Industri Tembakau Di Ujung Tanduk

Industri Tembakau Di Ujung Tanduk

Pemerintah diminta mengkaji kembali kebijakan kenaikan cukai rokok sebesar 10 persen. Sebab, saat ini industri tembakau sedang lesu. Industri tembakau pun di ujung tanduk.

Headof Fiscal Affairs & Com­munications PT HM Sampoerna Tbk Elvira Lianita berharap, pemerintah dapat mengambil kebijakan fiskal dan regulasi untuk industri rokok yang tepat. Ini mengingat kondisi industri tembakau nasional yang selama beberapa tahun terakhir menga­lami stagnasi.

“Bahkan mengalami penu­runan pada 2016 dan 2017,” ujarnya di Jakarta, kemarin.

Karena itu, setiap kebijakan yang diambil sebaiknya mem­pertimbangkan aspek tenaga kerja dan kelangsungan industri. Industri hasil tembakau nasional memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja yang signifikan, baik di pabrikan, pertanian tembakau dan cengkeh, maupun rantai perdagangan rokok.

Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gaprindo) Ismanu Sumiran pesimistis, target pen­erimaan cukai tembakau harian akan tercapai jika pemerintah menaikkan cukai tahun depan. Saat ini saja penerimaan cukai tembakau baru Rp 77,89 triliun atau 52,7 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Be­lanja Negara Perubahan 2017 Rp 147,54 triliun.

“Dengan produksi rokok yang turun, seharusnya cukai rokok tidak naik,” ujarnya.

Produksi rokok berdasarkan CK-1 atau pemesanan pita cu­kai sampai dengan September tahun ini, baru mencapai 237 miliar batang, dari target 342 miliar batang. Artinya baru 69,29 persen.

Karena itu, rencana kenaikan cukai rokok yang mencapai 10,04 persen tahun depan, akan memberatkan industri hasil tembakau. Alasannya, di tahun 2017 ini industri rokok masih belum pulih.

Menurutnya, kenaikan cukai pada tiga tahun terakhir, juga membuat produksi rokok turun sekitar 1 persen. Hal itu, menun­jukkan bahwa tarif cukai sudah di atas angka kemampuan daya beli masyarakat.

Bahkan, saat ini jumlah indus­tri rokok mengalami penurunan yang signifikan dalam delapan tahun terakhir. Sebelumnya jumlah pabrik rokok mencapai 5.000 pabrik. Kini yang tersisa hanya tinggal 150 industri.

“Dari 2009 ke 2016, jumlah industri turun 81,6 persen. Dari 4.900-an, sisa 600 yang ber­izin, dan hanya 100-150 yang produksi aktif, kadang beli pita cukai kadang tidak. Turunnya industri ini bagian dari antikli­maks,” kata Ismanu.

Turunnya jumlah industri ini, lanjut Ismanu, juga berdampak pada efisiensi tenaga kerja. Setidaknya dari 6 juta pekerja langsung di industri rokok, kini hanya tinggal 200 ribu yang tercatat aktif bekerja di industri rokok.

“Tapi kami ingin ini (pekerja) dipertahankan, jam kerja kita kurangi, tidak langsung PHK. Awalnya memang terjadi ke­melut, banyak yang hadapi kesulitan,” tandas dia.

Masih Kecil

Peneliti dari Lembaga De­mografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Abdillah Ahsa mengatakan, kenaikan cukai rokok sebesar 10,04 persen yang akan ber­laku mulai 2018 mendatang dianggap tak cukup kuat untuk mengendalikan konsumsi rokok di Indonesia. Alasannya, harga jual rokok tidak otomatis naik dengan besaran yang sama.

Terlebih, untuk rokok yang diproduksi produsen besar. Se­bab, mereka mampu mem­berikan subsidi harga demi mendorong agar konsumsi rokok tetap tinggi. Ia memperkirakan, kenaikan tarif cukai jika diterje­mahkan hanya akan sebesar Rp 8-50 per batang rokok. Artinya, kenaikan tersebut tidak akan mampu mencapai tujuan yang diinginkan. “Kalau hanya naik segitu, apakah konsumsi akan menurun? Kan tidak,” ujarnya.

Abdillah memandang, pe­merintah harus menegaskan fungsi cukai sebagai pen­gendali konsumsi rokok den­gan menaikkan tarif setinggi mungkin. Memang,sebagai konsekuensinya pendapatan negara bisa menurun. Namun, di sisi lain, BPJS akan semakin kuat karena saat ini penyakit yang disebabkan oleh rokok menyumbang kontribusi seban­yak 40 persen.

Sumber : rmol.co

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com

 



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar