JAKARTA. Rupiah semakin rawan. Akhir pekan (21/8) lalu, mata uang Garuda kembali terperosok ke Rp 13.941 per dollar AS. Ini posisi terburuk dalam 17 tahun terakhir.
Rupiah pernah terkoyak saat krisis finansial global menghampiri Indonesia, pada 1997-1998. Kala itu, rupiah sempat menukik nyaris, ke level Rp 17.000 per dollar AS.
Dengan kondisi rupiah hampir menembus Rp 14.000 per dollar AS, sejumlah kalangan mulai ketar-ketir. Apakah rupiah bisa terjatuh medekati kondisi 1997-1998?
Ekonom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Mochammad Doddy Ariefianto menilai, tekanan rupiah saat ini berbeda dengan 1997. Pertama, dari sisi magnitude. Pada 1997, rupiah melemah dari Rp 2.500 ke Rp 15.000 per dollar AS. Saat itu, dollar AS naik tujuh kali lipat atau 700% terhadap rupiah. Saat ini, the Greenback hanya menguat 11% terhadap rupiah. “Ibaratnya, dulu nilai utang luar negeri kita membengkak tujuh kali lipat, sekarang cuma naik 11%,” ujar Doddy ke KONTAN, (23/8).
Perbedaan kedua, pemicu kejatuhan rupiah 1997-1998 adalah imbas pelemahan valuta negara Asia, mulai dari Korea Selatan, merembet ke Thailand. Sedang pemantik saat ini adalah dollar menguat terhadap nyaris semua mata uang dunia. Ada yang lebih parah dari Indonesia, misalnya real Brasil yang melemah 30% terhadap dollar AS, kemudian turki terkoreksi 20%.
Pelemahan rupiah tentu berefek negatif bagi perekonomian Indonesia. “Tapi jika dibilang menyerupai 1997, saya katakan belum,” kata Doddy. Apalagi, inflasi masih dibawah 10%. Berbeda dengan inflasi 1998 yang mencapai puluhan persen. Namun, sejumlah kalangan ingin pemerintah dan Bank Indonesia (BI) melakukan langkah konkret menahan kejatuhan rupiah.
Trian Fathria, Research and Analyst Divisi Tresuri Bank BNI memprediksi, bottom rupiah saat ini bisa di Rp 13.990. “Pemerintah juga harus punya andil seperti memaksimalkan penyerapan anggaran belanja,” kata dia.
Penyerapan anggaran diharapkan mendongkrak ekonomi. Pemerintah juga harus memperbaiki defisit transaksi berjalan. “Terpenting, menjaga konsistensi kebijakan. Salah satunya wajib penggunaan rupiah,” kata Trian.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti mengaharapkan, pemerintah sebaiknya tak hanya mengendalikan sisi permintaan (demand), tetapi juga sisi pasokan (supply). “Benar jika permintaan dollar AS banyak, rupiah akan melemah,” jelasnya.
Tetapi, jika ada pasokan dollar, valuta itu tak akan kemana-mana. Kendali pada sisi suplai bisa memasukkan dana surplus neraca perdagangan US$ 1,3 miliar. “Meski impor drop, neraca perdagangan kita surplus,” jelas Destry.
Pemerintah juga bisa merilis kebijakan fiskal lewat insentif pajak. Target penerimaan pajak memang berkurang, tetapi ekonomi akan tumbuh.
Seorang tresuri Bank Eropa di Singapura mengatakan, sebaiknya jangan terlalu terpengaruh sentimen jangka pendek. “Problem rupiah lebih ke basic industry kalah bersaing, ekonomi biaya tinggi dan korupsi. Percuma BI bermanuver tapi industri lemah,” terang dia, akhir pekan lalu.
Ia memprediksi, akhir tahun rupiah di Rp 14.200 – Rp 14.400. Sementara Destry menilai, pemerintah harus bisa mengerem koreksi, karena real value rupiah Rp 13.500. “Level Rp 14.000 itu sudah too much,” kata dia.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar