Masyarakat Terjepit, Industri tak Berkutik

Sri Mulyani Indrawati punya senjata baru. Tepat setahun sejak diangkat menjadi Menteri Keuangan di Kabinet Kerja, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2017 disahkan dan pemerintah diberikan ruang untuk memperbesar defisit. Sebelumnya di APBN 2017 cuma 2,41% dari produk domestik bruto (PDB), kini melebar jadi 2,92% dari PDB. Dengan begitu, pemerintah berharap target pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa mencapai 5,2%.

Seiring melebarnya defisit, target utang pun bertambah. Nah, tambahan utang itu akan dimanfaatkan pemerintah untuk memperbesar sumbangannya pada pertumbuhan ekonomi. “Tahun ini (kontribusi) pemerintah lebih positif sekitar 4% year on year (yoy),” kata Sri Mulyani usai pengesahan UU APBN-P 2017 di DPR, Kamis sore, 27 Juli 2017.

Mengambil peran lebih besar, dengan segala risikonya termasuk menambah utang, menjadi pilihan terbaik di mata pemerintah. “Threshold 3% (defisit terhadap PDB) ini warisan Letter of Intent dengan IMF tahun 1998. Negara lain kalau merasa perlu untuk mendorong pertumbuhan ekonominya, bisa di atas 3%,” kata Ekonom Bank BCA David Sumual.

Perekonomian Indonesia kini memang membutuhkan dorongan agar bisa tumbuh lebih cepat. Meskipun secara agregat, ekonomi makro tampak baik baik saja pertumbuhan ekonomi di atas 5% dan inflasi terjaga namun adanya tanda-tanda pelemahan daya beli tak bisa dinafikan begitu saja.

Salah satu sinyal pelemahan itu adalah turunnya konsumsi masyarakat yang terefleksi dari melemahnya angka penjualan di berbagai sektor bisnis, salah satunya sektor ritel.

Tadinya, Roy Nicholas Mandey dan para pengusaha ritel lainnya menaruh harapan besar terhadap penjualan di Juni 2017, yang bertepatan dengan momen puasa dan Lebaran. Biasanya, penjualan ritel di musim Lebaran bisa tumbuh hingga 13%. Dus, kontribusinya terhadap total penjualan ritel bisa men capai 40%. Nyatanya, “Juni yang biasanya menjadi puncak penjualan malah hanya tumbuh 5%,” keluh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) itu.

Alhasil, Aprindo terpaksa mengoreksi targetnya lebih awal. Tadinya, penjualan ritel tahun 2017 diharapkan tidak jauh berbeda dari tahun lalu yang tumbuh 9% Kini, target itu dipangkas menjadi 6%-7%. Pengusaha ritel kini tinggal berharap pada momen Natal di pengujung tahun ini.

Roy sebetulnya sudah menebak pertumbuhan penjualan tidak bisa melambung jauh di atas tahun lalu. Tapi paling tidak, persentase pertumbuhan nya tidak jauh berbeda. Pasalnya, sejak beberapa bulan sebelumnya, penjualan ritel memang sudah tertekan. Pada bulan April, pertumbuhannya haya 4,1%. Sebulan kemudian angkanya lebih parah, cuma 3,6%.

Lemahnya penjualan juga terjadi di industri lain. Sejauh ini yang paling parah dialami industri otomotif, terutama di segmen roda dua. Sepanjang paruh pertama 2017, pertumbuhan penjualan motor minus 13,1% menjadi 2,7 juta unit.

Data PT Astra International menunjukkan, jika dilihat secara bulanan volume perlualan yang paling kerdil justru terjadi di bulan Juni, yakni hanya terjual 379.467 unit. Akibatnya, Asosiasi Industri Sepedamotor Indonesia ( AISI) pun memangkas target penjualan tahun ini dari 5,95 juta unit menjadi 5,75 unit saja. “Paling jeblok daerah Jawa, Bali, dan Sulawesi. Sulawesi turun sekitar 13%,” kata Sigit Kumala, Ketua Bidang Komersial AISI.

Yang harus dicatat, daerah-daerah yang penjualannya jeblok itu merupakan lumbung penjualan industri sepeda motor. Kawasan Jawa dan Bali selama ini berkontribusi 65% terhadap total penjualan kendaraan bermotor roda dua.

Melesunya aktivitas ekonomi juga terindikasi dari penjualan listrik PT PLN (Persero) sepanjang semester I-2017. Berdasar laporan keuangan semester I-2017 unaudited, volume penjualan listrik cuma mencapai 108,4 Terra Watt hour (TWh). Artinya, hanya ada kenaikan 1,17% dibanding periode sama 2016 yang sebesar 107,2 TWh.

Padahal, secara total tahun lalu volume penjualan listrik PLN masih bisa tumbuh 7,82%. Per Juni 2015, konsumsi listrik memang pernah jeblok. Tapi itu pun masih bisa tumbuh 1,78%, lebih baik ketimbang kondisi terkini. Melemahnya pertumbuhan penjualan listrik boleh jadi indikasi menurunnya aktivitas ekonomi, yang hampir semuanya membutuhkan listrik.

Seretnya bisnis di berbagai sektor itu menunjukkan ada persoalan di sisi konsumsi. Sejak awal tahun, masyarakat memang terpaksa menanggung beban pengeluaran yang lebih berat akibat kebijakan pemerintah menaikkan berbagai tariff. Mulai dari pencabutan subsidi listrik yang menyebabkan naiknya tagihan listrik, hingga kenaikan tarif administrasi Surat Tanda Bermotor (STNK) dan Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB).

Para pengusaha dan ekonom yang dihubungi KONTAN mengakui bahwa pencabutan subsidi listrik 900 VA dialami 18,7 juta pelanggan berdampak besar pada tergerusnya konsumsi masyarakat.

Pemerintah mencabut subsidi listrik bagi mereka yang dinilai mampu secara ekonomi, sehingga tak layak dapat subsidi. Pencabutan subsidi dilakukan secara bertahap, yakni 1 Januari 2017, 1 Maret, dan 1 Mei 2017. Total, beban kenaikan biaya listrik per kWh pelanggan 900  VA nonsubsidi ini mencapai Rp 747 per kWh. Sumbernya dari selisih tarif listrik 900 VA non subsidi yang per 1 Mei 2017 Rp 1.352/kWh dengan tarif sebelum kenaikan di Rp 605/kWh.

Jika mengacu pada asumsi PLN bahwa konsumsi listrik rata-rata pelanggan 900 VA 124 kWh/bulan, maka biaya listrik setiap rumah tangga akan bertambah Rp 92.628 per bulan. Sebagai perbandingan, sebelum pencabutan subsidi, pengeluaran listrik mereka rata-rata cuma sekitar Rp 74.000. Total, tambahan pengeluaran listrik pelanggan golongan ini pun bertambah Rp 1,7 triliun per bulan.

Kenaikan biaya STNK dan BPKB mulai 1 Januari 2017 juga ikut mengendorkan konsumsi masyarakat. Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), di tahun 2015 ada sekitar 18,67 juta kendaraan. Sekitar 74,94% atau hampir 14 juta unit diantaranya adalah motor roda dua. Adapun mobil, jumlahnya sekitar 4,67 juta unit.

Nah, berdasar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2016, biaya administrasi STNK sepeda motor, baru atau perpanjangan, naik dari Rp 50 ribu menjadi Rp 100 ribu. Sementara untuk mobil naik dari Rp 75 ribu menjadi Rp 200 ribu. Dari sini, ada sekitar Rp 1,285 triliun dana yang tadinya bisa dibelanjakan, tersedot kenaikan tarif STNK yang baru.

Deputi Bidang Industri dan Perdagangan Kemenko Perekonomian Edy Putra Irawady mengatakan, turunnya konsumsi juga disebabkan oleh masyarakat yang masih menunda belan- ja. “Faktornya libur panjang yang buat mereka (masyarakat menengah atas) jalan-jalan ke luar negeri dan spending di sana,” ujarnya.

Senada, Damhuri Nasution, Kepala Ekonom Danareksa Research Institute menyebut, daya beli masyarakat memang mengalami pelemahan. Ini tercermin dari Kepercayaan Konsumen (IKK) bulan Juni yang dirilis Danareksa. Namun, ia mewanti-wanti, terutama untuk data penjualan ritel, tidak bisa menggambarkan kondisi secara keseluruhan. “Indeks penjualan ritel itu lebih merepresentasikan golongan menengah ke atas,” katanya.

Untuk golongan menengah ke bawah, sayangnya Indonesia tidak memiliki data penjualan , misalnya penjualan di pasar tradisional. Meski begitu, Damhuri yakin masih ada pertumbuhan di sektor ini.

Paling tidak ini tercermin dari survei IKK Juni versi Danareksa. Jika diblejeti, IKK di kategorikan konsumen berpenghasilan di atas Rp 2 juta per bulan tergelincir 0,7% menjadi 103,1. Namun, kepercayaan konsumen berpenghasilan di bawah Rp 1 juta naik 3,3% ke level 81,1

Selain itu, liburan Idul Fitri yang berlangsung selama 10 hari di penghujung Juni diperkirakan ikut berkontribusi terhadap turunnya data-data penjualan. Soal listrik misalnya, Fabby Tumiwa, Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebut, masa libur panjang membuat aktivitas industri sudah menurun. “Kantor-kantor juga sebagian besar berhenti beraktivitas selama liburan,” kata Fabby.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengakui adanya penurunan konsumsi yang berujung pada pelemahan ekonomi. Untuk meningkatkan konsumsi masyarakat, pemerintah akan terus memperbaiki ekspor-impor. Menurut Darmin, jika aktivitas perdagangan membaik, konsumsi masyarakat bisa membaik. “Yang penting itu pokok permasalahannya diselesaikan. Ekonomi bisa berjalan bukan dengan didorong satu per satu,” kata Darmin.

Kabar baik datang dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignatius Jonan yang menegaskan, tidak akan ada lagi kenaikan tarif hingga 2017 berakhir. Keputusan ini sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo. Kebijakan ini bisa mengurangi tekanan terhadap daya beli warga.

Namun sebaliknya, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Ken Dwijugiasteadi malah mengusulkan agar batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) kembali dikaji. Besarannya disesuaikan dengan upah minimum provinsi (UMP). “Dengan adanya (kenaikan) PTKP ini, Kanwil Yogyakarta penerimaannya jatuh. Wajib pajak orang pribadi-nya sangat menurun karena banyak yang di bawah PTKP,” katanya.

David menilai, rencana semacam ini bisa kontraproduktif jika diterapkan saat kondisi seperti sekarang. Dalam jangka pendek, penurunan PTKP memang bisa membantu sisi pene-rimaan pajak. Namun, risikonya cukup besar, bukan cuma terhadap tingkat konsumsi. Tapi juga pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. “Masalahnya, tambahan penerimaan yang didapat pemerintah itu, nanti belanjanya segera enggak? Kalau menumpuk di kuartal IV seperti biasanya, dampaknya nggak signifikan,” kata David.

Sumber : Tabloid Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Ekonomi

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar