Dua Opsi Aturan Pendapatan Bebas Pajak

JAKARTA. Pemerintah menargetkan kenaikan rasio pajak atau tax ratio tahun 2019 sebesar 19%. Angka itu melonjak dari realisasi tahun lalu yang 10,3%. Untuk mencapai target itu, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) berharap ada perubahan skema Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari saat ini berlaku sama di seluruh Indonesia, menjadi berdasarkan upah minimum provinsi (UMP).

Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Ken Dwijugiasteadi menyebut, kenaikan PTKP yang dilakukan pemerintah pada tahun lalu telah menurunkan penerimaan pajak di daerah-daerah dengan UMP rendah. Ditjen Pajak mencatat penerimaan negara sebesar Rp 20,1 triliun hilang pada 2016 setelah kenaikan batas PTKP.

Oleh karena itu, menurut Ken, Ditjen Pajak saat ini memikirkan dua opsi pengenaan PTKP. Pertama, menyesuaikan dengan PTKP dengan UMP per daerah. Kedua, tetap menaikkan PTKP dengan memberikan subsidi atau bonus kepada pengusaha yang membayar upah kepada pekerjanya minimal sama dengan PTKP. “Bisa saja PTKP tetap kami naikkan, namun mereka yang membayar upah minimal sama dengan PTKP, kami kasih bonus,” kata Ken di Jakarta, Minggu (23/7).

Opsi kenaikan PTKP dikaji karena sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mendorong agar evaluasi ter- hadap kebijakan PTKP mengarah pada kenaikan batas besarannya. Apabila PTKP naik maka daya beli masyarakat akan semakin besar sehingga konsumsi masyarakat bisa meningkat.

Seperti diketahui sesuai Peraturan Menteri Keuangan ( P M K ) N o m o r 1 0 1 / PMK.010/2016, pemerintah telah menetapkan kenaikan PTKP menjadi Rp 54 juta per tahun atau Rp 4,5 juta per bulan dari sebelumnya Rp 36 juta per tahun atau Rp 3 juta per bulan.

Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center Bawono Kristiaji mengungkapkan, revisi PTKP berdasarkan UMP merupakan upaya mencapai keseimbangan prinsip ability to pay serta perluasan basis pajak. Apalagi UMP ditentukan berdasarkan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di masing-masing daerah.

Menurutnya di berbagai negara, batasan PTKP umumnya didesain selaras dengan indikator tingkat ekonomi masyarakat, misalnya pendapatan per kapita, tingkat konsumsi, dan sebagainya. Dengan demikian, pemerintah bisa menilai tinggi atau rendahnya PTKP jika dibandingkan dengan benchmark tersebut.

“Batasan PTKP di Indonesia terlalu tinggi di banding negara kawasan atau negara-negara maju. Adanya penyesuaian PTKP di 2016 membuat nilainya meningkat menjadi 1,13 kali lipat dari pendapatan per-kapita. Akibatnya, banyak potensi pajak yang tidak tergali karena batasan PTKP itu,” kata Aji panggilan akrabnya.

Namun demikian, menurut Aji diperlukan kehati-hatian dalam perbandingan tersebut. Sebab di setiap negara, tax base orang pribadi tidak hanya ditentukan oleh PTKP, namun juga komponen-komponen lain, seperti deduction, allowance, hingga penentuan lapisan kelompok penghasilan (tax bracket) di tiap jenjang tarif.

Dengan demikian, pemerintah harus menyiapkan analisis komprehensif. Mengingat, sangat mungkin bahwa negara dengan tingkat PTKP rendah memiliki skema pengurang tax base lainnya yang lebih tinggi. Selain itu variasi PTKP antardaerah yang berdasar UMP berpotensi menciptakan kerumitan administrasi lapangan maupun distorsi bagi mobilitas tenaga kerja.

Pemerintah harus mengantisipasinya agar tak menimbulkan masalah.

Sumber: Harian Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Pemeriksaan Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar