya untuk bergabung di AEoI. Bahkan, Singapura juga sudah menyatakan komitmennya untuk menjalankan AEoI pada 2018. Padahal pertengahan tahun lalu bank-bank di Singapura sempat melaporkan WNI menjadi nasabah mereka yang ikut tax amnesty ke polisi setempat yang karena khawatir akan guncangan likuiditasnya. Sebagai tambahan, saat ini sudah ada 101 negara yang menyatakan komitmen untuk bergabung dengan AEoI paling lambat pada 2018.
Menyadari banyaknya manfaat yang bisa diambil dari AEoI, pemerintah Indonesia juga telah menyatakan komitmennya untuk menerapkan AEoI untuk menerapkan AEoI pada tahun 2018. Bahkan para pengusaha melalui KADIN dan pihak perbankan pun sudah menyatakan kesediaannya untuk membuka data perbankan dan melaporkannya secara periodik kepada otoritas yang berwenang.
Namun, untuk bisa bergabung dengan AEoI Negara-negara tersebut harus memenuhi beberapa prasyarat dasar yang telah ditetapkan ke dalam sebuah standar yang paling dikenal dengan common reporting standar (CRS). Dua dari tiga prasyarat utama yang tercantum dalam dokumen itu adalah mengenai keharusan menerjemahkan standard an ketentuan AEoI termasuk mengenai terjaminnya keterbukaan data perbankan kedalam regulasi domestik dan menetapkan basis hukum yang bisa menjadi payung guna menjamin implementasi AEoI berjalan efektif dan tanpa kendala berarti.
Sayangnya, ketentuan AEoI itu masih terjanggal pasal 40-41 UU Perbankan, pasal 41-42 UU Perbankan Syariah dan pasal 47 UU Pasar Modal yang mewajibkan bank merahasiakan data nasabah dan simpanannya. Meskipun terdapat pengecualian kerahasiaan bank untuk kasus pidana, ihwal warisan dan permintaan Menkeu untuk kepentingan perpajakan. Namun, hal itu tidak bisa digunakan untuk memetakan potensi pajak karena pengecualian itu hanya bisa dimanfaatkan kasus per kasus seperti jika sedang dilakukan penyelidikan terkait adanya sidang pelanggaran pajak. Oleh karenanya pemerintah perlu menghapus atau paling tidak merevisi pasal itu agar sesuai dengan standar CSR sesegera mungkin mengingat di 2018 harus menerapkan AEoI.
Namun, hingga saat ini pemerintah belum juga merampungkan revisi UU tersebut termasuk juga belum terbitnya Perppu tentang keterbukaan data perbankan yang menjadi pilihan pemerintah sebagai payung hukum domestic AEoI sebagai pengganti UU kerahasiaan perbankan di tengah mendesaknya waktu. Singapura saja yang berpotensi kehilangan dana dari WNI dengan adanya AEoI ini sudah menerbitkan regulasi untuk AEoI pada Desember 2016.
AEoI merupakan momen emas bagi pemerintah untuk memperbaiki data potensi pajak dan meningkatkan penerimaan Negara dari pajak. Meningkatnya penerimaan bisa menjadi bahan bakar bagi pembangunan dan pemerataan kesejahteraan Indonesia mengingat potensi pajak yang selama ini tidak dibayarkan oleh miliarder-miliarder Indonesia dengan menyembunyikan dana di luar negeri bisa diikejar dan dimanfaatkan untuk membangun sekolah, rumah sakit, perbaikan jaminan sosial, dan lain-lain.
Selain itu, jika otoritas pajak Indonesia berhasil memaksimalkan potensi dari terbukanya data perbankan internasional dapat berimbas pada kembalinya dana WNI dari luar negeri ke Indonesia. Dari sisi ekonomi, mengalirnya dana dari luar negeri akan memperkuat nilai tukar rupiah. Lebih penting lagi, AEoI bisa menegaskan kedaulatan bangsa Indonesia yang selama ini banyak dicederai oleh Negara-negara tax haven dengan mengiming-imingi para pengemplang pajak dengan berbagai fasilitas menggiurkan untuk menarik dana dari Indonesia. Oleh karenanya, segera tuntaskan payung hukum keterbukaan data perbankan!
Sumber: Kontan, Sabtu, 15 April 2017
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar