
APBN lagi-lagi disorot. Sejumlah kalangan menganggap APBN-P 2017 terancam tekor atau mengalami mismatch karena realisasi penerimaan pajak tidak akan mencapai target. Hingga 29 September lalu, realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp 770,7 triliun atau 60% dari target Rp 1.283,57 triliun.
Sorotan bukan cuma ditujukan kepada pajak. Sejumlah asumsi makro, seperti harga minyak, juga dikhawatirkan meleset. Harga minyak nasional (ICP) selama Januari-Oktober rata-rata mencapai US$ 49,3 per barel, padahal dalam APBN-P 2017 dipatok US$ 48 per barel.
Asumsi makro lainnya yang disorot adalah pertumbuhan ekonomi. Banyak yang tak yakin ekonomi tahun ini bakal tumbuh 5,2% sesuai asumsi APBN-P. Bahkan, Menko Perekonomian memproyeksikan pertumbuhan ekonomi nasional pada 2017 berada di level maksimal 5,1%.
Sorotan terhadap realisasi penerimaan pajak dalam APBN-P 2017 tergolong wajar. Kontribusi penerimaan pajak mencapai 85% terhadap pendapatan negara. Bila penerimaan pajak tak mencapai target, pundi-pundi APBN bakal terganggu. Jika itu terjadi, proyek-proyek pembangunan bakal macet karena tidak ada anggaran.
Tapi, kalau mau jujur, kekhawatiran bahwa APBN-P bakal mengalami mismatch karena realisasi penerimaan pajak meleset jauh dari target atau mengalami shortfall terlampau berlebihan. Melihat kesungguhan pemerintah melakukan ekstensifikasi pajak dan penegakan hukum, penerimaan pajak bisa mencapai setidaknya 90% dari target.
Lagi pula, shortfall pajak hampir terjadi setiap tahun. Dalam 12 tahun terakhir, penerimaan pajak yang benar-benar sesuai target baru terjadi pada 2008, yakni mencapai 106,88%, itu pun karena booming harga komoditas, terutama batubara dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Selebihnya, realisasi penerimaan pajak tak pernah mencapai 100%. Sekalipun demikian, APBN aman-aman saja.
Satu hal yang kerap terlupakan, belanja barang dan belanja modal pemerintah juga kerap tidak sesuai target. Tahun ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, kualitas belanja pemerintah masih buruk, sehingga akan banyak anggaran tersisa dan ‘menganggur’. Hingga semester I, sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa) mencapai Rp 34,29 triliun.
Di luar Silpa, pemerintah juga masih punya sisa anggaran lebih (SAL) yang merupakan akumulasi Silpa setiap tahun. Pada 2016, SAL berjumlah Rp 113 triliun. Dana Silpa dan SAL bisa digunakan untuk menutup bolong APBN akibat shortfall pajak. Karena bisa ditambal Silpa dan SAL, anggaran pembangunan yang dibiayai APBN tidak akan terganggu.
Prediksi bahwa harga minyak nasional (ICP) bakal melampaui asumsi ICP dalam APBN-P 2017 karena pada Januari-Oktober sudah mencapai US$ 49,3 per barel juga masih prematur karena masih ada waktu dua bulan lagi sebelum tutup tahun. Selain itu, APBN sudah teruji oleh fluktuasi harga minyak. Apalagi jika selisih dengan asumsi APBN-P cuma beberapa dolar AS.
Di luar performa APBN, kita sepakat kinerja pertumbuhan ekonomi harus terus dicermati. Proyeksi sejumlah kalangan bahwa ekonomi domestik tahun ini tak akan tumbuh 5,2% sesuai asumsi APBN-P mungkin benar, terutama jika dikaitkan dengan gejala penurunan daya beli masyarakat akhir-akhir ini. Pemerintah dan BI yang sebelumnya terkesan mengabaikan kecenderungan tersebut, telah mengakuinya secara gamblang dan terus terang.
Pertumbuhan ekonomi tidak bisa dinafikan, dianggap enteng, apalagi ditutup-tutupi. Mengabaikan pertumbuhan ekonomi berarti mengabaikan angka pengangguran dan kemiskinan yang masih tinggi di negeri ini. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang per Agustus 2017 mencapai 7,04 juta orang atau 5,5% dari populasi bisa membengkak jika ekonomi tumbuh rendah. Jumlah penduduk miskin yang per Maret 2017 mencapai 27,77 juta atau 10,64% dari populasi bakal menggelembung bila ekonomi terus melambat.
Kita setuju bahwa shortfall pajak bertali-temali langsung dengan perlambatan ekonomi. Karena itu, pemerintah dituntut lebih taktis dalam mendorong mesin-mesin ekonomi agar berfungsi maksimal. Di satu sisi, pemerintah harus mencari cara menjaga dan memperkuat kembali daya beli masyarakat. Di sisi lain, pemerintah harus melindungi dunia usaha.
Jangan sampai muncul kesan demi menyelamatkan penerimaan pajak, pemerintah terus memburu sumber-sumber pajak baru secara kalap, membabi-buta. Sebaliknya, jangan pula muncul syak wasangka bahwa pemerintah terlalu berpihak kepada dunia usaha sehingga terus mengobral paket-paket kebijakan ekonomi yang belum tentu dibutuhkan, padahal masyarakat sedang megap-megap.
Sumber : beritasatu.com
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Ekonomi
Tinggalkan komentar