Laporan Pajak “Digelapkan”

Wajib pajak (WP) dari kaum kaya disebut dominan jadi pengemplang. Meski jumlahnya belum riil, pengalaman Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Wilayah Kaltim-Kaltara (Kaltimra) telah membuktikannya. Sejumlah modus dilakukan.

“Namanya pajak itu self assessment. Jadi yang tahu berapa nilai kekayaan dan pendapatan WP ya WP itu sendiri. Setelah itu masuk ke tugas kami melakukan verifikasi. Benar tidak nominal pajak yang dibayarkan. Ini perlu penelusuran dari segala sisi,” terang Kepala Kantor Wilayah DJP Kaltimra Samon Jaya kemarin (12/10).

Proses awal ada dari laporan masyarakat. Juga penyidikan oleh petugas pajak. Aset dan rupiah rekening jadi patokan. Jika petugas melihat ketidakwajaran, proses klarifikasi dilakukan. Samon menyebut, aset dan rekening ini yang mudah dimanipulasi. Sengaja agar WP tidak bayar pajak. Kalaupun bayar jumlahnya tidak menjadi beban.

“Di era keterbukaan informasi publik saat ini. Memudahkan kami melakukan hal yang sebelumnya sulit. Kerja sama dengan segala lini, instansi, swasta, maupun pemerintah berjalan baik. Baik online maupun tidak, informasi sekarang lebih mudah diperoleh. Apalagi dengan adanya laporan masyarakat,” ucapnya.

Tiga modus populer digunakan. Pertama, memecah harta. Caranya membeli aset namun menggunakan orang lain. Kesalahan terbesar yang dilakukan WP untuk menghindari pajak adalah menggunakan nama anggota keluarga. Ini karena keluarga lebih dipercaya memegang aset. Tanpa khawatir diselewengkan.

“Untuk aset. Ada WP yang membeli, misal, tanah atau kendaraan seperti mobil mewah. Harusnya mereka bayar pajaknya. Namun karena enggan, mereka menggunakan nama orang lain. Kebanyakan keluarga mereka sendiri. Nah, di sini kesalahan mereka. Kami sekarang juga pegang KK (kartu keluarga),” ujar Samon.

Dia mengingatkan, pemecahan harta dengan sengaja untuk menghindari pajak adalah kejahatan melibatkan orang lain. Itu artinya, WP bersangkutan bisa menyeret orang lain. Dalam hal ini, keluarganya sendiri. Misal, ada WP yang membeli tanah atau mobil namun atas nama anak yang belum cukup umur.

“Kami lihat kok anak di bawah usia sudah punya tanah, mobil, dan jumlah uang yang besar di rekeningnya. Ternyata yang beli bapaknya. Ya bapaknya kami minta klarifikasi. Selama antara pendapatan dan pembelian aset yang dilaporkan sesuai dengan pembayaran pajak, kami tidak mempermasalahkan,” beber Samon.

Kedua, modus mengecilkan pendapatan. Dengan menyembunyikan bukti setiap transaksi yang mendatangkan pendapatan. Dengan harapan mampu mengecoh petugas pajak. Mengurangi jumlah pajak yang disetor. Menambah keuntungan usaha WP.

“Jadi omzet yang dilaporkan ratusan juta rupiah. Tetapi setelah kami hitung ternyata miliaran rupiah. Sejumlah perusahaan kami temukan seperti ini. Awalnya mereka laporan labanya kecil. Ternyata terkuak labanya besar,” lanjutnya.

Selain mengecilkan keuntungan. Yang ketiga adalah memperbesar biaya-biaya pengeluaran. Dengan begitu, laba yang diperoleh menurun. Rumus laba dikurangi biaya menghasilkan pendapatan bersih dimanfaatkan. “Jadi, banyak memasukkan biaya-biaya usaha untuk memperkecil pendapatan bersih. Namun, kami akan lihat tingkat kewajarannya,” katanya.

Yang terbaru, WP menyembunyikan identitasnya dan alamat. Kata Samon, praktik ini banyak ditemukan pihaknya baru-baru ini. Bahkan, salah satunya memiliki transaksi pembelian sebuah aset yang nominalnya mencapai Rp 30 miliar, tapi tidak pernah dilaporkan.

“Banyak yang seperti ini. Mereka menyembunyikan identitas dan alamat. Namun usaha kami dalam memperluas basis pajak, mengumpulkan data dan informasi berhasil. Pembelian aset dengan jumlah fantastis tentu meninggalkan jejak,” sebutnya.

Dari sekian modus, WP ada yang menggunakan jasa konsultan pajak. DJP mengingatkan, konsultan pajak bukan profesi yang bisa digunakan untuk menghindari atau mengurangi pajak. Namun, hal ini kadang dimanfaatkan oleh WP.

“Konsultan pajak adalah profesi yang diakui negara dan DJP. Fungsinya sebagai jembatan agar hak dan kewajiban WP bisa dijalankan dengan benar, jelas, dan lengkap. Konsultan pajak harus terdafar, dapat register dan terlisensi DJP. Grade A, B, dan C. Untuk C bisa go international, B biasanya digunakan perusahaan dalam negeri, dan A untuk pribadi. Saat ini ada 16 konsultan pajak terdaftar di DJP Kaltimra,” jelasnya.

Dengan peran tersebut, konsultan pajak sebenarnya membantu negara dalam mengumpulkan pajak. Namun yang harus diperhatikan adalah hubungan antara WP dan konsultan. Segala sesuatu yang direncanakan, baik dari WP maupun konsultan, semua akan kembali ke WP.

“WP berharap menggunakan konsultan dengan rencana mengurangi pajak. Aman mungkin di depan saja. Tetapi bakal kami temukan juga. WP yang akan terkena imbasnya. Konsultan kan sifatnya membantu WP. Jadi pilih konsultan yang kredibel,” ucapnya.

TIDAK AKAN DIADVOKASI

Terkait perilaku usahawan, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kaltim Slamet Brotosiswoyo mengakui, pengusaha dengan usaha besar kerap menggunakan konsultan pajak. Termasuk konsultan eksternal. Upaya untuk memanipulasi pajak disebutnya tidak bisa dihindari karena menyangkut target laba.

“Biasanya dalam perusahaan itu ada target laba. Ternyata, target tersebut lepas. Nah, untuk mencapai target itu, salah satunya memperkecil pembayaran pajak. Tentu ini salah. Kami tidak akan advokasi yang seperti ini. Itu salah,” katanya.

Slamet juga menyebut, pemecahan aset perusahaan juga dilakukan. Dengan menggunakan perusahaan atas nama saudara atau keluarga, itu menurutnya juga salah. Tinggal bagaimana petugas pajak yang mampu menegakkan aturan jika ditemukan pelanggaran.

“Kalau pengusaha kelas atas itu semua sudah paham pajak. Bahkan dalam perusahaannya ada divisi tersendiri yang mengurus pajak. Kecuali pengusaha baru, kemungkinan belum paham soal pajak. Ada aturan main. Kalaupun menggunakan konsultan, jangan sampai merugikan WP,” sarannya.

Kemudahan membayar pajak diakuinya semakin mudah. Jadi tidak ada alasan bagi rekan sesama pengusaha untuk mengatakan sulit membayar. Kalaupun kesulitan dan tidak paham, pengusaha bisa mengajak DJP untuk konsultasi. “Sekarang DJP lebih terbuka. Kami ajak duduk di warung kopi mereka bersedia membantu konsultasi. Beda dengan sebelumnya yang tampak tertutup,” pungkas dia.

Sebelumnya, kepatuhan WP membayar pajak masih rendah. Itu tergambar dari data yang dikeluarkan DJP Wilayah Kaltim-Kaltara (Kaltimra). Dua tahun penerimaan pajak selalu lepas target. Serapan pajak pada 2015 hanya Rp 17,2 triliun setara 73,76 persen dari target Rp 23,4 triliun. Tahun lalu, hanya Rp 13 triliun dari target Rp 23,9 triliun.

Sedangkan tahun ini kembali terancam lepas target. Dari Januari hingga 10 Oktober, DJP Kaltimra baru mampu memungut pajak sebesar Rp 11,36 triliun. Jumlah itu sekitar 53,6 persen dari target tahun ini sebesar Rp 21,18 triliun.

Dari tiga jenis WP, karyawan, badan usaha, dan usahawan, pihaknya paling menyoroti perilaku usahawan. Karena selama ini pajak berdasarkan self assessment, maka bisa saja, WP tidak melaporkan jumlah kekayaan atau setiap transaksi keuangan yang dilakukannya.

Kepala Kantor DJP Kaltimra, Samon Jaya mengakui, kondisi ini muncul karena banyak faktor. Pertama adalah kesadaran bayar pajak WP tersebut masih rendah. Diperparah dengan masuknya pihak ketiga yang memengaruhi penanggung pajak untuk membayar. Kedua adalah melemahnya sektor swasta di Kaltim. Kemudian, karena penurunan belanja pemerintah di setiap daerah.

Sumber : kaltim.prokal.co

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com

 



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar