
Aturan terkait dwelling time masuk dalam Paket Kebijakan Ekonomi Jilid IX.
Setahun terakhir, kita mendadak akrab dengan dwelling time. Maklumlah, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) bolak balik menargetkan pemangkasan dwelling time. Pertengahan tahun lalu, Jokowi sempat marah karena laporan tentang dwelling time tak sesuai dengan yang ia temukan di lapangan. Presiden pun kala itu sempat mengancam bakal mencopot jabatan para petinggi negara yang terkait jika tak becus memperbaiki dwelling time.
Lecutan sang presiden pada petinggi yang terkait dengan dwelling time membuahkan hasil. Setidaknya tahun 2015 itu, dwelling time menurun lumayan signifikan. Padahal sejak tahun 2010 sampai 2013 dwelling time cenderung menanjak.
Pada Oktober 2010 dwelling time tercatat 4,88 hari, pada Agustus 2011 meningkat menjadi 5,75 hari. Pada Juni 2012 dwelling time mencapai 6,38 hari. Dan puncaknya pada tahun 2013 dwelling time rata-rata mencapai 7,9 hari.
Barulah pada 2014 mulai turun menjadi 5,02 hari dan pada pertengahan 2015 dwelling time turun lagi menjadi 4,7 hari. Penurunan ini masih dipandang belum memadai. Karena itu pada tahun 2016 ini, dwelling time ditargetkan mencapai 3,5 hari. Dan di akhir tahun 2017 bisa mencapai 3 hari.
Tentu, ada alasan mengapa pemerintah terlihat sangat getol memangkas dwelling time. Istilah yang merujuk ke ukuran waktu yang dibutuhkan bagi peti kemas turun dari kapal hingga keluar pelabuhan, kerap menjadi indicator keberhasilan pemerintah menggelindingkan sektor riil. Tak heran, pemerintah menjadikan dwelling time sebagai tema utama Paket Kebijakan Ekonomi XI.
Selain dwelling time, ada tiga tema lain yang termuat dalam paket kebijakan yang dirilis pada Rabu, 30 Maret 2016 itu. Pertama, terkait dengan Kredit Usaha Rakyat Berorientasi Ekspor (KURBE). Kedua, masalah Dana Investasi Real Estate (DIRE). Ketiga, terkait pengembangan industry farmasi dan alat kesehatan. Lalu, agenda yang terkait dengan dwelling time, yaitu pengendalian resiko untuk memperlancar arus barang di pelabuhan atau Indonesia Single Risk Management (IRSM).
Pemerintah merasa perlu menata sektor logistic karena penyelesaian costums clearance dan cargo release di pelabuhan di sini masih banyak menghadapi kendala. Misalnya, pelayanan perizinan ekspor impor di berbagai kementerian atau lembaga (K/L) yang memakan waktu lama. Capaian kinerja logistic yang belum optimal juga terlihat dari dwelling time di akhir tahun 2015 yang masih berkisar 4,7 hari.
Tujuan dari penataan sektor logistic antara lain adalah mempercepat layanan ekspor impor dari sisi kepastian usaha, efisiensi waktu, dan biaya perizinan, dan menurunkan dwelling time. Jika ada kepastian waktu pelayanan, pemerintah berharap tingkat kepatuhan pelaku usaha turut meningkat.
Untuk itu, pemerintah merangkai setidaknya empat kebijakan. Antara lain semua K/L wajib mengembangkan fasilitas pengajuan izin secara tunggal melalui portal Indonesia National Single Window (INSW). Ada juga kebijakan mengenai penerapan single risk management demi menurunkan dwelling time.
Waktu proses dokumen
Menurut Yukki N. Hanafi, Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI), sikap pemerintah ini perlu diapresiasi karena jika diimplementasikan, akan berdampak positif. Ia menilai dwelling time yang lama merupakan salah satu penyebab biaya ekonomi tinggi di Indonesia. Akibatnya, Indonesia kalah bersaing dengan negara tetangga.
Dalam paket kebijakan yang baru terbit itu, yang mengalami perombakan memang hanya prosedur, bukan pelabuhan. Padahal sejatinya pemerintah juga harus memperhatikan pelabuhan agar lebih terorganisir. “Pelindo I sampai IV juga harus solid. Pelabuhan juga harus berani dikoreksi dan mengoreksi,” tutur Yukki. Menurut pengamatannya, keterlambatan di pelabuhan kerap kali berbuntut pada tingginya biaya yang harus ditanggung pebisnis.
Penerapan Indonesia Single Risk Management juga disambut antusias. Namun Yukki menegaskan, perlu komitmen serius dari pemerintah untuk implementasi kebijakan baru itu. “Implementasinya harus kelihatan, dalam hal ini pemerintah harus menurunkan ego sektoral supaya bisa jalan,” ujar dia.
Berbeda dengan Yukki, Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), Zaldy Ilham Masita mengatakan kalau paket kebijakan XI ini justru di luar ekspektasinya. Dia justru berharap pemerintah meninjau hal lain yang dirasakan pelaku usaha logistic lebih penting.
Ia mencontohkan, peninjauan ulang aturan dan biaya regulated agent (RA) dan gudang di bandar udara (bandara) yang sangat tinggi. Selain itu, penghapusan biaya cost recovery. “Hanya satu poin saja yang berhubungan dengan logistic, soal penyamaan risk management antar lembaga. Poin lain malah tidak disentuh,” ujar dia.
Zaldy menyatakan, asosiasi yang ia pimpin berharap pemerintah serius menurunkan biaya logistic yang cenderung naik belakangan ini. Ia mencontohkan, belum lama ini muncul kebijakan yang menyatakan adanya kenaikan tariff parkir peti kemas di pelabuhan hingga 900%. Tariff itu berlaku di hari kedua setelah kapal bersandar.
Selama ini, tariff dasar parkir peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok Cuma Rp 27.500 per container ukuran 20 kaki, per hari. Dengan kenaikan 900%, itu artinya tariff penyimpanan peti kemas di pelabuhan di hari kedua menjadi sekitar Rp 247.500 per hari.
Kenaikan ini dirasa memberatkan pengusaha logistic di tengah dwelling time yang masih lama dan infrastruktur pelabuhan yang masih dirasa kurang. Kalaupun dwelling time bisa dipercepat, tapi tetap ada biaya parkir yang tinggi. Ujung-ujungnya, tetap tidak efisien.
Hal lain yang menjadi harapan para pengusaha logistic adalah proses single risk management dapat mengurangi jumlah kategori barang larangan dan/atau pembatasan yang di atas 30% turun menjadi 5%.
Direktur Fasilitas Ekspor dan Impor Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan (Kemendag) Nusa Eka menjelaskan, implementasi Paket Kebijakan XI memang lebih ditujukan untuk kementerian dan lembaga pemerintah lain. “Kami ingin menyamakan pemahaman dulu antar lembaga. Intinya supaya bisa lebih cepat,” katanya.
Sasaran yang ingin, lanjut Eka, adalah peningkatan efektivitas pengawasan melalui integritas pengelolaan resiko antar kementerian atau lembaga. Menurut Eka, jika melihat dari pencapaian saat ini, pemerintah sudah bekerja keras untuk mempercepat proses perizinan melalui INSW. “Sejauh ini, sudah ada 88 proses perizinan yang online, nantinya pasti akan lebih baik,” tutur dia.
Eka menjelaskan, INSW sudah diterapkan di Kemendag, sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 123 tahun 2015 tentang ketentuan pelayanan perizinan bidang ekspor dan impor melalui INATRADE atau sistem pelayanan terpadu Kemendag yang melayani permohonan penerbitan izin secara online dan telah diterapkan di 16 pelabuhan laut dan 5 bandar udara di Indonesia.
Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi mengatakan, bila mengacu ke definisi yang berlaku di dunia, dwelling time memang dilihat dari proses dokumen. Bila dokumen selesai baru barang bisa bergerak. Jadi jika memang pemerintah ingin mempercepat dwelling time, maka yang harus diperbaiki adalah meningkatan efisiensi dari pemrosesan dokumen. Bukan masalah infrastruktur. “Kalau dilihat secara infrastruktur, pelabuhan kita itu sudah baik dan canggih,” tutur dia.
Selama ini, banyak pebisnis mengeluhkan kondisi infrastruktur di sekitar pelabuhan yang belum memadai hingga menimbulkan biaya tambahan. Hingga saat ini, kendaraan yang ingin keluar-masuk pelabuhan harus melalui jalan-jalan yang macet. Lihat saja, betapa macetnya jalan dari pelabuhan hingga ke kawasan industry seperti Cikarang, Bekasi.
“Yang menjadi persoalan itu sebenarnya mengapa perusahaan pelayaran tidak dilibatkan dalam INSW itu. Padahal, merekalah yang tahu isi barang. Mereka yang memiliki early warning,” ujar dia. Masih menurut Siswanto, saat ini keterlibatan banyak instansi pemerintah dalam INSW memang sudah baik.
Dia bilang, kegiatan pengurusan dokumen saat ini berlangsung setelah kapal sandar. Nah, yang mengurus dokumen ekspor-impor itu biasanya agen yang notabene adalah perusahaan pelayaran.
Dalam kebijakan menyangkut barang yang tergolong terlarang dan terbatas, ia menyarankan pemerintah bersikap tegas. Jangan memberlakukan kebijakan setengah hati. Kalau memang barang yang dikirim termasuk kategori dilarang atau yang memiliki batasan, “Ya tegas saja tidak boleh masuk. Jangan ada syarat yang membolehkan barang masuk,” katanya. Sebab, namanya pebisnis, berapapun biayanya dan apapun dokumennya, pasti ditebus, agar barang miliknya tidak mubazir.
Ia mencontohkan, impor mesim fotocopy berwarna. Bila memang dilarang ya dilarang saja. Jangan diberi prasyarat, seperti harus mendapatkan izin dari Badan Intelijen Negara (BIN). Begitu dapat izin dari BIN, barang bisa masuk. Kepemilikan mesin fotokopi warna dibatasi untuk mencegah penyalahgunaan alat itu untuk mencetak uang palsu.
Berapapun ongkos di pelabuhan, pengusaha pasti bakal bayar. Toh, yang bakal kena getahnya konsumen juga.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar