Memarkir Dana Selama Bisnis Merana

Hingga semester pertama, masyarakat menunda untuk belanja.

Ekonomi Indonesia sedang rapuh? Jangan terlalu cepat menjawab ya. Memang, perputaran bisnis di berbagai sektor sedang melambat, mulai pebisnis otomotif, ritel hingga pedagang kecil pun merasakan penjualan tidak berlari kencang.

Kendati pasar sedang lesu, prospek ekonomi Indonesia hingga akhir kuartal kedua tahun ini masih mendapat penilaian positif dari sejumlah ekonom. Josua Pardede mempunyai analisa kalau penurunan penjualan di sektor riil ini tidak sepenuhnya karena masyarakat tidak mampu lagi untuk berbelanja. “Menurut saya, masyarakat cuma menunda melakukan konsumsi pada semester pertama tahun ini,” ujar Ekonom di PT Bank Permata Tbk ini.

Memang, hasil survei persepsi konsumen Bank Indonesia (BI) mengindikasikan tingkat keyakinan konsumen pada bulan Juni 2017 cenderung melemah. Menurut Josua, penurunan itu disebabkan muncul persepsi bahwa ketersediaan lapangan kerja pada saat ini maupun enam bulan mendatang bakal terbatas.

Nah, Josua bilang ada beberapa alasan masyarakat untuk menunda belanja secara jorjoran ini belakangan ini. Salah satunya adalah karena mereka punya anak usia sekolah yang tahun ajarannya dimulai tak lama setelah Lebaran. Alhasil, selama momen Lebaran lalu, mereka menahan diri tidak menghamburkan uang.

Selain itu, ada juga tren masyarakat mulai sadar untuk berhemat. “Porsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi menunjukkan tren menurun sejak Desember 2016 hingga Juni 2017. Sementara porsi pendapatan yang digunakan untuk tabungan cenderung meningkat,” ujar dia.

Masyarakat cuma menunda belanja konsumsi dari awal tahun hingga semester pertama.

Pendapat pengamat ekonomi CORE Mohammad Faisal setali tiga uang. Ia menuturkan, masyakarat kini cenderung tidak mau menghabiskan banyak uang mereka untuk konsumsi. “Semuanya tidak mau spending. Wirausaha misalnya, ia akan cenderung membuat simpanan jangka panjang dan valas dalam masa-masa kini,” jelas Faisal.

Pengamat properti Ali Tranghanda mengatakan pembeli properti terlihat menahan diri hingga semester kedua tahun ini. Alasannya memang cukup beragam. Satu alasan yang paling sering terdengar adalah memanasnya suhu politik serta situasi keamanan dalam negeri yang sempat naik turun. Kedua faktor itu memangkas minat orang untuk membeli aset properti. “Konsumen properti menengah ke atas masih menahan diri untuk membeli properti. Mereka ini motif investasinya besar. Daya beli ada, hanya pasarnya enggak bergerak karena faktor politik dan keamanan,” ujar Ali.

Alhasil, uang yang biasanya berputar di sektor properti pun akhirnya tertahan di brankas perbankan. Ali mengingatkan sejak pemerintah meluncurkan amnesti pajak, dana yang berdiam di bank meningkat.

Nah, uang yang terkait dengan amnesti pajak itu diharapkan juga berputar di sektor properti. Misalnya, uang tax amnesty ada Rp 50 triliun di BCA. Sebagian ada yang masuk ke pasar modal. Tetapi ke sektor riil belum ada pergerakan,” tukas Ali lagi.

Berbagai analisa aliran dana masyarakat itu, didukung oleh data kenaikan dana pihak ketiga (DPK) di berbagai bank. Termasuk juga kenaikan nilai di berbagai instrumen investasi pasar modal.

Misalnya saja kenaikan DPK cukup tinggi terjadi di dua bank berplat merah, yaitu PT Bank Tabungan Negara Tbk dan PT Bank Negara Indonesia Tbk.

Direktur BNI Anggoro Eko Cahyo mengatakan memang saat ini ada fenomena masyarakat cenderung menahan spending “Data kami menunjukkan kalau kredit untuk konsumsi tidak terlalu naik, sedangkan DPK kami naik cukup tinggi,” katanya.

Kenaikan DPK juga terlihat di bank swasta papan atas, PT Bank Central Asia (BCA) Tbk. Kenaikan DPK di kuartal kedua tahun ini mencapai 16,7% dibandingkan pencapaian di periode yang sama pada tahun 2016.

Direktur Utama BCA Jahja Setiaatmadja mengatakan kenaikan DPK ini terlihat dari naiknya porsi deposito. Kenaikan ini bermula sejak awal tahun lalu hingga akhir semester pertama tahun 2017. Padahal, menurut Jahja, bunga deposito dari BCA relatif rendah dibandingkan dari bank lain.

Jahja juga bilang kenaikan DPK ini bukan karena adanya duit amnesti pajak yang masuk ke Bank BCA. “Respons nasabah ini besar sekali. Tax amnesty masuk 2016 dihitung Desember. Jadi itu tidak terlalu pengaruh,” ujar Jahja.

Kondisi ekonomi yang masih lesu ini membuat banyak bank ingin terus menaikkan DPK. Namun, yang diinginkan oleh bank tentu saja adalah mencari dana murah.

Seperti yang akan dijalankan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI). Wakil Direktur Utama BRI Sunarso menyatakan target porsi dana murah BRI akhir tahun 2017 berada di kisaran 60% dari total DPK. Salah satu cara yang disiapkan bank itu untuk memenuhi target DPK adalah mendorong nasabah untuk melakukan transaksi perbankan.

“Uang elektronik, dan layanan digital kami terus dorong, supaya transaction banking meningkat,” ujar Sunarso.

Selain itu, BRI bakal lebih gencar menggaet nasabah. Khususnya nasabah yang berdomisili di luar Jakarta atau kota besar lainnya, yang dinilai masih sangat besar potensinya.

Tugas berat

Dana masyarakat sepertinya terlihat banyak masuk ke berbagai instrumen investasi. Direktur Utama PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) Friderica Widyasari Dewi menjelaskan jumlah investor di pasar modal secara keseluruhan telah meningkat. Peningkatan nya hingga 12% dari 894.116 pada tahun 2016 menjadi 1.000.289 per 7 Juni 2017.

Dari sisi kepemilikan, investor lokal telah mendominasi, angkanya adalah sebesar 51,14% dibandingkan komposisi kepemilikan investor asing yang sebesar 48,86%.

KSEI juga mencatat kenaikan nilai efek rupiah mulai dari tahun 2013 hingga sekarang. Misalnya saja untuk nilai produk reksadana dengan mata uang rupiah yang dimiliki oleh investor lokal per minggu keempat Juni 2017 mencapai Rp 4,19 triliun. Jauh meningkat di periode sebelumnya yang tercatat senilai Rp 2,3 triliun.

Pengamat Pasar Modal Irwan Ariston Napitupulu mengatakan bahwa dari semua fakta tersebut memang tidak bisa langsung disimpulkan kalau ada perpindahan alokasi dana dari masyarakat, yang masuk ke instrumen investasi pasar modal.

Menurut Irwan memang ada gejala kenaikan investasi disaat pasar mobil, properti dan barang lain tengah lesu. “Ini mungkin cuma masalah siklus. Setelah euforia properti di tahun 2010 hingga 2013, kini masa tenang untuk penjualan properti,” ujar dia.

Di sisi lain, inilah masa di mana investor bergegas memenuhi bursa saham kita. Dana yang terus masuk menyebabkan beberapa kali pecah rekor IHSG. “Menjadi fenomena yang sangat menarik. Di saat semua sedang lesu, IHSG justru terus mencetak rekor,” ujar Irwan.

Dilihat dari pencapaian IHSG, menurut Irwan, masyarakat pelu berhati-hati yang ingin memutuskan untuk berinvestasi pada semester kedua tahun ini. Pasalnya, kenaikan IHSG yang sudah cukup tinggi bisa saja memantul kembali. “Di sebuah bursa yang sedang pecah rekor, biasanya akan selalu ada saham-saham yang valuasinya masih murah. Jadi, sebaiknya investor mulai selektif dalam memilih saham,” tutur Irwan.

Lalu, bagaimana kondisi ekonomi di semester kedua tahun ini? Josua masih meyakini kalau daya beli masyarakat bisa kembali normal dalam waktu dekat. Indikatornya adalah rencana pemerintah untuk menunda kenaikan tarif listrik yang awal nya dijalankan pada bulan Juli ini. Selain itu, Pemerintah bakal menunda menaikkan harga BBM mengingat harga minyak dunia juga masih belum meningkat.

Namun, tugas pemerintah di semester kedua ini tidak mudah. Pemerintah perlu menjaga kondisi dalam negeri agar tetap kondusif. Ketakutan masyarakat terhadap penurunan inflasi dapat membuat kondisi memprihatinkan di semester pertama terus terjadi. “Dalam rangka menjaga daya beli masyarakat, pemerintah harus memastikan penyerapan dan realisasi anggaran desa bisa cepat dan tepat sasaran,” ujar Joshua.

Pemerintah tentu tidak mau dibilang gagal. Deputi Bidang Industri dan Perdagangan Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian Edy Putra Irawady mengatakan hingga kini daya beli masyarakat masih cukup kuat. “Kalau ada penurunan ya karena masyarakat belum mau membeli. Faktornya libur panjang,” ujar Edy. Ia membenarkan banyak duit yang parkir sementara ke produk investasi dan perbankan.

Pemerintah, tutur Edi, masih terus berupaya menggeliatkan kembali mesin ekonomi agar ngebut. Tim ekonomi masih menempatkan deregulasi untuk mempercepat bergulirnya roda bisnis.

Hingga kini, memang masih sering ditemukan aturan dari berbagai instansi mulai menteri hingga ke pejabat daerah yang bertentangan. Akibatnya? Banyak pebisnis mengeluh. “Antar peraturan menteri bisa saling bertabrakan, itu mengakibatkan ketidakpaduan antara sumber daya alam, manufaktur dan services. Di situ sektor riil jadi kena banget,” ujar Edy.

Sumber : Tabloid Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Ekonomi

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar