
Lenzing Group memilih Thailanf dibandingkan Indonesia karena menemui banyak hambatan
JAKARTA. Realisasi investasi asing ke Indonesia tidak sebesar komitmennya. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan tiap tahun rata-rata komitmen investasi di Indonesia yang terealisasi hanya sebesar 50%.
Masih rendahnya realisasi investasi tersebut, tenyata bersumber dari peraturan-peraturan yang ada di dalam negeri sendiri. Banyak kebijakan pemerintah yang dinilai malah menjadi batu sandungan penghambat investasi.
Salah satu komitmen investasi yang gagal terealisasikan adalah rencana Lenzing Group menanamkan investasinya di Indonesia. Produsen serat tekstil dari Austria ini batal ekspansi di Indonesia karena lebih memilih Thailand.
Kepastian batalnya realisasi investasi Lenzing Group diungkapkan oleh sumber KONTAN. Menurut sumber tersebut, di saat pemerintah sedang berusaha sekuat tenaga menarik investasi asing, namun di saat itu ada pihak-pihak di kementerian yang dinilai tidak bersahabat.
Seperti diketahui pada Maret 2017, Lenzing melalui anak perusahaannya di Indonesia yaitu PT South Pasific Viscose (SPV) berencana menambah kapasitas pabrik US$ 300 juta Kementerian Perindustrian mengatakan, SPV juga sudah memilih tiga lokasi pabrik baru, yakni dua lokasi di Jawa Barat dan juga satu tempat Jawa Tengah.
Namun nyatanya, Lenzing Group malah berlabuh di Thailand. Berdasarkan keterangan tertulis di situs perusahaan, Lenzing akan membangun pabrik serat lyocell berkapasitas 100.000 ton per tahun di Pranchinburi, Thailand. Mereka menargetkan pembangunan pabrik baru tersebut bisa terlaksana kuartal I-2018 dan beroperasi tahun 2020.
Deputi Koordinator Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal BKPM Azhar Lubis mengatakan, realisasi investasi tergantung banyak hal. Mulai kepastian hukum, kemudahan perizinan di pusat dan daerah, hingga fasilitas bagi investor. “Misalnya terkait bantuan pemerintah bagi perusahaan yang mengalami hambatan dalam merealisasikan investasi,” kata Azhar kepada KONTAN, Sabtu (19/8).
Faktor lainnya adalah tersedianya insentif investasi yang menarik dibanding negara tetangga, pasar dalam negeri, atau banyaknya perusahaan sejenis yang menjadi pesaing produk yang dihasilkan. Menurut Azhar, semuanya itu pada akhirnya akan berpengaruh ke iklim investasi.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengaku tidak begitu heran bila investor asing lebih memilih negara tetangga. Walau menurutnya iklim investasi di Indonesia semakin membaik dengan banyaknya hambatan yang sudah ditangani, namun “Masih kurang,” katanya.
Menurutnya masalah utama yang dihadapi industri adalah pasokan energi. Harga gas alam sebagai energi primer tidak kompetitif walaupun gas itu berasal dari perut bumi Indonesia. “Faktanya gas dijual jauh lebih mahal di dalam negeri daripada di ekspor ke negara pesaing. Ironis dan anomali,” jelas Ade.
Apalagi peringkat kemudahan berbisnis atau Ease of Doing Bussiness (EODB) Indonesia juga kalah dibandingkan negara lain. Jika pada tahun 2017, peringkat EODB Indonesia ada di angka 91, kalah jauh dibandingkan Thailand yang berada di peringkat 46.
Dari 10 indikator EODB yang dikeluarkan Bank Dunia itu, Thailand unggul jauh di delapan hal, yakni memulai bisnis, izin kontruksi, pasokan listrik, pendaftaran properti, perlindungan investor, perdagangan lintas negara hukum kontrak, dan penanganan insolvensi. Sedangkan Indonesia hanya unggul di dua hal, yakni perkreditan dan pembayaran pajak.
Paket lagi
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengakui iklim investasi Indonesia masih butuh perbaikan. Oleh karena itu pihaknya tengah mempersiapkan deregulasi investasi. “Kita sudah menyiapkan deregulasi investasi, itu akan berlaku ke semua negara, tunggu saja,” katanya.
Deregulasi diharapkan bisa mengurangi penghambat penanaman modal seperti perizinan berbelit, dokumen izin yang banyak, hingga masalah pasokan listrik dan persoalan pembebasan lahan. Deregulasi itu akan masuk paket kebijakan ekonomi ke-16.
Sedang menurut Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro, kunci meraih hati investor asing adalah peningkatan infrastrktur. Infrastruktur harus terus dikebut sebagai stimulus tumbuhnya industri.
Sumber: Harian Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Pemeriksaan Pajak
Tinggalkan komentar