Kecemasan di Balik Perppu Akses Keuangan

Pemerintah sukses memberikan kejutan bagi masyarakat de ngan merilis secara mendadak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2017 tentang Akses Ke uangan untuk Kepentingan Per pajakan.

Saat ini perppu tersebut sedang disodor kan kepada ang gota DPR untuk segera dite tap kan menjadi undang-undang. Perppu ini diterbitkan dalam rangka mendukung penerap an Automatic Exchange of Information (AEoI) yang mulai dijalankan penuh pada 2018. Meski akhirakhir ini wacana tersebut sering berkumandang bebas, ber – bagai paradoks semakin sulit dihin dari karena masyarakat banyak yang masih shock. Opini publik terbelah menjadi dua kubu antara pihak yang pro dan yang kontra.

Perdebatan paling kentara justru lebih terlihat di antara kalangan perbankan karena bisa jadi ini akan memukul mundur upaya membangun stabilitas dan kredibilitas di sektor keuangan. Menurut kubu yang pro, perppu ini akan mendorong agar wajib pajak semakin berlaku jujur di dalam pe laporan kewajibankewajiban pajak nya. Akses infor – masi keuangan akan mendukung langkah-langkah peme rintah untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat ter hadap kewajiban pajaknya.

Kita perlu berhati-hati agar mega skandal seperti Panama Papers tidak ter ulang. Sebagian bankir bah kan sepakat karena ini bisa menjadi stimulus tingkat rasio per pajak anbeserta peluang pening katan belanja pem bangun an. Lagi pula peme – rintah juga menetapkan pemeriksaan nanti juga tidak dilakukan terhadap sem barang orang. Karena ada kriteria yang harus dipenuhi, misalnya me ngenai saldo yang ditetapkan minimal USD250.000 (Rp3,3 miliar) serta berbagai prosedur dan protokol yang harus di jalan kan untuk dapat mengakses infor masi keuangan di per bankan.

Sementara kubu yang kontra masih mengkhawatirkan ke – rawanan dalam penyalah guna – an akses informasi keuangan. Bahkan suara-suara yang ber – embus juga turut menyang si – kan kejujuran oknum-oknum di dalam SDM perpajakan. Hal yang paling dikhawatirkan akses ini bisa digunakan untuk memeras wajib pajak dan WNIWNI kategori kaya melalui pro – ses “negosiasi” pajak. Lapisan keamanan dan jaminan eksklusivitas terhadap datadata nasabah perbankan harus diperkuat karena besar ke mung – kinan akan meme ngaruhi persepsi masyarakat mengenai kredibilitas perpajakan dan perbankan.

Di samping itu juga diperlukan pengetatan peng – awasan terhadap aparat per – pajakan untuk menghindari adanya opportunistic behavior. Polemik yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat memang lebih banyak di dorong karena perasaan was was de – ngan keamanan data nasabah perbankan. Meskipun demi – kian, jika mengacu pada survei Edelman Trust Baro meter (2017), pemerintah masih berpeluang untuk terus meraih kepercayaan dari masyarakat.

Indonesia berada dalam level trusters berkat indeks keper – caya an masyarakat terhadap lem baga pemerintah, bisnis, media, dan non-government organization (NGO) berada di atas 60 poin (lebih tepatnya ber – ada di angka 69 poin). Bah kan kondisi di negara kita di ang gap anomali karena di bagian negara lain justru ke per cayaan masyarakat terhadap pemerin – tahnya kian menurun. Alasan utamanya berkaitan dengan kapasitas pemerintah di dalam penanganan situasi politik dan ekonomi global.

Namun pemerintah perlu lebih berhati-hati kembali ka – rena survei tersebut dilakukan di kisaran pertengahan Okto ber 2016. Momentum survei ber – jalan ketika salah satu isu yang paling panas dan melibatkan beberapa tokoh politik papan atas belum bergulir seperti yang terjadi sekarang ini. Apalagi skandal korupsi dan penyalah – gunaan wewenang belum betulbetul teratasi secara tuntas. Bahkan isu mengenai SARA dan kepastian hukum menjadi pe – nguasa topik-topik yang paling diminati masyarakat seiring dengan rentetan konstelasi politik di dalam negeri.

Karena pergolakan politik dan hukum yang kian panas pula, topik persiapan mengenai pemberlakuan AEoI perlahanlahan mulai surut ditelan bumi. Karena itu masyarakat cen – derung sangat shock karena merasa kurang mendapatkan sosialisasi yang hangat dan mencerahkan. Padahal sebelum Perppu Nomor 1/2017 diterbit – kan, Menteri Keuangan sudah terlebih dahulu melansir Per – aturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 39/2017 ten tang Tata Cara Pertukaran Informasi Ber – dasarkan Perjanjian Inter – nasional. Salah satu poin uta ma – nya adalah mengenai com petent authoriy meetings yang dapat dilakukan pejabat yang ber – wenang (competent authority).

Dalam beleid tersebut, Men – keu Sri Mulyani menjelaskan competent authority meetings dilaksanakan pejabat yang ber – wenang di Indonesia dan pejabat yang berwenang di negara mitra untuk membahas hal-hal yang berkenan dengan pertukaran informasi. Infor – masi dalam laporan per negara (CbCR) mencakup alokasi peng – h asilan, pajak yang dibayar, dan aktivitas usaha per negara atau yurisdiksi dari seluruh anggota grup usaha baik di dalam negeri maupun luar negeri dan daftar anggota grup usaha dari ke – giatan usaha utama per negara atau yurisdiksi. Informasi yang dipertukarkan antarpejabat yang berwenang ini nantinya akan digunakan sebagai basis data perpajakan Ditjen Pajak.

Menkeu juga menegaskan setiap informasi yang diper tukar – kan ini akan dijaga kerahasia an – nya sesuai dengan ketentuan undang-undang dan perjanjian internasional. SelainituMen keu menegaskan bahwa wewe nang besar bagi aparat pajak juga akan dilampiri dengan atur an yang sangat ketat dan tegas. Petugas yang memiliki akses akan men – dapatkan audit sebanyak dua kali dari direk torat dan inspek – torat. Bahkan nanti juga akan di – persiapkan aneka protokol dan peng awasan terhadap aparat per pajakan.

Berlakunya Perppu Nomor 1/2017 memang sangat di – butuh kan sebagai komitmen pemerintah terhadap skema AEoI. Skema ini merupakan kesepakatan pemerintah yang diteken bersama dengan 100 ne gara lain di dunia. Ke banyak – an negara-negara tersebut me – rupakan anggota dari Forum G- 20 dan Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). Namun kendalanya selama ini wajib pajak dan terutama kalangan peng usaha lebih nyaman de – ngan informasi keuangan yang lebih tertutup.

Berkaitan de – ngan ini, Otoritas Jasa Ke uang – an (OJK) dan Bank Indonesia (BI) perlu mengantisipasi ge – jolak yang muncul atas beleid ini. Khususnya berkaitan de ngan risiko likuiditas akibat masya – rakat yang masih “gagap” de – ngan era keterbukaan infor – masi. Penulis menambahkan setidaknya ada empat poin yang perlu dikerjakan pemerintah untuk menanggulangi dampak terburuk dari dilansirnya perppu sebagai berikut. Pertama, di sisa waktu se lama Perppu Nomor 1/2017 akan di – proses menjadi undang-undang, pemerintah (khususnya Men – keu dan Ditjen Pajak) perlu be – kerja keras untuk memper – pendek gap pemahaman de ngan DPR, pengusaha, dan masya – rakat umum lain.

Proses sosial – isasiyangdirasakurang warmingup dan clear menjadi salah satu pertimbangan utama. Yang perlu lebih ditegaskan dalam sosialisasi ialah bagaimana mekanisme akses informasi ke – uangan akan digunakan, ter – utama terkait siapa saja pejabat yang berhak dan kepen ting – annya untuk apa harus betulbetul clear. Sebab jangan sampai kesalahpahaman di dalam penafsiran mengenai isi perppu ikut menghambat kinerja inves tasi dan mobilitas sektor keuangan di dalam negeri. Kita perlu belajar dari pengalaman selama pemberlakuan tax amnesty kemarin.

Kedua, pemerintah juga perlu menggaransi aktivitas pem ber – lakuan perppu tidak akan meng – hambat kinerja sektor ke uangan dan perbankan. Per bank an cenderung meng hadapi dilema akan ancaman penarikan uang sebagai dam pak dari belum kuatnya jamin an keamanan data nasabah. Ketiga, ide mengenai refor – masi dan kinerja pengelolaan perpajakan perlu semakin di – per jelas perkembangannya untuk semakin meningkatkan kepercayaan publik.

Di bebe – rapa negara seperti Jerman dan negara bekas sosialis lain di Kawasan Eropa, persentase pajak cenderung lebih tinggi bila dibandingkan dengan Indo – nesia. Namun tingkat kesadar – an dan kepatuhan masyarakat justru tetap tinggi karena mereka yakin pajak yang telah dibayarkan lambat laun akan memberikan return yang pro – por sional terhadap kesejah – tera an mereka. Mulai dari fasi – litas pendidikan dan kesehatan yang memadai, infrastruktur yang berkualitas hingga ber – bagai insentif untuk pengem – bang an bisnis masyarakat.

Ada – pun di Indonesia justru sedang dalam kondisi kasak-kusuk karena akhir-akhir ini muncul banyak ancaman yang dapat menghambat daya konsumsi masyarakat. Adanya kenaikan harga di beberapa kebutuhan pokok seharusnya juga di dorong peningkatan pendapatan dan daya beli agar tidak menjadi bumerang. Masyarakat juga perlu diyakinkan kembali bahwa perpajakan merupakan jalan utama untuk men cipta – kan pemerataan pembangunan dalam jangka panjang.

Dan keempat, penulis sekali lagi menitipkan pesan me ngenai pentingnya modal sosial antara pemerintah dan masya rakat. Modal sosial telah menjadi success story di balik relativitas keberhasilan berjalannya pro – gram tax amnesty. Proses komu – nikasi antara pemerintah dan beragam latar belakang ma – syarakat terbukti menciptakan kesepahaman dan kesadaran untuk ikut terlibat di dalam program-program pemerintah. Namun proyek modal sosial harus lebih diperluas lagi karena pemberlakuan skema AEoI bukanlah program yang seumur jagung seperti layaknya program tax amnesty .

Seiring berjalannya waktu, kinerja SDM perpajakan akan menjadi lini utama yang menjamin tidak akan ada “tangan-tangan jahil” yang membuat akses informasi keuangan justru menjadi ladang KKN. SDM perpajakan perlu dibekali lagi prinsip ko – mu nikasi yang efektif dan mampu memahamkan masya – rakat bahwa skema AEoI sangat aman dan tujuannya agar ter – cipta keadilan yang direflek si – kan melalui kewajiban perpajakan.

Sumber: sindo.com

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar