Pertukaran Data Pajak Bisa Terganjal

JAKARTA. Keinginan Indonesia segera merealisasikan pertukaran data pajak secara otomatis dengan negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) terganjal.

Hasil asesmen pertama OECD menyebutkan Indonesia masih masuk dalam kategori negara partially compliance. “Ini bukan rating yang baik,” tandas Head of Global Forum on Information OECD Monica Bhatia usai Konferensi Pajak Internasional , Kamis (13/7).

Pasalnya, Indonesia belum memenuhi persyaratan tukar data pajak antara negara yang tergabung di OECD . Salah satu syarat yang belum dipenuhi adalah akses data hingga pemilik sesungguhnya atau beneficial owner  di semua identitas atau perusahaan.

Padahal, OECD mensyaratkan informasi hingga beneficial ownership harus bisa diakses otoritas pajak manapun dalam pertukaran informasi .

Konsekuensinya, tidak hanya mengancam keikutsertaan Indonesia dalam Automatic Exchange of Information (AEoI) , tapi Indonesia juga akan masuk kategori negara partially compliance yang bisa berakibat jatuhnya sanksi dari negara-negara G20.

Rencananya, review kedua OECD akan dilakukan Juni 2018. Dalam review nanti, akan ada revisi acuan atas persyaratan beneficial ownership. “Review”  diputaran berikutnya untuk memenuhi standar beneficial ownership. Saya ingatkan, standar ini makin tinggi,” ujar Bhatia lagi.

Kata dia, semua anggota OECD harus memenuhi persyaratan ini. Makanya, Indonesia harus secepatnya memenuhi persyaratan ini. Makanya, Indonesia harus secepatnya mengambil langkah untuk memenuhi standar ini. Jika hasil review kembali kurang baik, implikasinya Indonesia tak bisa masuk dalam negara yang patuh alias comply. Efeknya, Indonesia kena sejumlah syarat defensive negara-negara anggota G20.

Indonesia bisa dianggap tak kooperatif dan tak ada kemakuan penilaian oleh negara-negara yang ingin bertukar data pajak. “Tapi, ada kesempatan memperbaiki di asemen Juni 2018,” ujar dia.

Akses beneficial ownership adalah akses data atau informasi atas kepemilikan perusahaan. Kevalidan data atas pengendali utama perusahaan di Indonesia dianggap masih lemah. Padahal, transparansi informasi ini bisa mencegah korupsi, penghindaran pajak, pembiayaan terorisme, hingga praktik pencucian uang.

Direktur Pelayanan Penyuluhan (P2) Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama yakin Indonesia bisa memenuhi ketentuan OECD itu. “Kami akan siap pada waktunya,”  kata dia.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, syarat ini menjadi tantangan bagi Indonesia. “Itu tuntutan tak mudah dengan kapasitas sumber daya manusia ini,” ujar Yustinus.

Demi kepentingan negara, kata Yustinus, semua lembaga negara, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI) hingga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangann (PPAK) harus sama.

Selain dari OECD, kata Yustinus, sudah ada inisiatif menuntu keterbukaan beneficial ownership dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Kepentingan tahu beneficial ownership tak hanya soal pajak, tapi lebih luas lagi,” ujarnya. Jika itu terbukti pemilik usaha melakukan praktik nakal, “Yang juga penting adalah law enforcement. Ini belum tentu bisa dilakukan,” ujarnya.

Sumber : Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar