Ekspos Pengemplang Pajak

Psikologi jadi faktor utama kesadaran membayar pajak. Setelah itu, faktor hukum. Kemudian sanksi sosial. Namun, pemerintah tidak pernah menyentuh aspek sanksi sosial. Identitas para pengemplang pajak masih disembunyikan. Pemerintah melalui Direktorat Jendral Pajak (DJP) masih sungkan.

“Tidak ada sanksi sosial yang diberikan. Padahal itu bisa jadi contoh. Harus ada shock therapy bagi pengemplang pajak. Jadi, contoh agar yang lain sadar. Sama seperti koruptor. Perlu diekspos secara luas kepada publik. Namun, sebelumnya membuat regulasinya dulu,” sebut pengamat ekonomi Kaltim Aji Sofyan Effendi, kemarin (13/10).

Secara psikologis, target pajak rendah karena memang kesadaran wajib pajak (WP) rendah. Upaya persuasif yang dilakukan DJP tidak akan maksimal. Meski bayar pajak, upaya untuk memanipulasi besaran pajak akan terus dilakukan WP. Pengemplang pajak tahu yang dilakukan itu hal memalukan. Tetapi tidak akan membuat mereka lantas malu, lantaran tak ada sanksi sosial.

“Ini sanksi pidana saja tidak ada yang dianggap mampu membuat mereka sadar. Sanksi sosial juga tidak ada. Padahal perlu. Selama ini hanya pada imbauan secara moral kepada mereka. Ya tidak akan bisa. Perlu ada peradilan secara terbuka. Ini yang dilakukan di negara maju. Karena mampu membuat kredibilitas mereka turun di mata masyarakat. Pelajaran bagi yang lain,” papar dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman itu.

Jika sanksi sosial dianggap belum mampu menyadarkan, pemerintah atau DJP harus membentuk sebuah sistem. Seperti penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) yang dipungut oleh penjual kepada konsumen. Secara langsung harus terekam dalam sistem perpajakan sehingga mengurangi kemungkinan manipulasi.

“Memang itu yang dilakukan. Tetapi sejauh mana pengawasannya bisa berjalan. Dengan SDM (sumber daya manusia) yang ada, apakah mampu memonitor semua. Memang bisa tetapi perlu waktu dan memeriksanya satu-satu. Nah, buat sebuah sistem yang bisa otomatis mampu meng-update berapa penghasilan dan pajak dari sebuah usaha,” ucapnya.

Ini pula, menurut dia, yang bisa mengurangi risiko penggelapan pajak yang dilakukan usahawan nakal. Karena bukan rahasia lagi, sejumlah WP dari pengusaha kelas kakap yang membuat dua pembukuan berbeda laporan keuangan mereka kepada DJP. Biasanya, usahawan akan menyerahkan laporan yang memungkinkan mereka untuk membayar pajak lebih rendah.

“Apakah dengan sistem dan SDM saat ini petugas pajak mampu untuk identifikasi laporan itu palsu atau tidak. Sekali lagi bisa ditemukan indikasi, tetapi perlu proses panjang. Apalagi yang disayangkan jika dilakukan oleh konsultan pajak atas permintaan wajib pajak. Kalau itu terjadi bisa jadi pelacuran profesi. Saya berharap, hal tersebut tidak ada,” ucapnya.

Sofyan melihat masih ada segudang pekerjaan yang harus diselesaikan. Mulai membangun psikologi sosial kesadaran bayar pajak. Membangun sistem yang mengunci kemungkinan manipulasi pajak. Hingga menyusun sanksi sosial dan hukuman yang bisa menyadarkan masyarakat pentingnya bayar pajak.

“Tetapi selama posisi pajak masih top down. Mengharapkan kesadaran masyarakat. Tidak akan bisa. Secara target, pajak tidak akan pernah bisa tercapai 100 persen. Apalagi dengan kondisi ekonomi Kaltim yang masih merosot. Maka pengaruhnya besar bagi pendapatan pajak,” katanya.

Sebelumnya, kepatuhan WP membayar pajak masih rendah. Itu tergambar dari data yang dikeluarkan DJP Wilayah Kaltim-Kaltara (Kaltimra). Dua tahun penerimaan pajak selalu lepas target. Serapan pajak pada 2015 hanya Rp 17,2 triliun setara 73,76 persen dari target Rp 23,4 triliun. Tahun lalu, hanya Rp 13 triliun dari target Rp 23,9 triliun.

Sedangkan tahun ini kembali terancam lepas target. Dari Januari hingga 10 Oktober, DJP Kaltimra baru mampu memungut pajak sebesar Rp 11,36 triliun. Jumlah itu sekitar 53,6 persen dari target tahun ini sebesar Rp 21,18 triliun.

Dari tiga jenis WP, karyawan, badan usaha, dan usahawan, Kepala Kantor DJP Kaltimra Samon Jaya mengatakan, pihaknya paling menyoroti perilaku usahawan. Karena selama ini pajak berdasarkan self assessment, maka bisa saja, WP tidak melaporkan jumlah kekayaan atau setiap transaksi keuangan yang dilakukannya.

Samon mengakui, kondisi ini muncul karena banyak faktor. Pertama adalah kesadaran bayar pajak WP tersebut masih rendah. Diperparah dengan masuknya pihak ketiga yang memengaruhi penanggung pajak untuk membayar. Kedua adalah melemahnya sektor swasta di Kaltim. Kemudian, karena penurunan belanja pemerintah di setiap daerah.

Sumber : prokal.co

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com

 



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar