
Pengusaha mebel meminta pemerintah untuk tetap mempertahankan larangan ekspor bahan baku rotan. Jika ekspor dibuka, pengusaha mebel takut industri rotan dalam negeri mati karena kesulitan mendapatkan bahan baku. Penyelundupan rotan disinyalir bakal marak jika ekspor bahan baku dibuka.
Ketua Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Soenoto menyatakan, saat ini bahan baku rotan sangat sulit didapatkan. “Dari sekitar 40-60 ribu ton kebutuhan bahan baku rotan di dalam negeri, saat ini yang tersedia hanya 30 persennya saja,” ujarnya di Jakarta, kemarin.
Ia memperkirakan, 70 persennya hilang dan diekspor secara ilegal ke negara lain. “Ini langka karena ekspor ilegal, karena tidak mungkin dulu mudah mendapatkan rotan, kok tiba-tiba hilang,” katanya.
Ia mengungkapkan, sejak 5 tahun terakhir Singapura tercatat sebagai eksportir nomor satu untuk bahan baku rotan. Padahal, negara tersebut tidak memiliki wilayah hutan yang mampu memproduksi bahan baku rotan.
“Kita memiliki banyak jalan tikus untuk ekspor ilegal seperti Entikong, yang paling besar jalan tikus ke Singapura. Mereka nggak punya hutan kok bisa ekspor rotan, kecuali kalau rakyat Singapura disuruh menanam rotan semua,” kata Soenoto.
Oleh sebab itu, HIMKI meminta pemerintah untuk melakukan investigasi terhadap kelangkaan bahan baku rotan. Sebab jika tidak, industri kerajinan dalam negeri akan semakin sulit untuk terus berproduksi.
“Kami meminta pemerintah untuk melakukan investigasi mencari penyebab. Kami minta dengarkan suara kami, yang merupakan orang-orang yang bergerak di hilir, yang ciptakan added value,” tandas dia.
Wakil Ketua Umum HIMKI Abdul Sobur menilai, rotan yang diekspor Singapura merupakan rotan ilegal yang berasal dari Indonesia. “Artinya, ketika kebijakan larangan ekspor rotan bahan baku diberlakukan, penyelundupan rotan terus terjadi,” Kata Sobur.
Menurutnya, industri mebel dan kerajinan membutuhkan jaminan pasokan bahan baku dalam jangka panjang dan lestari. Untuk itu, HIMKI tetap mendukung diberlakukannya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 35/M-DAG/PER/11/2011 tentang ketentuan ekspor rotan, di mana di dalamnya mengatur adanya larangan ekspor rotan dalam bentuk rotan mentah dan rotan setengah jadi.
“Mengingat industri mebel dan kerajinan rotan dalam negeri sangat membutuhkan bahan baku untuk semua jenis rotan,” terangnya.
Menurutnya, dengan diterbitkannya Permendag No 35 industri mebel dan kerajinan rotan dalam negeri bergairah kembali, yang sebelumnya mengalami kelesuan. Hal ini terlihat dari perkembangan ekspor prduk rotan olahan yang sangat signifikan setelah diterbitkannya kebijakan larangan ekspor bahan baku rotan.
“Berkenaan hal tersebut, HIMKI akan selalu mengingatkan pemerintah agar kebijakan yang melarang semua ekspor dalam bentuk bahan baku termasuk rotan tetap dipertahankan, sehingga industri dalam negeri dapat berkembang dan terlindunsi,” tutur Sobur.
Ia menambahkan, Indonesia adalah negara penghasil bahan baku rotan terbesar di dunia. Sekitar 85 persen bahan baku rotan dihasilkan oleh Indonesia, sisanya dihasilkan oleh negara lain.
“Dengan demikian, kita memiliki domination value yang sangat luar biasa sebagai pelopor industri barang jadi rotan yang seharusnya berkembang menjadi negara penghasil produk barang jadi rotan terbesar dan terbaik di dunia,” ungkapnya.
Ia mengungkapkan, ada tiga kegagalan dalam kebijakan membuka keran ekspor bahan baku rotan yang diberlakukan pada tahun 2005. Pertama, gagal mendatangkan devisa karena pasar furniture rotan telah direbut negara lain. Kedua, gagal dalam menjaring pajak ekspor karena lebih banyak yang bocor melalui aksi penyelundupan.
“Ketiga, gagal melindungi para petani pemetik rotan karena harga rotan yang diterima mereka sangat rendah. Selama ini petani pemetik rotan hanya jadi dagangan dari para eksportir bahan baku rotan, padahal nasib mereka selama kran ekspor dibuka tidak pernah baik. Harga di tingkat petani pun terbukti semakin menurun,” tukasnya.
Sumber : rmol.co
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Ekonomi
Tinggalkan komentar