Tumbuhnya meganomi dan inovasi

Booming taksi online sudah bikin ngos-ngosan taksi konvensional. Tidak sanggup bersaing dari sisi harga. Pemerintah pun turun tangan dengan menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 6 tahun 2017, lewat penetapan  tarif batas atas dan bawah yang sejatinya mulai berlaku awal Juli ini.

Kebijakan anyar ini membuat transportasi onilne dipaksa mengatrol tarif hingga nyaris sama dengan taksi biasa. Konsumen pun kecewa. Jalan tengah yang dikehendaki tidak memberikan kepuasan semua pihak.

Aturan tersebut juga mengganggu kebatinan ekonomi digital.  Dengan karakter yang praktis, cepat dan efisien, ekonomi digital diminati masyarakat dan membuat modal ventura kepincut dan mau menyuntikkan dana.

Ada tiga catatan krusial yang menarik kita diskusikan terkait respons pemerintah atas fenomena rivalitas industri dari dua era yang berbeda tersebut.

Pertama, inkonsistensi dan regulasi yang tumpang tindih masih mewarnai pengambilan kebijakan publik di Indonesia. Permenhub Nomor 6 Tahun 2017 itu kontraproduktif dengan mimpi pemerintah menempatkan Indonesia sebagai kampiun ekonomi digital Asia Tenggara 2020 seperti tertuang peta jalan E-Commerce.

Regulasi mestinya menjadi sumber kompensasi yang memompa gairah dunia usaha  agar terus bersemi. Pemberlakuan beleid itu bisa mengganggu nilai kompetitif taksi online dan merusak iklim ekonomi digital.

Kedua, pemerintah belum mampu beradaptasi dengan ekonomi digital. Ekonomi masa depan membutuhkan respons yang lincah dan tepat sasaran yang menjadi karakter ekonomi digital. Pemerintah lambat merespon turbulensi ekonomi ekonomi digital dan konvensional di ranah transportasi.

Ketiga, kebijakan yang tertuang dalam Permenhub No 6 Tahun 2017, semakin menguatkan predikat Indonesia sebagai negara yang tidak ramah terhadap inovasi. Gelombang inovasi yang mulai banyak diadopsi oleh anak negeri, justru dikebiri.

Padahal ekonomi digital ini kerap mendapat julukan meganomi. Belantara ekonomi yang menyajikan multi peluang. Dalam sejarah umat manusia, baru kali ini satu perusahaan (aplikasi) bisa menciptakan jutaan lapangan kerja, melahirkan banyak jutawan hingga miliarder muda dan bukan dari warisan dengan begitu cepat.

Sudah terlembaga

Di Indonesia, transportasi online jadi primadona dan pilar meganomi. Menurut kalkulasi CEO Grab, Anthony Than, nilai pasar transportasi online lokal mencapai Rp 200 triliun yang diperebutkan Go-Jek, Uber, dan Grab.

Go-Jek yang tadinya lahir sebagai aplikasi pesanan ojek online,  menjelma jadi layanan multijasa nan meggurita. Kapitalisasi aplikasi besutan anak negeri ini melesat jauh di atas perusahaan transportasi konvensional seperti Garuda Indonesia atau Blue Bird. Dikutip TechCrunch, per 2016 kapitalisasi pasar perusahaan yang belum genap berusia satu dekade itu sudah tembus Rp 17 triliun.

Pesan yang harus kita tangkap dari fenomena meganomi ini adalah keniscayaan inovasi. Bahwa meganomi adalah ekonomi digital bertabur kreativitas. Untuk merangsang kreativitas, inovasi harus diberi ruang yang memadai. Termasuk dukungan kebijakan ciptakan iklim bisnis yang sehat.

Amat disayangkan, pemerintah belum terbuka terhadap inovasi. Dalam diskursus transportasi online dan konvesional misalnya, pemerintah beralibi untuk proteksi transportasi konvensional yang telah lebih dahulu eksis.

Sebagai benchmark, kita coba tengok Swiss. Negara tersebut dinobatkan sebagai Most Innovative Countries oleh World Economic Forum. Di Swiss, inovator berlimpah kompensasi. Mulai dari keringanan pajak, pembukaan akses pasar luar negeri, hingga ruang implementasi hasil inovasi di dunia bisnis yang disokong banyak regulasi.

Hasilnya, seperti dilansir Credit Suisse, dalam setahun ada 43.000 aplikasi pengajuan paten di Swiss. Penelitian dengan berbagai inovasi, menjadi kultur yang mewarnai kemajuan bangsa Swiss. Malah,  60% pengeluaran tahunan riset dibiayai swasta. Swiss memandang inovasi sebagai investasi.

Di Indonesia, dukungan terhadap inovasi sangat lemah. Politik anggaran kita tidak berpihak pada riset dan pengembangan. Ini bisa dilihat dari alokasi dana riset di Indonesia cuma 0,2% dari PDB. Kalah jauh dari negara lain. Tak heran bila politik anggaran kita sudah memunculkan budaya anti riset dan inovasi yang sudah terlembaga.

Sumber: Harian Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Artikel

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar