Danang menjelaskan, pemerintah seringkali menggulirkan wacana kebijakan perpajakan yang prematur dan belum jelas konsepnya di media massa. Karena informasinya setengah-setengah, pengusaha menjadi bingung. Contohnya rencana pengaturan pajak perdagangan secara elektronik (e-commerce) yang akan dikeluarkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada Desember mendatang.
Berdasarkan beleid baru nanti, pemerintah bakal mengatur tata cara penyederhanaan perpajakan, terutama bagi pelaku usaha perdagangan berbasis elektronik yang omzetnya di bawah Rp 4,8 miliar per tahun. Namun, para pengusaha tidak mendapat gambaran yang cukup bagaimana mekanisme penarikan pajaknya.
“Kami bertanya-tanya, bagaimana pajak akan ditarik dari pelaku usaha e-commerce perorangan yang belum berbadan hukum dan menjual barangnya secara informal. Pajak ini mudah ditarik jika pelaku usaha sudah memiliki aplikasi laman sendiri dan telah berbadan usaha,” papar dia.
Danang menyoroti intensifikasi pajak yang tengah dilakukan DJP. Intensifikasi subjek pajak sebaiknya dilakukan terutama pada produk atau barang akhir yang telah memiliki nilai tambah (value added), bukan pada barang produksi, barang modal, atau bahan baku. “Harmoniasi pajak sangat penting untuk menciptakan struktur industri nasional yang kuat dari hulu, antara, sampai hilir,” tegas dia.
Meski demikian, kalangan pengusaha mendukung penegakan hukum (law enforcement) di bidang perpajakan. “Intensifikasi pajak melalui penegakan hukum juga tidak ada masalah. Apalagi sebagian besar pengusaha di Indonesia kan taat pajak,” ujar dia.
Danang mengakui, rezim perpajakan saat ini masih dianggap ramah bisnis (business friendly). Bahkan, sistem perpajakan Indonesia cukup kompetitif bagi dunia usaha di Asean. “Hanya saja, daya saing dunia usaha dan industri suatu negara tak bisa hanya dilihat dari sistem perpajakannya,” ucap dia.
Dia mencontohkan suku bunga perbankan. Untuk suku bunga kredit, Indonesia kurang kompetitif dibandingkan negara-negara lain di Asean. “Di Malaysia, suku bunga pinjaman perbankan hanya 5-6%, sedangkan Indonesia masih sekitar 11,5%,” tegas dia.
Sumber : beritasatu.com
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar