Hasrat besar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menggenjot penerimaan pajak 2018 tampaknya tidak main-main. Kerja besar reformasi perpajakan diawali dengan amnesty pajak yang membuka kesempatan bagi wajib pajak (WP) untuk mendeklarasikan hartanya yang selama ini masih ‘tersembunyi’ dari sistem perpajakan nasional. Apakah upaya gencar DJP akan mampu mengatasi potensi shortfall penerimaan pajak yang kian membesar?
Amnesti pajak juga menyasar pemilik harta yang berada di luar negeri untuk merepatriasi ke Tanah Air. Repatriasi adalah ruh amnesti pajak. Kepulangan dana WNI dari luar negeri diproyeksikan memberi daya stimulasi yang menciptakan efek pengganda (multiplier effect) bagi perekonomian domestik.
Setahun pascaprogram amnesti pajak, DJP mulai gencar menelusuri tidak hanya WP yang belum mengikuti amnesti pajak, tetapi juga menyidik WP yang tidak secara suka rela mengungkapkan potensi pajaknya. Demikian pula, pemerintah menagih komitmen WP dalam merealisasikan repatriasi dana.
Tidak berhenti sampai di sini, penelusuran potensi pajak berlanjut melalui jalur keterbukaan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Dengan payung hukum ini, DJP bisa melacak semua harta atas nama pemilik, nominal, dan lokasi penyimpanannya. Pastinya, sanksi dengan tebusan dan denda penalty yang lebih berat akan menunggu.
Upaya gencar DJP bukan tanpa alasan. Seperti diketahui, penduduk yang berpenghasilan di atas PTKP (Pendapatan Tidak Kena Pajak) mencapai 70 juta orang. Bahkan, saat ini terdapat 129 juta kelas menengah dengan pengeluaran Rp 100-200 ribu per hari yang berpotensi menjadi WP baru.
Ironisnya, baru 30 juta orang yang terdaftar sebagai WP pribadi. Dari jumlah itu, hanya 12 juta yang menyampaikan SPT (Surat Pemberitahuan) pajak, sedangkan yang membayar PPh (Pajak Penghasilan) pribadi cuma 1 juta orang dengan nilai sekitar Rp 10 triliun atau hanya 1% dari total penerimaan pajak.
Alhasil, tax ratio dalam lima tahun terakhir masih stagnan di angka 11- 12%. Dengan status sebagai anggota kelompok G-20 –20 negara di dunia dengan produk domestik bruto terbesar– Indonesia semestinya bisa meningkatkan rasio pajak hingga minimal sama dengan Negara-negara berkembang lainnya yang sudah mencapai level 15%.
Sebagai pembanding, rasio pajak Indonesia termasuk rendah di kawasan Asean. Tengok saja, capaian rasio pajak di Malaysia menyentuh 17%, Thailand 16%, serta Singapura dan Filipina 14%. Rasio pajak di Tanah Air hanya sejajar dengan Vietnam, tetapi lebih tinggi dari Kamboja 8% dan Birma yang hanya 5%.
Rendahnya rasio pajak juga dikonfirmasi dari nilai relatif lainnya. Dalam enam tahun terakhir, realisasi penerimaan pajak senantiasa lebih rendah dari target. Pada APBN-P 2017, misalnya, realisasi penerimaan negara dari pos perpajakan hanya finish pada level 90% dari target Rp 1.284 triliun.
Dalam cakupan yang lebih sempit, rendahnya rasio pajak mengindikasikan tingkat kepatuhan pajak (tax compliance). DJP memaknai rasio pajak sebagai upaya pajak (tax effort) dalam mengejar target pengumpulan pajak. Dalam konteks tax effort inilah, DJP menemukan momentumnya dengan mengintip potensi pajak dari kartu kredit.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 228/PMK.03/2017 yang dirilis akhir tahun lalu mensyaratkan mulai 2018 penyedia kartu kredit berkewajiban kembali menyerahkan data transaksi kepada DJP. Kebijakan ini seakan ‘menjilat kembali ludah sendiri’ mengingat sebelumnya sempat vakum. Tatkala program amnesti pajak berlangsung, kewajiban pelaporan data transaksi kartu kredit sementara berhenti. Kementerian Keuangan mengklaim tidak lagi tertarik dengan data kartu kredit karena memuat transaksi utang alih-alih pendapatan.
Akibatnya, jarum jam bisnis kartu kredit seakan berputar kembali menuju titik nol. Memonitor data transaksi kartu kredit memang tidak serta merta meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka pendek. Sejauh ini, pengguna kartu kredit telah dikenakan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dalam setiap transaksinya. Namun, peluang peningkatan penerimaan jangka panjang dengan sendirinya terbuka.
Data dari sektor perbankan diperlukan DJP sebagai pembanding. Dengan sistem self-assessment, DJP membutuhkan akses data yang lebih luas agar bisa menjadi rujukan saat pemeriksaan pajak. Pemeriksaan pajak untuk mengetahui derajad kepatuhan WP idealnya didasarkan pada pendapatan.
Data pendapatan praktis sulit diidentifikasi. Individu terutama golongan menengah-atas punya insentif kuat untuk menyembunyikan pendapatannya. Proksi yang dipakai adalah pengeluaran. Asumsinya pengeluaran berkorelasi kuat dengan pendapatan. Sayangnya, pengeluaran WP khususnya kelas bawah cenderung ‘bombastis’ dibanding pendapatannya.
Konsekuensinya, setoran pajak berbasis pendapatan menjadi understated dan sensitif terhadap perubahan pendapatan. Seorang WP yang sedang tidak berpenghasilan saat diperiksa, akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) misalnya, kalau dimasukkan ke dalam perhitungan tax ratio pasti hasilnya memburuk.
Dalam hubungan ini, ukuran yang lebih realistis untuk menggambarkan tax ratio adalah kekayaan (wealth). Per definisi, kekayaan adalah akumulasi dari pendapatan (yang bersifat incremental) masa lalu. Dasar perhitungannya adalah konsep stok, yaitu posisi pada satu titik waktu.
Tax effort yang berbasis kekayaan niscaya lebih representatif. Mengambil contoh WP korban PHK tadi, meski yang bersangkutan sedang tidak berpenghasilan, dia masih memiliki kekayaan (yang menghasilkan return) untuk menopang konsumsinya. Sayangnya, data mengenai kekayaan tidak tersedia sehingga profil kepatuhan pajak jadi tidak utuh.
Kekayaan rumah tangga pada umumnya diwujudkan dalam asset fisik. Pajak kekayaan (property tax) yang dikenal adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Praktis, PBB adalah pajak daerah jika dilihat dari bagi hasilnya. Artinya, PBB tidak bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan pemerintah pusat.
Kekayaan WP nonfisik biasanya berbentuk aset finansial, terutama tabungan atau deposito yang disimpan di perbankan. Data kekayaan finansial ini coba didekati dari nilai transaksi kartu kredit. Data per akhir 2017 menunjukkan jumlah kartu kredit yang beredar mencapai 17 juta keping dengan nilai transaksi mencapai Rp 275 triliun.
Dengan skenario nilai transaksi maksimal 25% saja dari kemampuan bayar, maka ada potensi basis pajak baru sekitar Rp 700 triliun. Potensi ini akan bertambah besar lantaran permintaan nasabah kelas menengah terhadap kartu kredit jenis silver dan gold masih tumbuh di tengah aturan pembatasan kepemilikan kartu kredit.
Namun harus diakui pula, PMK di atas berpotensi kontraproduktif. Pertama, kewajiban pelaporan transaksi membuat prospek bisnis kartu kredit jadi suram. Ekspansi penerbitan kartu kredit dalam berbagai jenis dan tipe nyaris stagnan. Bahkan, pemegang kartu kredit yang telah lama menjadi nasabah loyal mulai menutup akun kartu kreditnya.
Kedua, menurunkan minat dan kepercayaan nasabah dalam bertransaksi kartu kredit. Boleh jadi, masyarakat sangat boleh jadi bersikap konservatif dengan balik lagi memilih transaksi tunai. Padahal, BI dan pemerintah dalam dua tahun terakhir gencar mendukung cashless transaction.
Ketiga, nasabah akan migrasi ke penyedia kartu kredit luar negeri yang diklaim lebih menghargai privacy. Faktor privasi ini berpengaruh sangat kuat kepada kepercayaan (trust), sedangkan trust adalah segalanya dalam transaksi kredit. Pelaporan data dengan limit minimal Rp 1 miliar per tahun per kartu kredit diyakini tidak banyak membantu.
Keempat adalah kemungkinan penggunaan bitcoin terutama untuk transaksi ke luar negeri yang tidak terdeteksi subjeknya sehingga pajak malah tidak teraup. Efek samping ini tidak berlebihan mengingat banyak anggota masyarakat yang menyandarkan transaksi kesehariannya melalui internet.
Mencermati beberapa hal tersebut, urgensi mencari jejak WP dari transaksi kartu kredit baru terasa dalam jangka panjang sebagai basis data perpajakan. Arah ke depannya, pemerintah sedang membangun kepatuhan terlebih dahulu sebelum pada saatnya nanti mengubah tarif pajak melalui amendemen Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan.
Pemerintah agaknya berkeyakinan dengan tarif yang lebih rendah akan meningkatkan kepatuhan WP sedemikian rupa sehingga mendongkrak volume penerimaan. Keyakinan ini masih bisa diperdebatkan. Banyak studi empiris menunjukkan tarif yang lebih rendah tidak serta merta diikuti dengan meningkatnya kepatuhan WP.
Dengan konfigurasi problematika di atas, imbal korban (trade-off) senantiasa terjadi. Tujuan memupuk kepatuhan WP memang bisa diwujudkan lewat pemangkasan tariff pajak. Namun demikian, pemangkasan tarif juga bisa menurunkan penerimaan negara dari sector pajak ketika asumsi dasarnya tidak terpenuhi.
Tampaknya ada indikasi pemerintah juga sedang menginisiasi pajak kekayaan sehingga penerimaan pemerintah relatif stabil jika dibanding pajak pendapatan. Hal ini masuk akal mengingat potensi shortfall penerimaan pajak kian membesar. Jika ini yang dituju, masih banyak ekosistem yang harus dibenahi.
Sumber : beritasatu.com
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar