JAKARTA. Tak seperti biasanya, momen Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri justru tak berhasil mendorong pertumbuhan daya beli masyarakat Indonesia. Meski konsumsi rumah tangga hingga Juni 2017 meningkat 4,95% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, tapi indikator lainnya tercatat menurun khususnya di sektor industri ritel. Pemerintah pun diharapkan mampu menggenjot kembali daya beli masyarakat di semester kedua 2017.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya beberapa penurunan di sektor ritel, di mana pertumbuhan penjualan ritel riil dari 16,3% pada Juni 2016, anjlok menjadi 6,7% di Juni 2017. Impor barang konsumsi pun menyedihkan, dari pertumbuhan positif sebesar 11,1% menjadi minus 0,8%.
Begitupun dengan pertumbuhan penjualan sepeda motor di bulan keenam ini anjlok menjadi minus 26,9% dari sebelumnya di periode sama tahun lalu minus 9,7%. Pertumbuhan penjualan mobil dari positif 11,4% menjadi negatif 27,5%. Sedangkan nilai tukar petani (NTP) turun dari 101,5 menjadi 100,5.
Pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan sedang tercatat 4% pada kuartal II-2017, lebih rendah dibandingkan tahun 2016 sekitar 4,01%. Sementara itu, pertumbuhan produksi industri manufaktur mikro dan kecil kuartal II-2017 naik 2,5% (yoy). Angka ini lebih kecil dibandingkan kuartal I-2017 mencapai 6,63%. Pada 2016, sekitar ini mencapai 5,78%. Pertumbuhan positif terbesar secara kuartalan didukung industri kertas dan barang dari kertas yang naik 15,87%. Sedangkan pertumbuhan negatif didorong industri kendaraan bermotor, trailer dan semi trailer yang merosot 5,3%.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto dalam paparannya Senin (7/8) lalu menuturkan, salah satu penyebab konsumsi rumah tangga tak sesuai harapan yaitu daya beli masyarakat kelas menengah bawah yang terganggu. Penyebabnya, antara lain kenaikan tarif listrik. Selain itu, upah riil petani dan buruh yang tercatat menurun.
Penyebab lainnya, masyarakat kelas menengah atas terindikasi menahan konsumsi lantaran khawatir dengan kondisi perekonomian ke depan. BPS pun mencatat pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya mencapai 4,95% pada kuartal II, nyaris stagnan dari kuartal sebelumnya yang sebesar 4,93%. Padahal, konsumsi rumah tangga semestinya meningkat pada kuartal II tahun lalu lantaran ada Ramadan dan Lebaran.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga kuartal II tahun ini bahkan lebih rendah dibanding kuartal II tahun lalu yang sebesar 5,07%. Imbas pertumbuhan konsumsi yang lemah, pertumbuhan ekonomi tercatat hanya mencapai 5,01% sepanjang paruh pertama tahun ini. Padahal, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5,2% di keseluruhan tahun.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, penurunan daya beli masyarakat akhirnya berdampak terhadap industri hingga semester II-2017. “Daya beli sekarang benar-benar drop. Ini sudah warning banget. Pelemahan daya beli tersebut ditunjukkan dengan penurunan penjualan sepeda motor dan mobil, penjualan ritel, dan industri lainnya. Penyebabnya, ada ketidakmerataan distribusi pendapatan karena berbagai hal,” kata Hariyadi dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu.
Hariyadi menuturkan, jika melihat tren investasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), penanaman modal naik, namun penyerapan tenaga kerja mengecil. Akhirnya distribusi pendapatan tidak merata, dan daya beli drop. “Pada kebingungan semua, karena kelas menengah kan tidak beli sepeda motor, tapi beli mie instan, jadi kita perlu menumbuhkan kalangan bawah,” ujar Hariyadi.
Parahnya lagi, menurut Hariyadi, peraturan tenaga kerja yang kompleks dan rumit, termasuk masalah pengupahan selama puluhan tahun, mendorong perusahaan saat ini lebih menahan diri untuk merekrut pegawai. Perusahaan-perusahaan sekarang ini memilih pegawai dengan kriteria tertentu.
Hariyadi menambahkan, peraturan tenaga kerja saat ini pun semakin membuat pengusaha enggan masuk ke industri padat karya. Mereka lebih memilih berbisnis di industri padat modal. Sementara di sisi lain, kata Hariyadi, pemerintah hanya berutang yang dikatakan digunakan untuk kegiatan produktif, yakni membangun infrastruktur. Sayang hingga kini hasilnya belum terlihat terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang sehat dan berkesinambungan.
“Utang untuk infrastruktur kita setuju, tapi harus hati-hati khususnya dalam pengelolaan pertumbuhan ekonomi. Dunia usaha tetap bergantung pada pertumbuhan ekonomi yang sehat supaya dunia usaha jalan. Jadi kalau dunia usaha mandek, bagaimana mau dapat pajak dan membiayai pembangunan,” jelas Hariyadi.
Untuk itu, Hariyadi berpesan agar pemerintah segera mengambil kebijakan tepat guna meningkatkan kembali daya beli masyarakat Indonesia. Salah satunya mengenai aturan ketenagakerjaan yang perlu direlaksasi. “Ambil kebijakan yang tepat, termasuk mengenai aturan ketenagakerjaan, jangan sepotong-sepotong,” ujar Hariyadi.
Pasalnya ia melihat hampir semua sektor mengalami penurunan, malah penjualan kendaraan bermotor minus. “Jadi kalau berdasarkan survei yang dilakukan AC Nielsen, mereka bilang kelas menengah menunda pembelian, sementara masyarakat menengah ke bawah mereka tidak punya uang,” jelas Hariyadi.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia pun memproyeksi, daya beli masyarakat yang turun sejak awal tahun ini akan kembali berlanjut pada semester II 2017. Masyarakat dinilai memiliki kecukupan pemasukan, namun tetap menahan diri dan enggan melakukan konsumsi berlebih. Ketua Umum Kadin Indonesia, Rosan Perkasa Roeslani mengatakan, hal ini terlihat dari belum bergairahnya daya beli masyarakat meski telah mendapat guyuran Tunjangan Hari Raya (THR) jelang lebaran 2017. Alhasil, pertumbuhan dunia usaha masih terbilang stagnan. “Misalnya industri makanan dan minuman (mamin) tahun lalu pertumbuhannya bisa 50%, sekarang hanya 10-15%. Masyarakat uangnya ada tapi mereka tidak belanja dengan agresif,” ucap Rosan.
Secara sektoral, menurut Rosan, stimulus dari THR kemarin, hanya terasa pada sektor konsumsi saja. Namun, perlu digarisbawahi bahwa pertumbuhannya juga tidak besar. Sementara itu, sektor komoditas dan sumber daya alam yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia juga belum bangkit. “Resources belum pulih benar. Jadi, investor yang mau tanam investasi masih mikir-mikir, perbankan juga,” imbuh Rosan. Ia memperkirakan, daya beli masyarakat belum akan bergairah pada semester kedua tahun ini. Hal tersebut dipengaruhi adanya sentimen berupa ketidakpastian dari sisi politik.
Meski begitu, Rosan berharap daya beli masyarakat dapat terdongkrak oleh peningkatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2017 yang saat ini tengah disusun pemerintah. Namun, untuk itu, belanja pemerintah harus lebih difokuskan kepada sektor produktif. “Yang harus dilihat apakah APBNP digunakan untuk sektor produktif, jangan hanya belanja rutin negara yang tak ada dampaknya pada masyarakat,” kata Rosan.
Selain itu, daya beli masyarakat pun diharapkan dapat terdorong batalnya kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) untuk pelanggan berkapasitas 900 Volt Ampere (VA) dan tak naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) dan elpiji pada Juli hingga September. Pasalnya, masyarakat diharapkan dapat mengalokasikan dananya pada konsumsi lain, seperti pangan dan sandang.
Langkah yang Harus Dilakukan
Untuk kembali meningkatkan daya beli masyarakat, Apindo mengusulkan ada beberapa usulan yang disampaikan ke pemerintah. Pertama, mengurangi berbagai polemik yang dipublikasikan belakangan ini. Hal ini menjadikan masyarakat dan kalangan usaha lebih berhati-hati dalam berbelanja.
Kedua, memberikan insentif kepada dunia usaha, terutama di sektor padat karya. Saat ini banyak pengusaha yang enggan investasi di industri padat karya dikarenakan tingginya upah minimum yang sudah ditetapkan. “Ini juga yang menjadikan tenaga kerja formal sekarang itu mulai menyusut, justru beralih ke informal, jadi mereka menunda pembelian,” ujar Hariyadi.
Ketiga, Presiden harus memperingatkan kepada jajaran menteri untuk lebih menonjolkan optimisme pertumbuhan ekonomi, bukan justru berlomba-lomba mempublikasikan berbagai pencapaiannya. “Presiden sudah optimis, tapi yang di bawah itu seakan pada cari panggung, tapi yang terjadi malah menimbulkan kecemasan,” tutur Hariyadi.
Sebelumnya Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan, tren pertumbuhan penjualan selama puasa dan Lebaran cenderung melambat. Bukan hanya di tahun ini, tapi juga tahun-tahun sebelumnya. “Saya tidak mengatakan tidak benar-benar melesu (daya beli). Tapi data di puasa dan Lebaran memang melambat, seperti tahun lalu di puasa dan Lebaran Juli pun jelek. Tahun ini di Juni juga jelek. Tapi saya tidak mengatakan tidak lesu, kita tunggu saja data konsumsi di kuartal II atau semester I dari BPS,” ujar Darmin.
Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro juga mengakui bahwa tren belanja masyarakat saat ini sudah berubah dari konvensional ke online. Hal ini menunjukkan bahwa transaksi penjualan tetap ada, sehingga daya beli masih terjaga. “Konsumsi kita banyak dipengaruhi online. Itu artinya, transaksi tetap jalan. Cuma mungkin data statistik dan pajak tidak bisa mereka itu (transaksi online),” ujar Bambang.
Pemerintah, kata Bambang, ke depannya khususnya di semester II akan terus mendorong dengan berbagai macam kebijakan untuk mempermudah perizinan dan menjaga konsumsi masyarakat. “Daya beli bukan normal, tapi kita harus tetap menjaga supaya konsumsi tetap kuat,” ujar Bambang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah mengatakan, imbas pelemahan ekonomi selama tiga tahun terakhir (2014-2016) masih terasa hingga kini. Dampaknya menghantam daya beli masyarakat dan merembet ke industri ritel maupun industri lain.
Sri Mulyani menyatakan, realisasi inflasi 2016 sebesar 3,02% merupakan pencapaian paling rendah dalam satu dekade. Kondisi ini, menurut dia bermula dari kontraksi atau penurunan di sektor pertambangan, dan kemudian berpengaruh ke sektor lainnya. “Itu terjadi puncaknya pada kuartal terakhir di 2016. Jadi saya menganggap ini masih menjadi imbas dari pelemahan ekonomi yang terjadi di 2014, 2015, dan 2016 karena faktor komoditas dan ekspor. Imbasnya masih terasa sampai sekarang,” ujar Sri Mulyani.
Ia menjelaskan, pemerintah tidak berpangku tangan. Pada semester II 2017, berbagai upaya akan dilakukan penerintah untuk mengerek daya beli masyarakat dan menggeliatkan kembali industri di Tanah Air, termasuk industri ritel. Fokus pemerintah, menurut Sri Mulyani, menyasar masyarakat berpenghasilan rendah dengan program-program perlindungan sosial, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) menjadi 10 juta keluarga, sehingga 25%, bahkan 40% masyarakat terbawah tetap terjaga. “Untuk menaikkan daya beli adalah dengan confidence. Meningkatkan daya beli tentu dengan upah yang meningkat yang mencerminkan produktivitas. Ini tantangan pemerintah,” Sri Mulyani menambahkan.
Selain itu, menurut Sri Mulyani, pemerintah fokus meningkatkan investasi di bidang infrastruktur dan sumber daya manusia mengingat faktor ini yang paling dibutuhkan untuk mengerek produktivitas. “Upaya lainnya, reformasi kebijakan yang akan terus dilakukan di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian untuk memperbaiki investasi karena itu akan meningkatkan inovasi dan kreativitas,” ujar Sri Mulyani.
Penyaluran dana desa yang sebesar Rp 60 trilyun tahun ini juga diharapkan bisa mendongkrak konsumsi masyarakat. Namun, Sri Mulyani menekankan, memaksimalkan dana desa bukan berarti menggunakan dana tersebut sampai habis. Pemerintah ingin agar pemerintah desa memanfaatkan dana tersebut untuk mendukung produktivitas desa sehingga dalam jangka menengah-panjang akan mendorong pendapatan masyarakat. “Kan kemarin concern-nya bagaimana uang itu habis saja. Tetapi sekarang fokus kepada dampaknya dan desain, sehingga betul-betul memberi hasil,” kata Sri Mulyani.
Sumber : gatra.com
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Ekonomi

Tinggalkan komentar