![]()
Tanpa simplifikasi/penyederhanaan perizinan, implementasi penyederhanaan larangan pembatasan (lartas) melalui skema post border berpotensi tumpang tindih. Simplifikasi diperlukan, karena dalam suatu barang rata-rata bisa diatur oleh dua atau tiga perizinan dari kementerian atau lembaga yang berbeda.
Skema post border merupakan sebuah terobosan untuk menyederhanakan lartas dengan menggeser pengawasan dari border, misalnya pelabuhan atau bandara, ke post border. Dengan implementasi kebijakan tersebut tugas pengawasan termasuk kewenangan audit tak lagi menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, tetapi langsung dilakukan oleh kementerian dan lembaga yang terkait dengan suatu komoditas.
Direktur Teknis Kepabeanan DJBC, Fadjar Donny Tjahjadi mengatakan nantinya proses simplifikasi perizinan akan berjalan beriringan dengan implementasi kebijakan yang ditujukan untuk memangkas waktu dwelling time tersebut. Saat ini terdapat ada 1.073 klasifikasi barang yang diatur oleh lebih dari satu kementerian.
Meski demikian, untuk beberapa komoditas, simplifikasi aturan telah dilangsungkan, terutama untuk jenis produk olahan buah (jus), ikan, dan daging.
“Sekarang itu kewenangannya dari BPOM, dulunya ada peraturan menteri perdagangan, karantina, kalau yang hewan ada karantina hewan. Yang jelas beberapa aturan yang berpotensi tumpang tindih akan disederhanakan,” kata Fadjar di Jakarta, Selasa (30/1/2018).
Adapun skema post border akan mulai diimplementasikan pada 1 Februari mendatang. Skema ini dimaksudkan untuk memangkas waktu dwelling time sekaligus memperlancar arus barang. Dengan pelaksanaan kebijakan tersebut biaya logistik bisa semakin ditekan serta implikasi ke depannya akan mengerek peringkat kemudahan berusaha Indonesia.
Indonesia sendiri masuk kategori negara yang memiliki lartas yang cukup banyak. Dari sekitar 10.826 klasifikasi barang di dunia, 5229 atau 48,3% berada di Indonesia. Pemerintah menargetkan dengan skema itu, nantinya bisa semakin ditekan ke angka 20,8% atau sekitar 2.000an.
Meski skemanya memudahkan arus barang, menggunakan post border tak berarti meniadakan izin, importir tetap harus menyiapkan dokumen, hanya saja mekanisme nantinya sudah menggunakan sistem yang mutakhir.
“Kementerian yang akan mengawasi, bekerja dengan sistem teknologi yang cukup baik. Lartas masuk dalam Indonesia National Single Window, dan nanti INSW inilah yang akan membantu proses pengawasan,” jelasnya.
Sementara itu, tugas bea cukai dalam skema yang baru akan digantikan oleh kementerian dan lembaga terkait suatu komoditas. Otoritas kepabeanan hanya akan menangani kewajiban fiskalnya, tetapi tidak menutup kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu, mereka juga ikut terlibat melakukan proses pengawasan aktivitas tersebut.
DJBC juga tetap melakukan pengawasan terhadap arus barang yang tak melalui post border. Barang-barang yang menjadi kewenangan DJBC mencakup K3L atau keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup.
“Pengaturan tata niaga impor ini diharapkan bisa memperbaiki iklim investasi dalam negeri. Sehingga peringkat kemudahan berusaha bisa sesuai target yang diinginkan presiden,” ungkapnya.
Sumber : bisnis.com
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Ekonomi
Tinggalkan komentar