RUU Larangan Minuman Beralkohol akan diubah jadi RUU Pengaturan Minuman Beralkohol
JAKARTA. Pemerintah mengusulkan perubahan judul Rancangan Undang – Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol. Jika sebelumnya RUU ini mengatur tentang larangan minuman beralkohol, judul RUU ini diusulkan menjadi RUU tentang Pengaturan Minuman Beralkohol.
Pemerintah beralasan, kata pengaturan lebih tepat, karena dapat mengakomodasi seluruh pemangku kepentingan di sektor minuman beralkohol. “Dari pemerintah, mengusulkan untuk dibuah (judul),” ujar Jimmy Bella, Direktur Logistik dan Sarana Distribusi Kementerian Perdagangan (Kemdag), akhir pekan lalu.
Usulan ini diberikan bersamaan dengan surat presiden dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang akan diberikan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), awal September lalu. RUU itu saat ini masih dalam pembahasan DPR.
Menghormati tradisi
Walau akan menimbulkan kontroversi di masyarakat, Jimmy Bella menambahkan, istilah pengaturan minuman beralkohol, merupakan upaya untuk menghormati tradisi di beberapa wilayah di Indonesia. Sebab, sejumlah daerah di Indonesia memiliki budaya minuman beralkohol. Namun, apakah usulan ini akan disetujui dan menjadi undang-undang, sangat tergantung dengan proses pembahasan di parlemen.
Pemerintah juga melihat, bila minuman beralkohol dilarang seluruhnya bakal merugikan Indonesia. Sebab draf RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol yang diusulkan DPR, tidak memberikan toleransi apapun bagi produsen hingga masyarakat untuk mengakses minuman beralkohol.
Draf RUU Larangan Minuman Beralkohol, selain melarang produksi, juga melarang peredaran minuman ini. Jika disetujui menjadi UU, setiap orang akan dilarang memproduksi dan mengkonsumsi minuman beralkohol.
Minuman beralkohol yang dilarang produksinya adalah minuman beralkohol jenis A atas minuman berkadar alkohol antara 1% – 5%, jenis B atau yang berkadar alhokol 5% – 10%, jenis C atau yang berkadar alkohol 20% – 55%, minuman beralkohol tradisional dengan nama apapun, dan minuman beralkohol campuran atau racikan.
Bagi produsen yang melanggar, makan akan dikenakan pidana penjara paling sediki dua tahun dan paling lama 10 tahun atau denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Sementara itu bagi mereka yang mengkonsumsi, diancam hukuman penjara paling sedikir 3 bulan dan paling lama dua, atau denda hingga Rp 50 juta.
Atas usulan perubahan nama dari pelarangan menjadi pengaturan, Executive Committee Gabungan Industri Minuman Malt Indonesia (GIMMI) Bambang Britono menyambut baik. “Tetapi jangan sampai itu hanya perubahan judul, namun isinya tetap melarang,” pintanya.
Menurutnya, selama ini masih banyak pihak yang salah paham terkait peredaran minuman beralkohol dengan kasus kematian atau tindak kriminalitas yang banyak terjadi di Indonesia. Bambang menyatakan, persoalan itu sebenarnya disebabkan pencampuran minuman beralkohol dengan zat lain (oplosan).
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara mengatakan, seharusnya pemerintah dah DPR menggunakan standar baku yang dapat diterapkan di berbagai lingkungan masyarakat di seluruh Indonesia, dalam setiap undang-undang yang diterbitkannya.
Dengan pertimbangan itu, Anggara menyarakan pemerintah mencari alasan tepat untuk mengatur dan mengendalikan produksi dan konsumsi minuman beralkohol. Alasan itu mengacu sisi kesehatan bukan berlandaskan moral yang bersifat relatif.
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar