Dilema Pajak

Pemerintah akan kembali mengalami kekurangan penerimaan pajak (shortfall) pada tahun ini. Hingga 30 September 2017, penerimaan pajak baru mencapai Rp 770,7 triliun atau 60% dari target pemerintah dalam APBN-P 2017 sebesar Rp 1.238,6 triliun. Angka itu turun 2,79% dibandingkan dengan periode sama tahun lalu. Jajaran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) harus kerja keras mengejar kekurangan setoran pajak hingga akhir tahun.

Sejumlah kalangan memperkirakan penerimaan pajak tahun ini hanya akan mencapai 92% dari target APBNP 2017. Rendahnya penerimaan pajak menyebabkan rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio Indonesia hanya mencapai 10,3%. Angka itu lebih rendah dari rata-rata dunia yang sebesar 15%. Tax ratio Indonesia juga kalah dari negara-negara tetangga seperti Filipina, Singapura, Thailand, dan Malaysia.

Pemerintah menargetkan tax ratio meningkat pada tahun depan menjadi 11-12%. Peningkatan tax ratiobisa dilakukan dengan meningkatkan kepatuhan wajib pajak (WP). Jumlah wajib pajak (WP) terdaftar saat ini mencapai 36.031.972. Jika dirinci berdasarkan kategori wajib pajak, sebanyak 247.215 adalah WP badan, 797.443 WP orang pribadi non karyawan, dan 8.744.740 WP orang pribadi karyawan. Selama ini WP badan sebagai pemberi kontribusi terbesar dalam pajak penghasilan (PPh). Dari PPh badan itu lebih banyak korporasi, bukan usaha kecil menengah (UKM).

Sementara itu, dalam pelaksanaan program pengampunan pajak atau tax amnesty (TA ), Direktorat Jenderal Pajak mencatat ada 48.000 wajib pajak yang selama ini tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Kita mendukung upaya pemerintah menggenjot penerimaan pajak. Apalagi saat ini pajak masih menjadi sumber terbesar penerimaan negara.

Peningkatan pemerimaan pajak diperlukan untuk menciptakan ruang fiskal yang cukup untuk pembangunan. Namun demikian, pemerintah juga harus realistis jika kenaikan penerimaan pajak tidak bisa diwujudkan dalam waktu singkat. Lonjakan penerimaan pajak dalam jangka pendek akan menimbulkan distorsi dalam perekonomian yang dampaknya cukup banyak.

Upaya pemerintah menggenjot penerimaan pajak di antaranya dengan mengeluarkan sejumlah peraturan. Contohnya adalah Peraturan Pemerintah  Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup yang diteken Presiden Jokowi pekan lalu. Dana tersebut di antaranya diambil dari pajak dan retribusi daerah, serta pembiayaan dari perusahaan.

Kalangan pengusaha menganggap rezim perpajakan saat ini cukup mencemaskan. Alasannya, sejumlah aturan pajak langsung diterapkan tanpa dikomunikasikan terlebih dahulu kepada para pelaku ekonomi. Selain itu, banyak pengusaha yang sudah mengikuti program tax amnesty dan sudah mendapat surat keterangan lunas (SKL) tetap diperiksa aparat pajak.

Pengejaran para petugas pajak kepada pelaku usaha mulai dari hal-hal teknis hingga melihat data-data perusahaan untuk mencari potensi pajak. Pengusaha yang sudah mengikuti program tax amnesty tahun lalu, tapi kemudian diperiksa lagi. Hal itu mencemaskan karena menimbulkan ketidakpastian bagi pengusaha yang sudah taat kepada aturan pajak.

Sebelum mengeluarkan aturan perpajakan, pemerintah juga sebaiknya melihat kondisi di lapangan. Perekonomian Indonesia yang sedang mengalami slowdown mesti jadi bahan pertimbanganDalam kondisi ekonomi lesu, seharusnya pemerintah memberi insentif fiskal agar pelaku usaha kembali bergairah dan daya beli masyarakat meningkat, bukan membebani dengan pajak-pajak baru.

Penurunan daya beli masyarakat telah memukul sektor ritel. Banyak usaha ritel yang tutup karena sepinya pembeli. Banyak sektor industri yang sangat membutuhkan insentif fiskal, terutama industri padat karya. Pemerintah mesti mempertimbangkan penurunan tariff pajak kepada sektor industri untuk mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Pertumbuhan sector industri yang di bawah pertumbuhan PDB nasional perlu didorong agar mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak lagi. Bertambahnya jumlah pekerja otomatis akan mendorong daya beli masyarakat.

Di sisi lain, wacana kebijakan perpajakan pemerintah seringkali disampaikan prematur dan belum jelas konsepnya, namun seringkali sudah disampaikan melalui media massa. Contohnya tentang rencana pengaturan pajak perdagangan secara elektronik (e-commerce) yang akan dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan pada Desember mendatang.

Kehadiran e-commerce telah mendorong tumbuhnya perusahaan rintisan (startup) dan meningkatkan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Pengenaan pajak yang tinggi kepada pelaku usaha e-commerce yang baru tumbuh dikhawatirkan akan membuat mereka mati suri.

Kita memahami pemerintah dalam kondisi dilematis terkait pajak. Pemerintah harus mencari potensi-potensi pajak yang baru untuk menggenjot penerimaan pajak agar tidak terjadi shortage yang besar. Di sisi lain, pemerintah juga dituntut harus kreatif untuk menaikkan daya beli masyarakat. Pemerintah juga harus mengelola penerimaan pajak yang di bawah target itu melalui belanja negara yang berkualitas untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi.

Tidak hanya pemerintah pusat, pemerintah daerah (pemda) juga punya tugas yang sama untuk menggairahkan perekonomian. Karenanya, kita mendorong pemda agar segera membelanjakan anggarannya yang selama ini mengendap di bank pembangunan daerah (BPD) dan bank lainnya. Hingga Juni 2017, total dana menganggur (idle) milik pemda mencapai Rp 222 triliun. Penggunaan dana pemda itu diharapkan dapat mendorong pembangunan di daerah yang pada akhirnya berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional.

Sumber : beritasatu.com

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com

 



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar