
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sedang mengkaji penurunan pajak pertambahan nilai (PPN) hingga pajak penghasilan (PPh) untuk sektor e-commerce. Selain itu, batasan atau threshold untuk UKM yang dikenakan pajak juga akan diturunkan.
”Ada beberapa usulan supaya tingkatnya diturunkan. Dari yang sekarang PPh final 1% men jadi 0,5%. Mungkin thresholdnya juga akan diturunkan,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani di Jakarta kemarin.
Menkeu mengatakan, saat ini pihaknya sedang membahas penyetaraan antara bisnis konvensional dan bisnis online. Artinya, dalam membuat aturan pihaknya akan membuat sesuai level yang sama, baik online maupun konvensional.
”Kami sekarang formulasikan terhadap para pelaku, apakah itu marketplace apakah dia over the top, kami juga akan komunikasikan. Beberapa masukan selama ini pada prinsipnya adalah pertama akan dilakukan secara even handed artinya playing field -nya sama,” ujarnya.
Meski begitu, dirinya belum bisa mengumumkan secara pasti mekanisme penerapan aturan tersebut. Pasalnya, saat ini pihaknya masih terus melakukan penyusunan bersama dengan kementerian/ lembaga lainnya.
”Mengenai mekanismenya menggunakan OP (orang pribadi) yang sekarang, siapa yang memungut, melaporkan bagaimana prosesnya nanti kami lihat. Kalau sudah keluar, akan kami sampaikan,” tambahnya.
Menurut Sri Mulyani, pihaknya saat ini berada pada tahap memformulasikan aturan pajak e-commerce tersebut. Di mana sebelumnya dirinya sudah mendengarkan pendapat dari para menteri terkait pengenaan pajak e-commerce.
”Pokoknya nanti kita kan sudah selesaikan pembahasan antarkementerian lembaga dan sekarang formulasi terakhir dari sisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Kita sudah mendapatkan paling tidak informasi dari antara para Menteri, pandangan mereka. Dan kami sekarang formulasikan,” jelasnya.
Sementara itu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat dari 642 pengaduan umum atau nonumrah pada 2017, jumlah keluhan pelanggan belanja online (e-commerce) menduduki peringkat pertama.
Pengaduan belanja online tercatat 16% pada 2017. Angka ini meningkat 100% dari angka pengaduan belanja online pada 2016 sebesar 8%. Kenaikan pesat ini membuat belanja online naik dari posisi kedua pada 2016 menjadi posisi pertama pada 2017. Menggeser aduan mengenai perbankan yang turun ke posisi dua.
Ketua Pengurus Harian Yayasan YLKI Tulus Abadi mengatakan, salah satu penyebab tingginya aduan terkait belanja online dikarenakan tak adanya kepastian regulasi. Oleh sebab itu, sering kali pelaku e-commerce menyalahgunakan transaksi hingga merugikan konsumen.
Untuk diketahui, pemerintah saat ini tengah memproses Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) soal Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (TPMSE) yang disusun olehKementerianPerdagangan.
”Yang paling menohok adalah belanja online karena masih lemahnya regulasi. Pemerintah belum sahkan RPP belanja online. Lalu ada iktikad yang kurang baik dari operator ecommerce,” ungkap Tulus dalam acara laporan pengaduan konsumen tahun 2017 di Kantor YLKI, Jakarta, kemarin.
Selama 2017 tercatat 101 pengaduan belanja online yang didominasi dari penyedia aplikasi belanja online. YLKI mencatat keluhan belanja online 44% mengenai lambatnya respons komplain. Kemudian 11% pengaduan dugaan penipuan serta 8% aduan dugaan cyber crime. Tulus menjelaskan, penyebab lain dari banyaknya aduan belanja online yakni rendahnya tingkat edukasi masyarakat dalam memahami transaksi online.
”Konsumen hanya berpatokan pada kemudahan saja. Bisa bertransaksi lewat gadget, kemudian bisa melakukan transaksi online. Namun, belum memikirkan soal data pribadi yang menjadi risiko tinggi dan masalah penipuan yang ada dalam transaksi belanja online,” ujar dia.
Sumber : okezone.com
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar