
JAKARTA. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Perppu ini telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 8 Mei 2017.
Melalui Perppu ini, Direktorat Jenderal Pajak nantinya bisa mengakses data nasabah perbankan untuk keperluan pada sektor perpajakan.
Perppu ini sendiri diterbitkan dalam rangka persiapan Indonesia untuk mengikuti kerja sama keterbukaan informasi perpajakan atau Automatic Exchange of Information (AEoI). Indonesia resmi bergabung pada kerja sama tingkat internasional ini pada 2018.
Perppu ini sengaja diterbitkan mengingat sempitnya waktu yang dibutuhkan oleh pemerintah jika harus menunggu revisi Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tara Cara Perpajakan (KUP). Untuk itu, pemerintah pun mengambil tindakan cepat dengan menerbitkan Perppu ini.
Sebagai tindak lanjut dari Perppu ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Adapun ruang lingkup PMK ini meliputi pelaksanaan perjanjian internasional dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Melalui PMK ini, Kementerian Keuangan memutuskan batas minimum nilai saldo rekening keuangan yang wajib dilaporkan lembaga keuangan secara otomatis kepada Direktorat Jenderal Pajak adalah sebesar Rp1 miliar. Nominal ini berubah dari yang ditetapkan sebelumnya sebesar Rp200 juta.
Hanya saja, Perppu keterbukaan informasi perpajakan masih belum disetujui oleh DPR RI. Artinya, Perppu ini belum resmi menjadi UU hingga saat ini.
Sebelumnya, memang terdapat beberapa pertentangan dari DPR RI terkait Perppu ini. Salah satunya adalah batasan saldo minimum yang dapat diakses oleh Direktur Jenderal Pajak melalui perbankan.
“Cuma dalam pembahasan DPR ada dua poin yang dipermasalahkan. Pertama soal batasan minimum saldo. Meskipun sudah diubah dari Rp200 juta ke Rp1 miliar, tetap saja pihak UMKM merasa keberatan. Kedua, soal sanksi bagi petugas pajak yang dianggap terlalu lunak dibandingkan UU Tax Amnesty,” kata Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira kepada Okezone di Jakarta.
Namun, pemerintah tetap memiliki peluang untuk meloloskan Perppu ini menjadi undang-undang. Salah satu modal yang dimiliki pemerintah adalah adanya ikatan perjanjian kerja sama keterbukaan informasi perpajakan yang akan diikuti oleh pemerintah pada 2018.
Tak hanya itu, pemerintah juga telah memiliki aturan turunan terkait Perppu ini. Dua hal ini dinilai akan menjadi pertimbangan utama DPR RI untuk menyetujui Perppu tersebut.
“Intinya pemerintah sudah memiliki Perppu sebagai prasyarat ikut AEoI, dan PMK-nya pun sudah keluar. Kemungkinan ditolak DPR agak kecil,” ujarnya.
Saat ini, Perppu tersebut masih belum dibahas oleh pemerintah dengan DPR RI. Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018 pun masih menjadi fokus dari pemerintah yang saat ini tengah dibahas bersama DPR RI.
“Setelah RAPBN 2018 saya prediksi baru akan dibahas, setelah Agustus kira-kita,” tukas Bhima.
Sumber: okezone.com
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Pemeriksaan Pajak
Tinggalkan komentar