Mendesain Pajak e-Commerce

Kondisi keuangan negara sedang dalam status darurat. Sampai akhir September 2017, penerimaan pajak baru mencapai Rp 770,7 triliun (atau 60%) dari target yang dicanangkan APBN-P 2017 sebesar Rp 1.283,6 triliun. Tenggat tiga bulan tersisa untuk mengejar target sesuai yang diharapkan bukanlah pekerjaan mudah.

Menggenjot pajak lewat upaya ekstra (extra effort) dihadapkan pada kelesuan perekonomian nasional. Pertumbuhan ekonomi yang stagnan di angka 5% dalam tiga tahun terakhir seolah menjadi bukti yang valid.

Mengandalkan penerimaan rutin secara alamiah hanya menambah penerimaan pajak sekitar 10%. Telaah secara sektoral menawarkan kesimpulan yang sama. Sumber terbesar penerimaan pajak, yakni sektor manufaktur, tengah melambat.

Sektor manufaktur tumbuh 3,54% pada kuartal II 2017 yang lebih lambat daripada pertumbuhan kuartal sebelumnya, 4,24%. Intinya, industri manufaktur berskala besar sudah kepayahan.

Berangkat dari kenyataan ini, Direktorat Jenderal Pajak dituntut lebih kreatif dalam mencari sumber lain guna mengejar target penerimaan pajak. Sektor yang tengah dibidik adalah perdagangan dan jasa modern, khususnya bisnis elektronik atau e-commerce. Aturan pajak ecommerce sudah disiapkan dan akan dikeluarkan dalam waktu dekat.

Pengenaan pajak e-commerce sejatinya merupakan sebuah keniscayaan. Faktanya, ada transaksi antara penjual dan pembeli layaknya bisnis ‘manual’ (off line). Artinya, ada objek pajak berupa nilai tambah yang dihasilkan atas barang/jasa yang diperjualbelikan.

Konsekuensinya, pajak per tambahan nilai (PPN) harus dipungut. Objek pajak lain di luar PPN juga eksis. Penjual mendapatkan keuntungan atas transaksi e-commerce. Jelasnya, ada tambahan kemampuan ekonomi yang diturunkan dari transaksi bisnis elektronik tersebut. Sebagai konsekuensinya, pajak penghasilan (PPh) mutlak harus dikenakan.

Besaran potensi pajak e-commerce cukup menantang. Saat ini transaksi e-commerce telah mencapai Rp 394triliun. Dengan tarif PPN 10% saja, ada potensi penerimaan negara senilai Rp 39 triliun. Selain itu, denganasumsi pendapatan pelapak bisa ditarik 1% saja, ada potensi tambahan penerimaan Rp 3,9 triliun lebih.

 Kendati secara yuridis telah memenuhi persyaratan material, pengenaan pajak e-commerce memerlukanpengkajian yang mendalam. Industri ini sedang dalam fase pertumbuhan. Sektor e-commerce mampu meredam penurunan daya beli lantaran konsumsi masyarakat bergeser dari model pembelian di toko manual menuju ke toko digital.

 Perlakuan pajak e-commerce yang gegabah sangat boleh jadi akan mematikan jiwa kewirausahaan. Harapdiingat pula bahwa bisnis di dunia digital adalah tipikal perwujudan dari pendidikan kewirausahaan yang sudah menjadi kurikulum nasional di jenjang sekolah menengah dan perguruan tinggi.

Wirausaha juga diklaim sebagai jalan keluar (exit strategy) agar bisa segera lepas dari jebakan Negara berpendapatan menengah (middle income trap). Upaya ke arah itu akan terakselerasi apabila suatu perekonomian memiliki jumlah wirausahawan setidaknya 2% dari jumlah penduduk.

Dalam perspektif teoretis, Adam Smith (1776) menekankan empat prinsip pengenaan pajak. Prinsip keadilan mensyaratkan pajak dikenakan sesuai dengan tingkat penghasilannya (keadilan horizontal).

Sementara, pembayar pajak dengan kemampuan lebih besar harus menanggung beban pajak yang lebih besar pula (keadilan vertikal). Dengan kaidah ini, pemerintah perlu mengidentifikasi dan mengklasifikasi model bisnis serta skala bisnis yang ada. Dengan pemetaan tersebut, pelaku bisnis rintisan (star t-up) seyogianya mendapat perlakuan berbeda (bisa berupa insentif) agar dapat terus berkembang supaya tercapai azas keadilan.

Lebih lanjut, mekanisme pemungutan pajak juga perlu membedakan pelaku e-commerce yang memiliki aplikasi sendiri dan yang menumpang pada marketplace, seperti Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee. Pada saat yang sama, mereka juga berjualan melalui kanal media sosial, seperti Facebook, Instagram, dan Twitter.

Bila pungutan pajak hanya diterapkan pada kanal marketplace, para pelapak hampir pasti akan keluar dari kanal itu dan lebih mengaktifkan jualannya pada kanal-kanal di media sosial. Akibatnya, para pengelola marketplace akan kehilangan secara signifikan pendapatan dari komisi yang diperoleh dari para pelapaknya.

Problematika di atas berimplikasi luas pada mekanisme pemungutannya. Regulasi e-commerce diharapkan bisa dengan tegas, jelas, dan terkandung aspek kepastian hukum. Prinsip kepastian ini akan menjamin self assessment berjalan efektif sehingga wajib pajak tidak terbebani dalam pembayaran pajak (prinsip kenyamanan).

Lebih lanjut, apabila prinsip keadilan, kepastian, dan kenyamanan terpenuhi maka sektor e-commerce ini akan optimal berkontribusi bagi penerimaan negara (prinsip ekonomi). Arti luasnya, manfaat yang diperoleh jauh lebih besar daripada ongkos yang harus ditanggung dari pemungutan pajak e-commerce.

Bagi konsumen, perlakuan pajak yang adil juga positif. Persaingan tidak lagi berkutat di ranah harga (lantaran tarif pajaknya adil), tetapi akan merambah pada kualitas pelayanannya. Dari sini, pelaku e-commerce akan berinovasi untuk senantiasa memuaskan pelanggan agar tidak berpindah ke layanan para pesaingnya.

Bagi pemerintah, pengenaan pajak e-commerce menjadi proses pembelajaran yang baik. Idealnya, infrastruktur regulasi pajak ditetapkan lebih dulu alih-alih dibuat setelah perkembangan sudah pesat. Penerimaan negara adalah penting, tetapi keberlangsungan usaha ecommerce dalam jangka panjang jauh lebih penting.

Sejalan dengan proses transformasi, struktur perekonomian terus bergeser dari sektor primer, sekunder, dan tersier. Alhasil, revisi Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan hendaknya menjadi momentum agar Direktorat Jenderal Pajak lebih antisipatif dalam menghadapi perkembangan tersebut.

Sumber : beritasatu.com

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com

 



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar