APBN-P 2017 tinggal dua bulan lagi dengan beberapa persoalan penting yang bisa mengganggu kelangsungan fiskal, di antaranya target penerimaan pajak hingga awal Oktober 2017 baru mencapai 60 persen atau 770,7 triliun rupiah dari target APBN-P 2017 sebesar 1.283,6 triliun. Dalam sisa tiga bulan pemerintah atau Ditjen Pajak harus mengejar 40 persen atau 512,9 triliun.
Ini target amat berat. Ditjen Pajak berada dalam status “siaga satu” mengamankan penerimaan yang meleset, terutama dari sektor PPh. Penerimaan pajak di luar PPh migas sebesar 732,1 triliun atau 59 persen dari target APBN-P 2017. Artinya pencapaian tersebut turun 4,7 persen (yoy), sedangkan penerimaan pajak dari PPh nonmigas 418 triliun atau 56,3 persen dari target dengan pertumbuhan minus 12,32 persen (yoy).
Meski ada sektor yang turun, ada pula naik. Penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) berkinerja cukup baik. Realisasi PPN dan PPnBM sebesar 307,3 triliun atau 64,6 persen dari target APBN-P 2017, dengan pertumbuhan sebesar 13,7 persen.
Penerimaan pajak dari tahun ke tahun kian berat, apalagi target penerimaan selalu naik. Tiga tahun berturut turut realisasi penerimaan pajak hanya mencapai 81,54 persen pada tahun 2016. Lalu tahun 2015 sebesar 83 persen dan 2014 setinggi 91,7 persen.
Perpajakan sumber utama penerimaan negara. Meski penerimaan pajak setiap tahun terus meningkat, namun anggaran pengeluaran meningkat jauh lebih tinggi karena keinginan agar perekonomian lebih ekspansif. Konsekuensinya defisit anggaran makin melebar.
Pengelolaan defisit anggaran bisa mengganggu kelangsungan fiskal. Dalam APBNP 2017 ditargetkan defisit anggaran 2,92 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka tersebut nyaris mencapai batas paling tinggi defisit anggaran yang ditetapkan UU tentang Keuangan Negara sebesar 3 persen terhadap PDB. Jika penerimaan pajak tidak tercapai, dan tidak ada langkah penghematan melalui pemotongan anggaran, akibatnya pemerintah harus menambah utang.
Jika pemerintah berhemat akan mengurangi pengeluaran. Pemotongan anggaran juga bisa memangkas target pertumbuhan ekonomi dalam sisa triwulan terakhir 2017. Namun langkah ini akan lebih baik, terutama dengan menyisir sejumlah anggaran kementerian yang selama ini pengeluaranya tidak mencapai target. Namun ada kemungkinan belanja anggaran baik di pusat maupun daerah, juga tidak sepenuhnya terserap. Hal ini memungkinkan deficit anggaran akan turun.
Jika pemerintah mengambil langkah menambah utang dalam menutup defisit, akan bertentangan dengan keinginan memperbaiki defisit keseimbangan primer. Karena anggaran sudah lama defisit keseimbangan primer di mana pembaya ran utang tidak s e penuhny a mampu dibiayai dari penerimaan perpajakan.
Indonesia sudah lama mengidap defisit keseimbangan primer, meski sekarang semakin membaik. Misalnya capaian defisit keseimbangan primer sepanjang semester I 2017 tercatat 68,2 triliun dari target 189 triliun rupiah. Ini lebih baik dari periode yang sama tahun lalu. Ketika itu, semester I 2016 defisit keseimbangan primer 143,4 triliun.
Defisit keseimbangan primer menandakan adanya pinjaman atau utang untuk membayar bunga utang yang jatuh tempo pada tahun tersebut. Ini ibarat gali lubang tutup lubang. Utang untuk membayar atau mencicil utang di masa lalu. Jadi bukan untuk kegiatan produktif.
Jangka Panjang
Dalam jangka panjang, perekonomian dan anggaran negara akan tetap defisit dan membesar manakala peningkatan penerimaan negara kalah tinggi dari peningkatan pengeluaran. Konsekuensinya, utang akan tetap menjadi solusi menutup defisit anggaran.
Reformasi perpajakan memang sangat penting, terutama diikuti dengan penguatan kelembagaan dan transparansi sistem pemungutan pajak. Dengan tax ratio hanya 11-12 persen, menunjukkan banyak potensi yang belum tergali.
Dengan rasio penerimaan perpajakan sekitar 11-12 persen dari PDB negara masih kesulitan membiayai anggaran pengurangan kemiskinan dan pengangguran. Rasio ideal bagi suatu negara untuk bisa menghimpun penerimaan pajak untuk membiayai pembangunan infrastrukur, membayar utang, termasuk pemerataan dan pemberantasan kemiskinan sekitar 15 persen dari PDB
Tren jangka panjang Indonesia masih akan tertekan dalam defisit anggaran karena pengeluaran lebih besar dari penerimaan. Pengertian defisit secara konvensional, dihitung berdasarkan selisih antara total belanja dan pendapatan, termasuk hibah. Secara teoritis, untuk membiayai defisit anggaran, pemerintah dapat uang, meminjam publik, atau mengurangi cadangan devisa.
Ketiga sumber pembiayaan defisit tersebut dapat menyebabkan berbagai macam permasalahan makroekonomi. Konsekuensi dari defisit tergantung pada cara membiayai defisit. Jika defisit dibiayai melalui penciptaan uang sering menyebabkan inflasi. Melalui pinjaman domestik menyebabkan tekanan kredit. Sementara itu, lewat pinjaman eksternal menyebabkan defisit transaksi berjalan dan apresiasi nilai tukar riil dan kadang-kadang ke krisis neraca pembayaran atau krisis utang eksternal (jika utang t e r l a l u t i n g g i ) . U n t u k menambal defisit, selain dari penerbitan SBN, pemerintah menggunakan Saldo Anggaran Lebih (SAL) dan pembiayaan dari pinjaman luar negeri.
Jumlah utang terus meningkat. Ini tidak dapat dilepaskan dari cara pemerintah mengatasi defisit melalui utang, bukan dengan meningkatkan penerimaan pajak. Sementara itu, langkah penghematan atau efisiensi belum optimal karena penyerapan anggaran kementerian dan lembaga setiap tahun tidak pernah mencapai target.
Pada sisi lain, pengeluaran pemerintah cenderung naik lebih cepat karena tuntutan UU seperti belanja pendidikan sebesar 20 persen, kesehatan 5 persen dan dana desa. Pembangunan infrastruktur juga tidak bisa ditunda karena sudah jauh tertinggal.
Pembayaran bunga dan cicilan pokok utang merupakan salah satu pos anggaran krusial. Bahkan nilainya lebih besar dari utang baru. Jelas ini pos anggaran tidak produktif bagi perekonomian karena merupakan pengeluaran yang tidak berdampak langsung terhadap perekonomian rakyat.
Kondisi inilah yang terus dikritik banyak kalangan. Pembangunan ekonomi yang ditopang utang telah membuat pemerintah terjebak pada krisis utang (debt trap) yang justru lebih membahayakan kelangsungan pembangunan ekonomi itu sendiri. Utang menyebabkan pemerintah tidak fleksibel dalam menyesuaikan prioritas anggaran pembangunan, terutama untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Utang memerlukan pengelolaan hati-hati. Kemampuan membayar utang dalam APBN tergantung pada penerimaan perpajakan. Sedangkan penerimaan perpajakan bukan sesuatu angka yang pasti karena bergantung pada kondisi ekonomi, kemampuan fiskus mengumpulkan uang baik dari pajak, bea cukai, maupun PNBP.
Sumber : koran-jakarta.com
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar