
Begitu rapat paripurna pengesahan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (RAPBNP) 2017 berakhir, Sri Mulyani Indrawati segera bergegas meninggalkan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ia menunju kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Disana sudah menunggu dua pejabat tinggi negara lainnya. Ada Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Trikasih Lembong. Sore hari itu, Kamis 27 Juli 2017, Di ruang Roeslan Abdulgani gedung Kemkominfo, mereka bertiga menjadi pembicara utama dalam diskusi bertajuk “Utang: Untuk Apa dan Untuk Siapa.”
Saat mendapat kesempatan berbicara, Menteri Keuangan (Menkeu) menyampaikan, jika APBNP 2017 mau dijalankan tanpa utang, maka belanja negara harus dipotong menjadi Rp 397,2 triliun. Ini jika defisit di anggaran setara dengan 2,92% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Ia lantas menyambung pemaparannya itu dengan mengajukan sepotong pertanyaan kepada hadirin yang sebagaian di antaranya wartawan dari berbagai media massa. “Kira-kira kalau (defisitnya) hampir Rp 400 triliun (pos belanja) apa dulu yang saya potong?,” tanya Sri dengan nada santai.
Pertanyaannya singkat namun tidak demikian dengan jawabnya. Sebab, dalam menyusun anggaran belanja, di beberapa pos, pemerintah dihadapkan pada kewajiban. Sudah menjadi amanat Undang-Undang kalau anggaran pendidikan mesti 20% dari APBN, sementara kesehatan 5% dari total belanja negara. Dari dua pos anggaran ini saja, belanja negara sudah tersedot sekitar Rp 527,84 triliun.
Pemerintah, lanjut Menkeu, juga tidak mungkin memotong gaji aparatur sipil negara, polisi dan anggota Tentara Nasional Indonesia. Atau, menghentikan program-program sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH) yang memberikan bantuan uang tunai kepada 6 juta keluarga.
Untuk anggran pemerintah pusat, saban tahun seudah disunat. Tuhan ini dengan Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2017, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 22 Juni 2017 mengintruksikan semua kementerian dan lembaga untuk melakukan efisiensi belanja barang. Total anggaran yang dipotong mencapai Rp 16 Triliun.
Sulit disunat
Berpatokan pada garis kebijakan fiskal yang dijalankan pemerintah saat ini, memnagkas defisit dengan menyunat anggaran infrastruktur besar-besaran sepertinya juga bukan menjadi pilihan utama. “Infrastruktur saya potong MRT (massrapid transit) dan LRT (light rail transit) kami berhentikan, ya? Anda macet terus, kan, tidak apa-apa, ya? Tidak usah bangun (infrastruktur) listrik baru, boleh?” Kata Sri dengan nada bertanya.
Apalagi, sejak awal berkuasa Jokowi mengarahkan kebijakan fiskal Indonesia ke jalur ekspansif demi menggeber pembangunan infrastruktur di berbagai daerah. Dalam berbagai kesempatan Jokowi kerap menyampaikan, pembangunan infrastruktur sekarang tidak Jawa-sentris. Dari sisi keadilan dan pemerataan pembangunan., ini jelas bernada positif.
Infrastruktur, kata Suahasil Nazara, perlu dibangun agar kapasitas ekonomi bisa digenjot. Persoalannya, keberadaan infrastruktur tidak bisa sertamerta berdampak pada ekonomi. “Membangun infrastruktur mungkin butuh 2-3 tahun baru muncul dampaknya bagi perekonomian,” ujar Kepala Badan kebijakan Fiskal Kementerian keuangan, itu kepada KONTAN di kantornya.
Penjualan aset negara bisa jadi alternatif sumber pendanaan selain dari utang dan perpajakan.
Daerah luar jawa seperti papua dan Sulawesi, atau kawasan perbatasan juga bukanlah sumber utma bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Bisa di pahami jika manfaat keberadaan infrastruktur disana tidak bisa dirasakan seketika.
Akhmad Akbar Susamto, Ekonom Core Indonesia menyebut, saat ini kondisi infrastruktur indonesia memang tertinggal. Jika sungguh-sungguh mengejar ketertinggalan tersebut, maka keadaan akan semakin parah. Memang infrastruktur yaang baik tidak dengan sendirinya meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. “Namun, infrastruktur yang buruk sudah pasti menjadi penghambat gerak perekonomian,” kata Akbar.
Hanya saja, di tengah keterbatasan anggaran, pemerintah lanjut Akbar, bisa menyortir ulang proyek-proyek infrastruktur yang sudah direncanakan. Mana proyek yang harus segera dibangun dan apa proyek yang bisa ditunda ke tahun-tahun berikutnya. Dengan cara ini anggaran belanja bisa lebih di hemat.
Langkah ini sebetulnya juga sudah dilakukan oleh pemerintah dengan menyusun daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). Seperti termuat dalam Peraturan Presiden (perpres) Nomor 58 Tahun 2017 yang merupakan revisi dari perpres nomor 3 Tahun 2016.
Dalam beleid yang rilis 15 Juni 2017, itu ada 245 proyek strategis nasional, satu program ketenagalistrikan, dan satu program industri pesawat. Sebelumnya terdapat 225 proyek, sebanyak 20 proyek di antara nya sudah selesai dan 15 proyek dikeluarkan dari daftar. Lalu, pemerintah menambah 55 proyek baru dalam PSN.
Dari ratusan proyek tersebut, ada 37 proyek prioritas yang mesti dibereskan tahun ini. Di daftar sebelumnya ada 30 proyek. Namun, lima proyek dikeluarkan dari daftar karena pembangunannya tidak bisa tercapai sesuai target. Lalu, pemerintah menambah 12 proyek prioritas yang baru.
Proyek-proyek strategis yang menjadi prioritas tersebut antara lain proyek tol Trans Sumatera, MRT Jakarta jalur utara selatan, kereta api Makassar-Pare-pare, pelabuhan Hub Internasional Bitung, pembangkit listrik di beberapa provinsi, sistem pengolahan limbah Jakarta, dan sistem penyediaan air minum Lampung, Jatiluhur, dan Semarang Barat.
Pendanaannya pun tidak hanya mengandalkan APBN. Pemerintah ikut melibatkan investor swasta, termasuk BUMN untuk mengatasi kendala keterbatasan anggaran.
Persoalannya, pemodal swasta hanya masu masuk ke proyek-proyek yang menguntungkan. Padahal, proyek infrastruktur yang menjadi prioritas pemerintah banyak yang tidak visibel secara hitung-hitungan bisnis.
Sebagai contoh proyek jalan tol Trans Sumatera. Meski sudah digagas sejak tahun 2009, pengerjaannya baru dimulai akhir April 2015. Persoalannya, ya, karena dari sisi bisnis, proyek ini dinilai tidak visibel. Dus, tak aneh jika tidak ada satu pun perusahaan yang bersedia membangun jalan tol ini.
Kalaupun kini PT Hutama Karya (Persero) tengah menggarap Trans Sumatera, itu atas penugasan pemerintah. Saat merancang obligasi berkelanjutan senilai Rp 6,5 triliun, Rp 2,968 triliun di antaranya sudah dirilis, pemerintah memberikan jaminan penuh atas surat utang ini. Tujuannya, tentu agar investor tertarik membeli obligasi tersebut. “Untuk yang tidak profitable, APBN masuk. kalau dia profitable, kita undang swasta,” kata Suahasil.
Cuma, lagi-lagi pilihan memangkas anggaran infrastruktur, termasuk tahun depan, tampaknya sulit dilakukan.
Eric Alexander Sugandi, Chief Economist SKHA Institute forGlobal Competitiveness, menyebut, pemerintah yang kini berkuasa pasti ingin menggenjot pertumbuhan ekonomi agar bisa terpilih lagi. “Ini namanya tahap ekspansi pada political business cycle,” kata Eric.
Selain itu, pemerintah sebetulnya sudah merancang berbagai pilihan pendanaan infrastruktur. Skema paling anyar yang di dendangkan adalah memanfaatkan dana haji. Maklum, hingga 2016 dana haji baik dari setoran awal, nilai manfaat, dan dana abadi umat sudah mencapai Rp 95,2 triliun. Hingga akhir tahun ini diperkirakan angkanya bisa mencapai Rp 100 triliun. Dari uang sebanyak ini 80% di antaranya bisa diinvestasikan ke berbagai portofolio.
Selama ini, dana haji hanya tersimpan di rekening Kementerian Agama. Dus, hasil pengelolaannya tidak maksimal dan dinilai minim transparansi.
Nah, pemerintah kata Menkeu, sudah menyiapkan instrumen yang pas, misalnya Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Dus, relasi Badan Pengelolaan Keuangan Haji (BPKH) dengan pemerintah bisa saling menguntungkan. Pemerintah butuh dananya sebagai tambahan pembangunan infrastruktur. Sementara BPKH bisa menempatkan dana di instrumen halal, aman, menguntungkan.
Terlepas dari polemik yang belakangan muncul, kalaupun disetujui, rencana ini paling cepat baru bisa direalisasikan tahun depan. Sabab BKPH masih menunggu terbitnya payung hukum berupa peraturan pemerintah dan peraturan presiden. Pengalihan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan Dana Abadi Umat (DAU) ke audit nilai uang dan aset yang akan diserahkan.
Pajak sulit dikatrol
Jika sisi belanja sulit dipangkas, pilihan berikutnya tentu menggenjot penerimaan perpajakan terbatas oleh kondisi ekonomi yang kini tengah lesu darah. Pilihan kebijakan yang tersedia kerap bersentuhan dengan urusan daya beli dan kondisi industry.
Tengok saja, belum lama ini pemerintah menyampaikan rencana mengkaji penurunan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Dalam jangka pendek, aturan ini efektif menggenjot penerimaan pajak. Namun dampaknya tidak baik bagi daya beli masyarakat dan perekonomian.
Langkah yang terlalu agresif untuk menggenjot penerimaan perpajakan bisa berujung blunder karena membuat pelaku ekonomi semakin tertekan dan enggan beraktivitas ekonomi sebagaimana dalam keadaan normal. Perlu kajian yang hati-hati dan komprehensif jika ingin memperluas objek pajak dan besaran tarif pajak. “Pro-kontra tentang PPN (Pajak Pertambahan Nilai) tebu beberapa waktu lalu merupakan salah satu contoh kasus yang lahir dari ketergesa-gesaan menambal kekurangan pendapatan,” ujar Akbar.
Pengamat perpajakan Wahyu Nuryanto sepakat dengan Akbar. Meski begitu, menghimpun pajak adalah amanat Undang-Undang sehingga harus terus digelar. Dus, aparat pajak bisa memetakan sektor yang masih bisa tumbuh saat ekonomi sulit seperti sekarang. Lantas, melakukan canvassing (penyisiran) untuk menambah basis data dan penerimaan perpajakan.
Sektor yang mungkin masih bisa digali antara lain e-commerce. Data-data terbaru yang muncul menunjukkan, transaksi belanja online terus tumbuh pesat dan menjadi antitesis penjualan ritel yang terpuruk. “Di Jepang ada petugas yang sehari-harinya mengamati aktivitas online shopping,” kata Wahyu mencontohkan.
Sementara itu, skema pertukaran informasi keuangan antar negara untuk kepentingan perpajakan (Automatic Exchange of Information/AEoI) juga belum bisa terlalu diharapkan. Poltak Maruli John Liberty Hutagaol menyebut, AEOI untuk tujuan internasional dan domestic baru dimulai tahun 2018.
Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, itu bilang, celah ada di Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 / 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan yang sudah disahkan jadi UU. Ini mengatur akses informasi by request bisa diterapkan tahun ini.
Lantas, apakah sudah ada daftar Wajib Pajak yang data keuangannya bakal di-request tahun ini? “Sudah ada tentunya. Namun pelaksanaannya dilakukan dengan baik, komunikatif sehingga tidak menimbulkan polemik,” ujarnya.
Salah satu harapan Ditjen Pajak kini ada di ranah penegakan hukum perpajakan. Dari law enforcement termasuk penyanderaan (gijzeling), Ditjen Pajak menargetkan bisa mengumpulkan penerimaan sebesar Rp 79 triliun. Target yang cukup besar namun juga tidak cukup mencegah terjadinya shortfall penerimaan pajak.
Meski begitu, Wahyu bilang, sejauh ini gijzeling cukup efektif sebagai upaya terakhir memaksa WP memenuhi kewajibannya. WP yang patuh harusnya juga tidak perlu takut. “Kalau sudah gijzeling berarti sudah ada tunggakan pajak yang inkracht, sudah selesai proses hukumnya,” tukasnya.
Lantas, kalau belanja sulit dipangkas dan utang tidak boleh terlalu dalam. Sementara penerimaan perpajakan sulit digenjot, apakah masih ada opsi lain? Eric menyebut satu alternative sumber dana namun tidak disarankan. “Misalnya privatisasi atau penjualan aset-aset Negara. Tapi ini risiko politiknya sangat besar,” kata Eric.
Waduh, nanti jadi skandal baru lagi dong!
Sumber: Tabloid Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Pemeriksaan Pajak
Tinggalkan komentar