Perasaan gembira menghinggapi semua kalangan pada HUT Kemerdekaan RI ke-72. Rakyat yang hidup pas-pasan dan yang miskin tetap bergembira ria menikmati atraksi tujuh belasan Agustus. Tarik tambang, panjat pinang, dan lomba makan kerupuk adalah pemandangan yang mudah dilihat di berbagai daerah.
Sejenak, rakyat yang hidup pas-pasan dan yang miskin melupakan nasibnya sehari-hari. Kini, setelah perayaan tujuh belasan Agustus berlalu, rakyat yang hidup pas-pasan dan yang miskin kembali ke kehidupan sehari-hari mereka. Kesulitan memenuhi kebutuhan pokok kembali dirasakan. Mereka adalah mayoritas bangsa ini.
Yang jelas, mereka yang dinyatakan penduduk miskin absolut mencapai 27,8 juta atau 10,6% dari total penduduk berdasarkan sur vei Badan Pusat Statistik (BPS), Maret 2017. Ditambah penduduk yang hidup sedikit berada di atas garis kemiskinan dan sekadar hidup pas-pasan, jumlah kelompok ini di atas 100 juta atau lebih dari 40% penduduk negeri ini. Mereka hanya menikmati 17% dari kue pembangunan.
Sekitar 40% kue kemajuan ekonomi Indonesia paling dinikmati oleh golongan menengah dan 20% golongan terkaya. Dalam pada itu, mereka yang hidup berkelebihan hanya kurang dari 5%. Jurang kaya-miskin di Indonesia sangat labar seperti terlihat pada rasio Gini yang mencapai 0,39%. Semakin jauh dari angka nol, semakin lebar tingkat kesenjangan sosial. Saat Jokowi dilantik menjadi presiden RI, 20 Oktober 2014, rasio Gini Indonesia di level 0,41.
Melebarnya tingkat kesen-jangan sosial Indonesia terjadi dengan sangat cepat selama tahun 2000-an. Pada tahun 2002, rasio Gini Indonesia di level 0,32. Sedangkan pada tahun 2010, rasio Gini sudah membengkak ke 0,38, dan tahun 2011 di level 0,41.
Kondisi ini menunjukkan, perkembangan ekonomi selama era reformasi kurang berpihak pada masyarakat menengah bawah. Tidak salah jika sejumlah ekonom pro-konstitusi menilai, kebijakan ekonomi Indonesia dikuasai kelompok neoli beral atau neolib. Mereka sukses menjadi menteri ekonomi yang ber wenang penuh dalam mengambil kebijakan fiskal dan keuangan. Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) selalu disebut-sebut dalam pidato dan makalah. Namun, kebijakan konkret penguasa fiskal, moneter, dan keuangan, tidak sepenuhnya berpihak pada mereka.
Perkembangan ini menunjukkan pula, biaya bailout bank-bank bermasalah –akibat kredit ke grup sendiri– yang ditanggung pemerintah tidak berdampak ke rakyat kecil, melainkan ke sejumlah pemilik kelompok usaha. Biaya rekapital-isasi perbankan yang semula direncanakan Rp 400 triliun membengkak hingga menembus Rp 1.300 triliun. Sebagian bank rekap jatuh ke tangan asing, namun tetap menerima dana segar bunga dan cicilan pokok obligasi rekap.
Kita mengapresiasi Pidato Kenegaraan Presiden Jokowi di harapan Sidang MPR RI, Rabu, 16 Agustus 2017. Berulang kali, kepala negara menegaskan dalam pidatonya tentang pentingnya pembangunan ekonomi yang berkeadilan guna mempererat persatuan bangsa dan memperkuat Indonesia dalam menghadapi persaingan global.
Ia mengimbau semua pihak untuk mendukung pembangunan ekonomi berkeadilan sesuai peran masing-masing. Presiden RI ke-7 itu pun berjanji untuk sungguh-sungguh mewujudkan keadilan sosial. Pemerataan ekonomi yang berkeadilan merupakan fokus pembangu-nan yang dilaksanakannya. Pada sila kelima Pancasila jelas disebutkan, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Keadilan sosial bukan hanya untuk segelintir orang, melainkan bagi seluruh rakyat, Sabang sampai Marauke, Sangir Talaud, hingga Rote. Kesenjangan
sosial yang sangat tinggi menunjukkan bahwa keadilan sosial dan pemerataan masih jauh dari kenyataan hingga Indonesia merayakan HUT kemerdekaan ke-72.
Selain kesenjangan sosial yang tinggi, pembangunan antar wilayah masih timpang. Kontribusi Jawa dan Sumatera terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional mencapai 80%. Presiden Jokowi sudah menunjukkan komitmen untuk mewujudkan pemerataan. Mulai tahun 2019, seluruh wilayah RI, termasuk Papua, menikmati satu harga BBM. Sejumlah produk yang dikendalikan pemerintah diupayakan agar harganya sama di seluruh wilayah Indonesia. Semen, misalnya, sedang diupayakan agar harga di Papua sama dengan di Jawa. Rakyat di pinggiran, kawasan perbatasan, pulau-pulau terdepan, dan kawasan terisolasi harus merasakan hadirnya negara.
Pemerintah tengah menggodok lima kebijakan ekonomi untuk mengatasi kesenjangan dan mewujudkan ekonomi berkeadilan. Kelima kebiakan itu diarah-kan untuk mendorong pembangunan infrastruktur, industri padat kar ya, industri berbasis rakyat, kegiatan UMKM, lahirnya pusat pendidikan dan pelatihan vokasi untuk mendukung industri, kerja sama dan sinergi industri besar dan kecil, serta pembangunan ekonomi dari pinggiran.
Pemerintah segera menerbitkan paket kebijakan ekonomi ke-16 untuk memberikan stimulus kepada dunia usaha. Agar komitmen Presiden bisa ter wujud, pemerintah disarankan, pertama, segera merumuskan grand design pembangunan ekonomi berkeadilan. Konsep besar ini dielaborasi dan disosialisasikan hingga pemerintah kabupaten dan kota sebagai pihak yang memegang anggaran negara dalam jumlah besar.
Kedua, menerbitkan kebijakan untuk setiap sektor dengan sasaran yang jelas. Hubungan kerja sama antara usaha besar dan UKM perlu diatur dengan jelas. Ketiga, dipastikan setiap menteri tidak menerbitkan kebijakan yang saling bertentangan. Begitu pula kebijakan pemerintah daerah. Dipastikan, tidak ada perda bermasalah, perda yang tidak pro-bisnis.
Keempat, pentingnya konsistensi kebijakan. Kebijakan demi kebijakan harus konsisten. Kelima, pemerintah perlu mengelolafiskal secara lebih baik. Rendahnya penyerapan anggaran menunjukkan ada salah urus yang serius. Hingga akhir Agustus 2017, dana transfer ke daerah yang masih menganggur di bank milik pemda (bank pembangunan daerah/BPD) sekitar Rp 340 triliun. Masalah fiskal di Indonesia bukan tidak ada uang, melainkan ketidakmampuan pemerintah memakainya. Tidak heran jika dalam tiga kuartal terakhir, pertumbuhan konsumsi pemerintah di PDB negatif.
Dalam kondisi ekonomi lesu, pemerintah tidak layak menguber-uber pajak. Agar target penerimaan pajak tidak terus-menerus dinaikkan dalam jumlah besar, belanja APBN cukup sedikit di atas laju pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2018, penerimaan negara pada RAPBN dinaikkan hingga lebih dari 15%. Dana APBN harus dibelanjakan tepat sasaran dan bebas dari korupsi dan kebocoran.
Keenam, memacu laju pertumbuhan ekonomi hingga di atas 7%, antara lain dengan membangun industri dan jasa. Indonesia masih memiliki cukup kapasitas untuk mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi hanya 5% seperti dalam tiga setengah tahun belakangan ini, pemerataan sulit ter wujud.
Ketujuh, perlu dukungan kebijakan moneter dan keuangan. Ketika laju inflasi rendah, suku bunga perlu diturunkan. Bank Indonesia diharapkan menurunkan indikator suku bunga agar perbankan memberikan suku bunga lebih rendah. Sedang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diharapkan memberlakukan kebijakan yang membantu UKM. Pembangunan berkeadilan tidak cukup hanya dipidatokan dan diseminarkan, melainkan diwujudnyatakan.
Sumber : beritasatu.com
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Ekonomi

Tinggalkan komentar