
Berulang kali, ketika membahas RAPBN dengan DPR, pemerintah selalu mendapatkan pertanyaan yang sama dari tahun ke tahun. Satu hal yang selalu disinggung oleh DPR tiap tahun adalah rendahnya tax ration Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara lain sesama anggota The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Tak hanya kalah saing dengan negara-negara OECD di Eropa, Indonesia juga kalah tampil dengan negara-negara ASEAN lain.
Sepuluh tahun berakhir, tax ratio Indonesia berada di kisaran angka 11 %, sedangkan tax ratio negara-negara lain di ASEAN sudah di kisaran 14%. Dengan rasio pajak berkisar di angka 11 %, penerimaan negara dari sektor pajak di lima belas tahun terakhir, hanya tercapai pada tahun 2004 dan 2008. Apa yang bisa dilakukan?
Tahun 2017 mungkin akan menjadi titik balik perpajakan di Indonesia. Patut diramalkan bahwa otoritas perpajakan di Indonesia akan melambung baik dari sisi tax ratio maupun pencapaian penerimaan.
Paling tidak ada empat kejadian penting yang akan memperbaiki jeleknya rasio pajak Indonesia selama sepuluh tahun terakhir.
Peristiwa pertama terjadi pada akhir Maret tahun 2017. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) telah menyelesaikan program amnesti pajak. Konon, menurut Menkeu Sri Mulyani, uang tebusan yang berhasil dikumpulkan dari program amnesti pajak adalah yang tertinggi dibandingkan dengan uang tebusan negara-negara lain diseluruh dunia yang pernah melaksanakan program serupa manesti pajak.
Melalui amnesti pajak, otoritas perpajakan berhasil mendata 4.866 triliun harta baru dengan 135 triliun uang tebusan dan 147 triliun dana repatriasi. Maka dengan selesainya amnesti pajak pada akhir triwulan 2017, semestinya basis data perpajakan sudah valid.
Kejadian penting kedua di dunia perpajakan tahun 2017, terjadi pada tanggal 8 Mei, yaitu pada saat Presiden Joko Widodo menggunakan wewenangnya menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1/2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan.
Berdasarkan Pasal 2 Perppu ini, negara memberi keleluasaan kepada Ditjen Pajak untuk mendapatkan akses informasi keuangan terhadap lembaga-lembaga jasa keuangan yang malaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, asuransi dan jasa keuangan lainnya.
Biasanya, wajib pajak yang belum jujur menjalankan kewajiban perpajakannya menyembunyikan harta dan penghasilannya di lembaga-lembaga jasa keuangan tanpa bisa diintip Ditjen Pajak. Sebab, ada beleid yang mengatur perlindungan kerahasiaan nasabah di lembaga-lembaga jasa keuangan.
Dengan Perppu baru tersebut, pemilik uang atau polis di lembaga-lembaga jasa keuangan harus bersikap jujur dan menjalankan kewajiban perpajakan dengan benar mulai Perppu tersebut diundangkan. Jika tidak, Ditjen Pajak lambat laun akan menemukan harta dan penghasilannya melalui ketentuan Pasal 2 Perppu Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan, alu menghitung pajaknya sekaligus memberikan sanksi administrasi.
Pertaruhan otoritas pajak
Kejadian penting ketiga adalah dimulainya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) di DPR. Informasi dari berbagai media massa diketahui bahwa RUU KUP sudah masuk prolegnas 2017 sehingga kalau tidak molor, RUU ini akan dibahas dan disahkan DPR pada tahun 2017.
Salah satu isu krusial dalam RUU KUP ini adalah pemisahan Ditjen Pajak dari Kementerian Keuangan. Dengan kata lain, Ditjen Pajak akan naik kelas. Lembaga yang awalnya di bawah menteri ini akan menjadi lembaga setingkat menteri dan sama-sama bertanggung jawab kepada presiden.
Andai pemisahan ini berjalan sesuai dengan rencana, maka tahun 2018, otoritas perpajakan di Indonesia akan semakin besar wewenangnya dan semakin besar wewenangnya dan semakin fleksibel mengelola pegawainya. Alhasil, otoritas perpajakan di Indonesia bisa lebih leluasa bergerak mengamankan target memenuhi tujuh puluh persen kas negara di APBN.
Peristiwa penting terakhir adalah terbitnya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 360/KMK.03/2017 tentang Program Reformasi Perpajakan. Pada intinya, Keputusan Menteri Keuangan yang ditandatangani Sri Mulyani pada 11 Mei 2017 ini menetapkan lima hal yang menjadi fokus dalam rangka mereformasi perpajakan, yaitu organisasi, sumber daya manusia, sistem informasi dan basis data, proses bisnis dan peraturan perundang-undangan. Melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 360/KMK.03/2017 ini, hal layak menjadi tahu bahwa pemerintah telah menemukan titik-titik yang perlu diperbaiki agar berhasil mencapai target pajak yang dibebankan setiap tahun.
Bagai seseorang yang sedang sakit, maka si penderita akan mendapat optimisme kesembuhan karena dokter telah menemukan sakitnya dan sudah mempersiapkan obatnya sekaligus.
Rentetan peristiwa-peristiwa penting diatas bagai sebuah kode dari pemerintah. Seolah-olah pemerintah sedang berkata bahwa mereka terus berusaha bangkit dengan sungguh-sungguh untuk mereformasi perpajakan di Indonesia sehingga muncul optimisme kemandirian ekonomi melalui APBN tanpa utang luar negeri.
Jika gagal mereformasi perpajakan tahun 2017 sehingga gagal menaikkan tax ratio dan penerimaan perpajakan, maka ketidakpercayaan publik akan menemukan titik kulminasi pada pemerintah khusunya otoritasnya perpajakannya.
Bisa jadi awam menganggap bahwa amnesti pajak dan perppu akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan yang selama ini menjadi pembahasan orang banyak hanya tipu daya pemerintah yang tak kunjung berhasil optimal dalam bekerja lalu mencari sesuatu untuk dikambinghitamkan. Sebaliknya, jika semua usaha untuk mereformasi perpajakan ini berhasil, maka pemerintah, sektor privat dan masyarakat semakin optimistis menghadapi masa-masa yang akan datang. Semoga saja ini yang akan terjadi.
Sumber: Harian Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar