
Pemerintah kembali terpaksa menjilat ludahnya sendiri. Selang beberapa hari, aturan yang sudah dirilis mesti direvisi. Lagi-lagi, hujan protes dan ancaman dari pelaku usaha menjadi penyebabnya.
Kali ini soal batas minimum saldo rekening yang wajib dilaporkan ke Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajakyang termuat di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70 tahun 2017. Semula batas minimal saldo yang harus lapor Rp 200 juta lalu dinaikkan menjadi Rp 1 miliar.
Pihak yang paling kencang menyuarakan penolakannya adalah Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo). Ketua Akumindo M.Ikhsan Ingratubun menyebut, pihaknya sudah berkirim surat ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Lalu, pihaknya akan mengajukan judicial review jika Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan disahkan DPR menjadi Undang-Undang. Alasan mereka adalah aturan ini menghapuskan prinsip kerahasiaan bank dan berpotensi membuat dana keluar dari bank. Selain itu mereka menilai belum ada keperluan mendesak yang memerlukan aturan tersebut.
Perlawanan Akumindo sukses membuat pemerintah ciut nyali. “Karena kami dengar berbagai reaksi masyarakat terutama pemikiran mengenai UMKM, maka kami revisi untuk memberikan ketenangan bagi masyarakat, “kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Angka Rp 1 miliar, kata Sri, cukup mencerminkan asas keadilan lantaran sejalan dengan data program pengampunan pajak (tax amnesty) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Menurut data amnesti pajak, Wajib Pajak (WP) yang mengaku memiliki kas dan setara kas di atas Rp 1 miliar mencapai 291.331 WP. Setara dengan 37,69% dari total peserta pengampunan pajak. Namun nilai asetnya mencapai Rp 1.661 triliun, atau 95,5% dari total aset yang dilaporkan.
Sementara data LPS per April 2017 mencatat, jumlah rekening di atas Rp 1 miliar sebanyak 494.377 rekening atau hanya 0,24% dari keseluruhan rekening yang ada diperbankan saat ini. Adapun nominalnya mencapai Rp 3.251,558 triliun, setara 64,85% dari total dana deposan di perbankan.
Namun, revisi ini tidak membuat pelaku usaha bersenang hati. Ikhsan tetap menilai, regulasi pemerintah tidak seharusnya mencakup batasan atas jumlah tetapi lebih cenderung pada aliran keuangan.
Pengamat perpajakan Bawono Kristiadji menilai, perubahan batas minimal saldo rekening yang wajib dilaporkan dari Rp 200 juta ke Rp 1 miliar menunjukkan dua hal. Pertama, pemerintah mempertimbangkan opini dari masyarakat. Perubahan ini bisa dianggap sebagai adanya itikad baik, respons cepat dari pemerintah, serta keberpihakan pada kelas menengah ke bawah.
Kedua, perubahan ini juga memperlihatkan adanya kebijakan yang lebih targeted, yaitu pada kelas High Net Worth Individuals (HNWI). Langkah ini bisa dipahami mengingat kontribusi Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh OP) masih kecil. “Sekarang memang tren di banyak negara dalam meningkatkan kepatuhan dari kelompok HNWI,”kata Bawono.
Bawono tidak menampik,sektor keuangan memang sensitif terhadap gejolak ekonomi atau perubahan regulasi. Bawono menduga akan ada sedikit gejolak tapi tidak akan berlangsung lama. Sebab,pada akhirnya semua pihak akan menyadari bahwa kita sedang berada di era transparansi yang tidak bisa dibendung lagi. Dus,tidak ada tempat bersembunyi bagi para penghindar pajak.
Biar adil
Bagi pemerintah, akses aparat pajak terhadap informasi keuangan bukan Cuma demi memenuhi komitmen Automatic Exchange of Information (AEoI) yang digagas Organisation for Economic Co-operation and Dvelopment (OECD). Tapi juga demi kepentingan perpajakan nasional. Tanpa akses ke informasi keuangan, basis data perpajakan yang sudah ada, termasuk yang diperoleh lewat pengampunan pajak bakalan sulit dipertahankan.
Sekadar mengingatkan saja, sebanyak 58% dari Rp 4.881 triliun harta yang dideklarasikan lewat amnesti pajak berupa aset keuangan. Kata Hestu Yoga Saksama, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, ini membuktikan industri keuangan telah dimanfaatkan banyak WP untuk menghindari kewajiban perpajakan.
Nah, tanpa akses informasi keuangan pasca pengampunan pajak, jika WP kembali menyimpan hartanya dalam bentuk aset keuangan dan tidak melaporkan di SPT, Ditjen Pajak tidak bisa berbuat apa-apa. “Kalau tidak melaporkan aset keuangan, maka indikasi terbesarnya adalah sumber penghasilan yang menjadi harta tersebut juga tidak dilaporkan dan tidak dibayar pajaknya, “ucap Yoga.
Konsekuensi berikutnya tak kalah mengkhawatirkan. Tanpa akses informasi keuangan, sindiran yang selama ini tenar bahwa aparat pajak hanya berburu di kebun binatang akan semakin menjadi kenyataan. Sebab, mereka hanya bisa menjangkau WP dan harta yang berada di Indonesia saja, sehingga perlakuan perpajakan akan semakin tidak adil.
Tidak ada negara yang mau bertukar informasi soal orang Indonesia dan hartanya di luar negeri karena Indonesia tidak bisa memenuhi asas resiprokal. Alhasil, “WP yang superkaya bisa sembunyikan hartanya di luar negeri dengan tenang, “ujar Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak John Hutagaol.
Nah, kini negara-negara yang menjadi tax haven bagi orang Indonesia, termasuk Singapura cepat atau lambat pasti akan membuka akses keuangannya. Kata Yoga, sikap Singapura yang masih emoh menjalin kerjasama bilateral pertukaran data perpajakan dengan Indonesia bisa dipahami.
Negeri Merlion itu meberi syarat, perjanjian bilateral Indonesia-Singapura bisa diwujudkan jika Indonesia bisa mengikat perjanjian serupa dengan Hong Kong. Singapura meminta perjanjian bilateral khusus karena dalam kerangka AEoI Hong Kong dimasukkan sebagai bagian dari China.
Dari data pengampunan pajak, Hong Kong bersama Singapura memang termasuk lima besar negara asal deklarasi harta. Jadi, Indonesia memang punya kepentingan dengan Hong Kong. “Singapura punya kekhawatiran, hartanya orang Indonesia yang ada di Singapura lari ke Hong Kong, dan itu bisa dipahami. Makanya Dirjen Pajak malam ini berangkat ke Hong Kong, “ujar Yoga ke KONTAN pekan lalu.
John menambahkan, ia dan Ken Dwijugiasteadi berangkat ke Hong Kong dalam rangka rangka menandatangani Bilateral Competent Authority Agreemment (BCAA). Dus, pertukaran informasi secara otomatis antara kedua yurisdiksi bisa berlaku pada September 2018.
Meski begitu, tidak ada jaminan Singapura sepenuhnya menepati komitmennya ke Indonesia. Yang jelas, jika tidak ingin dikucilkan, cepat atau lambat negeri jiran itu mesti mengikuti tren keterbukaan informasi perpajakan yang kini sudah mengglobal.
Kalau masih ngeles, mau diapain, nih?
Sumber: Tabloid Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar